Viral Lapau Kopi di TikTok dan Masalah Ketertiban Umum: Saatnya Padang Menegakkan Perda!

Author PhotoAndre Vetronius
02 May 2025
Ilustrasi (www.smkalhadi.sch.id).
Ilustrasi (www.smkalhadi.sch.id).

Jagat media sosial diramaikan oleh video viral dari sebuah warung kopi atau lapau kopi yang terletak di Jalan Gajah 8, Kelurahan Air Tawar Barat, Kecamatan Padang Utara, Kota Padang. Lapau kopi ini terletak di kelok S, tepat di belakang kampus Universitas Negeri Padang (UNP).

Video-video tersebut, yang ramai diunggah ke TikTok dan menyebar cepat di Instagram, memperlihatkan anak-anak muda yang lagi asyik bermain koa hingga subuh dengan musik keras sekalipun suara lantunan gitar. Aktivitas remaja dan perempuan muda yang masih berada di lokasi hingga pagi hari. Fenomena ini memicu reaksi beragam, mulai dari komentar santai warganet hingga keluhan serius dari warga sekitar yang merasa terganggu.

Persoalan ini tidak sesederhana “anak muda butuh ruang” atau “konten yang menghibur.” Kita perlu melihat ini dari sudut pandang yang lebih struktural dan hukum. Pemerintah Kota Padang telah memiliki Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Ketentraman dan Ketertiban Umum. Perda ini lahir sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah daerah untuk memastikan bahwa seluruh aktivitas sosial warga berlangsung dalam suasana yang aman, nyaman, dan sesuai nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

Sayangnya, jika kita mencermati isi Perda ini, tampak jelas bahwa banyak dari ketentuan normatif yang dilanggar secara terang-terangan oleh aktivitas warung kopi viral tersebut.

Melanggar Ketentuan Perda: Bukan Sekadar Gangguan Kecil

Pasal 12 Perda Nomor 1 Tahun 2025 secara eksplisit melarang siapa pun, termasuk pelaku usaha, untuk menimbulkan kebisingan atau gangguan kenyamanan dengan suara keras, terutama pada malam hingga dini hari. Ketentuan ini tidak hanya bersifat moral, tetapi merupakan dasar hukum yang mengikat. Musik keras atau lantunan gitar yang terdengar hingga pukul 02.00 atau bahkan 03.00 dini hari jelas masuk dalam kategori gangguan terhadap ketenteraman warga. Dalam aspek hukum administrasi, kegiatan semacam ini dapat dikenakan sanksi berupa teguran tertulis, denda administratif, penutupan sementara, bahkan pencabutan izin usaha.

Perda tersebut juga mengatur larangan terhadap kegiatan yang berpotensi mengundang praktik amoral atau aktivitas yang meresahkan masyarakat, termasuk menyediakan tempat untuk pergaulan bebas atau konsumsi alkohol di ruang terbuka. Hal ini menjadi semakin relevan ketika melihat rekaman media sosial yang menggambarkan perempuan-perempuan muda nongkrong hingga pagi tanpa pengawasan dan dalam situasi yang rentan terhadap kekerasan atau eksploitasi.

Yang lebih ironis, lokasi lapau kopi tersebut berada tepat di belakang kampus negeri yang seharusnya menjadi pusat pembentukan karakter dan keteladanan intelektual. Universitas Negeri Padang (UNP), sebagai institusi pendidikan tinggi, justru dikepung oleh aktivitas sosial liar yang tidak mencerminkan nilai akademik. Ketika mahasiswa dan dosen berjuang menegakkan integritas dan kualitas pendidikan, lingkungan sekitar kampus justru memfasilitasi budaya hura-hura tanpa kendali.

Maka pertanyaan pun mencuat: di mana peran kampus, RT/RW, LPM, pemerintah kelurahan, kecamatan, dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP)? Apakah pengawasan hanya dilakukan setelah suatu tempat viral di media sosial?

Ketertiban umum tidak boleh bergantung pada tren TikTok. Penegakan hukum tidak seharusnya menunggu desakan dari netizen. Dalam praktik ideal, aparat penegak perda harus secara berkala melakukan patroli dan pengawasan, terutama di zona-zona rawan seperti sekitar kampus dan kawasan permukiman padat.

