Perempuan seperti Sarah hanyalah satu dari ribuan wajah sunyi yang bergumul dalam tekanan ekonomi dan sistem yang abai. Data Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mencatat bahwa dari 1.944 aduan korban pinjaman online (pinjol) sepanjang 2018 hingga 2024, 1.208 di antaranya adalah perempuan. Sementara itu, Satuan Tugas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal (Satgas PASTI) OJK menyebutkan bahwa 61 persen dari 1.081 korban pinjol ilegal dalam triwulan pertama 2025 juga merupakan perempuan. Ini bukan sekadar angka; ini cermin dari ketimpangan struktural yang membuat perempuan jauh lebih rentan terjerat utang ilegal.
Kisah Sarah, sebagaimana diulas oleh Kompas.com, mengungkap bahwa ia harus berhadapan dengan 20 pinjol hanya demi menutup biaya asuransi ayah dan pengobatan ibunya. Di tengah sempitnya akses terhadap bantuan sosial yang efektif, pinjol menjadi “jalan darurat”, namun yang berujung pada jurang kehancuran.
Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari lemahnya intervensi negara terhadap ekonomi keluarga, khususnya kelompok miskin dan perempuan sebagai penanggung beban ganda. Ketika sistem jaminan kesehatan dan sosial tidak menjangkau kelompok rentan, maka mereka terdorong mengandalkan pinjaman, termasuk dari entitas ilegal.
Masalah ini bukan hanya soal hukum perdata atau pidana belaka. Ini soal keadilan sosial. Sejak awal, pendekatan hukum terhadap pinjol cenderung fokus pada aspek perizinan dan pelanggaran etik perusahaan. Padahal, dibutuhkan pendekatan struktural berbasis gender dan keadilan ekonomi. Perempuan seperti Sarah bukan semata korban “kelalaian diri”, tetapi korban dari sistem yang menormalisasi beban ganda—menjadi pencari nafkah sekaligus pengurus keluarga—tanpa perlindungan memadai.
Hukum Harus Berpihak pada Korban
Pasal 29 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjamin bahwa konsumen berhak mendapatkan perlindungan dari praktik yang merugikan. Namun dalam praktiknya, banyak korban pinjol justru dikriminalisasi karena gagal membayar, meski pinjol ilegal tidak memiliki dasar kontraktual yang sah. Di sisi lain, perusahaan pinjol ilegal kerap menggunakan cara-cara kekerasan digital, ancaman, bahkan penyebaran data pribadi tanpa persetujuan—praktik yang jelas-jelas melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi.
Sayangnya, mekanisme perlindungan terhadap korban pinjol masih sangat lemah. Pendekatan hukum kita masih mengutamakan “siapa yang meminjam, wajib membayar”, tanpa menyelami konteks keterdesakan, tekanan sosial, dan eksploitasi sistemik. Perempuan korban pinjol membutuhkan restitusi, bukan kriminalisasi.
Negara harus berani mengevaluasi kegagalan sistemik dalam jaminan sosial. Ketika perempuan seperti Sarah harus membiayai kesehatan orang tua melalui pinjol, ini pertanda gagalnya skema BPJS atau bantuan sosial lainnya menjangkau masyarakat yang membutuhkan. Selain itu, literasi keuangan yang minim, ketimpangan digital, dan lemahnya pengawasan OJK terhadap pinjol ilegal memperparah situasi.
Perempuan juga menghadapi hambatan dalam akses informasi hukum dan layanan pendampingan. Ketika didorong untuk meminjam demi kebutuhan keluarga, mereka tak punya cukup ruang untuk memahami risiko, apalagi melawan ketika disalahgunakan.
Apa yang yang harus dilakukan oleh negara? Pertama, negara perlu merancang regulasi yang tidak hanya menindak pelaku pinjol ilegal, tetapi juga menyusun skema penghapusan utang yang terbukti berasal dari praktik curang, manipulatif, atau penuh intimidasi. Kedua, pendekatan hukum terhadap pinjol harus diintegrasikan dengan perspektif gender dan hak asasi manusia. Ketiga, penyediaan layanan bantuan hukum berbasis komunitas, termasuk melalui posko pengaduan kekerasan digital dan utang ilegal, harus diperluas.
Selain itu, pemerintah perlu menggandeng organisasi perempuan dan masyarakat sipil untuk menyusun peta risiko serta literasi digital yang sensitif gender. Komunikasi publik tentang pinjol tidak cukup hanya berbicara tentang bahaya, tetapi harus menyasar akar ketimpangan.
Kasus Sarah bukan tragedi individu, melainkan cermin dari kelumpuhan sistemik. Kita tidak bisa menuntut individu bertanggung jawab penuh atas situasi yang dilahirkan oleh ketidakadilan struktural. Jika negara ingin sungguh melindungi rakyatnya, maka hukum harus melampaui teks dan berpihak pada korban. Sudah waktunya kita membalik pertanyaan: bukan mengapa Sarah terjerat pinjol, tetapi mengapa ia tidak punya pilihan lain?
Sudah saatnya hukum di Indonesia berhenti menjadi instrumen yang hanya berpihak pada kepastian hukum bagi pelaku usaha, dan mulai menjadi pelindung utama bagi korban, terutama perempuan yang terdesak oleh himpitan ekonomi dan keputusasaan hidup.
Desi Sommaliagustina