Perempuan di Ruang Sosial Rentan: Bukan Salah Mereka, Tapi Sistem

Banyak yang menyoroti kehadiran perempuan-perempuan muda yang “nongkrong hingga subuh” dalam video tersebut. Sayangnya, alih-alih dilihat sebagai bagian dari persoalan sosial struktural, mereka justru menjadi objek olok-olok dan penghakiman moral.

Fenomena ini memperlihatkan kegagalan kolektif kita dalam membangun ruang sosial yang aman dan sehat bagi perempuan. Apakah mereka datang karena pilihan bebas, atau karena tidak adanya alternatif ruang rekreasi yang sehat dan terjangkau? Apakah tempat semacam ini dibiarkan tumbuh subur karena lemahnya pengawasan, atau karena kita telah menyerah pada logika pasar hiburan digital?

Dalam konteks hukum daerah, Pemerintah Kota Padang seharusnya tidak hanya melihat ini sebagai pelanggaran administratif, tetapi juga sebagai tanda kegagalan dalam menyediakan ruang aman dan ramah gender. Perlu ada evaluasi menyeluruh terhadap efektivitas perda dan perangkat yang bertugas menjalankannya, termasuk sejauh mana pendekatan berbasis gender diterapkan dalam kebijakan ketertiban umum.

Dimana Satpol PP dan wibawa pemerintah Kota Padang?

Satpol PP sebagai organ pelaksana teknis harus berdiri di garis depan dalam menegakkan Perda Nomor 1 Tahun 2025. Dalam praktiknya, Satpol PP sering terjebak dalam dilema antara kepatuhan hukum dan tekanan sosial-politik, terutama ketika pelanggaran dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki relasi kuasa tertentu.

Dalam kasus warung kopi viral ini, pelanggaran sudah sangat terbuka. Tidak ada alasan pembiaran. Pemerintah Kota Padang harus memberikan contoh bahwa hukum tidak boleh tunduk pada popularitas, apalagi pada logika viralitas.

Walikota Padang mesti mengambil langkah tegas. Ketika satu titik pelanggaran dibiarkan, maka akan muncul titik-titik lain yang mengikuti. Efek domino dari pembiaran hukum jauh lebih berbahaya daripada efek viral konten di TikTok.

Kota Padang dikenal sebagai kota dengan identitas keislaman dan budaya Minangkabau yang kuat. Frasa “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” bukanlah slogan kosong. Ia seharusnya menjadi ruh dalam setiap kebijakan publik, termasuk dalam mengelola ketertiban sosial.

Ketertiban bukan berarti menindas kreativitas atau membatasi ruang gerak anak muda. Yang dibutuhkan adalah keseimbangan: antara ekspresi dan norma, antara ekonomi dan moralitas, antara kebebasan dan tanggung jawab.

Solusinya bukan menutup semua warung kopi. Tapi mengatur jam operasional, memastikan pengelola memiliki izin yang sah, mengatur tingkat kebisingan, dan mengawasi interaksi sosial yang berpotensi membahayakan perempuan dan remaja. Pemerintah juga dapat menggandeng komunitas kampus, organisasi masyarakat, dan lembaga keagamaan untuk mensosialisasikan pentingnya menjaga ruang publik yang sehat.

Kasus Lapau kopi viral di kelok S Jalan Gajah 8 bukan sekadar cerita tentang musik keras dan perempuan nongkrong malam-malam. Ini adalah cermin dari bagaimana sebuah kota mengelola ruang publiknya. Apakah hukum ditegakkan? Apakah warganya dilindungi? Apakah perempuan mendapatkan rasa aman? Apakah norma sosial dihargai?

Ketika suara musik lebih nyaring dari suara hukum, maka yang kita perlukan bukan sekadar razia sesaat, tetapi evaluasi menyeluruh terhadap komitmen kota ini pada ketertiban dan keadaban.

Jangan sampai Padang dikenal bukan sebagai kota pendidikan, tetapi sebagai kota yang viral karena ketidaktertiban.

Artikel Terkait

Rekomendasi