Efisiensi kerap menjadi mantra sakti dalam dunia bisnis dan pemerintahan. Di balik slogan-slogan seperti optimalisasi sumber daya atau transformasi demi keberlanjutan, tersimpan realitas pahit yang tak bisa diabaikan: ribuan orang kehilangan pekerjaannya. Lebih ironis lagi ketika efisiensi tersebut dibungkus dengan retorika mulia seperti “demi meningkatkan kualitas gizi masyarakat.” Pertanyaannya, bisakah pemutusan hubungan kerja (PHK) massal dibenarkan hanya karena dalih efisiensi, bahkan jika tujuannya terdengar sebaik makan bergizi?
Melansir data terbaru dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), sepanjang tahun 2024 terjadi peningkatan jumlah pekerja yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat efisiensi. Total pekerja yang terkena PHK mencapai sekitar 77.965 orang, meningkat dari 64.855 orang pada tahun 2023. Sektor yang paling terdampak oleh PHK akibat efisiensi adalah industri padat karya, khususnya tekstil dan produk tekstil. Faktor-faktor seperti pelemahan ekonomi global dan derasnya produk impor menjadi penyebab utama meningkatnya angka PHK di sektor ini.
Selain itu, efisiensi anggaran di beberapa instansi pemerintah juga berdampak pada PHK. Misalnya, TVRI dan RRI melakukan PHK sebagai imbas dari pemangkasan anggaran kementerian/lembaga pada tahun 2025. Pemerintah diharapkan mengambil langkah serius untuk menangani peningkatan angka PHK ini, mengingat dampaknya yang signifikan terhadap kesejahteraan pekerja dan stabilitas ekonomi nasional. Ketika adanya kontrol sosial yang dilakukan publik, pemerintah baru kebakaran jenggot. Apakah seperti ini gambaran hukum saat ini?
Secara hukum, efisiensi memang diakui sebagai salah satu alasan yang sah untuk melakukan PHK, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (yang telah diubah oleh UU Cipta Kerja). Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa pengusaha dapat melakukan PHK apabila perusahaan tutup karena efisiensi untuk mencegah kerugian. Namun, klausul ini seharusnya tidak dimaknai secara sempit atau digunakan sebagai tameng untuk mengabaikan hak-hak pekerja.
Pertanyaannya menjadi lebih kompleks ketika efisiensi tersebut dikaitkan dengan kebijakan publik, misalnya dalam program penyediaan makanan bergizi di institusi pendidikan. Jika upaya efisiensi justru menyebabkan ribuan pekerja kehilangan mata pencaharian, tidakkah itu bertentangan dengan semangat konstitusi yang menjamin hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (Pasal 27 ayat (2) UUD 1945)?
Dalam banyak kasus, pemerintah mengalihdayakan layanan makanan bergizi ke pihak ketiga dengan alasan efisiensi biaya dan peningkatan kualitas. Model ini mungkin berhasil menekan pengeluaran, tetapi juga berisiko mengorbankan pekerja lama yang tidak diikutsertakan dalam skema baru. Konsekuensinya? Lapangan kerja yang dulu stabil berubah menjadi pekerjaan kontrak jangka pendek tanpa jaminan kesejahteraan.
Kebijakan publik seharusnya tidak hanya mengukur keberhasilan dari aspek efisiensi anggaran atau peningkatan kualitas layanan semata, melainkan juga mempertimbangkan dampak sosial-ekonomi, termasuk potensi hilangnya pekerjaan. Bukankah tujuan utama kebijakan adalah menciptakan kesejahteraan yang berkelanjutan bagi masyarakat?
Hukum bukan sekadar alat untuk melegitimasi keputusan administratif atau korporasi. Ia juga berfungsi sebagai pelindung bagi kelompok yang rentan terdampak kebijakan, termasuk pekerja. Dalam konteks ini, ada beberapa aspek hukum yang perlu diperhatikan. Berdasarkan ILO Convention No. 158, sebelum melakukan PHK massal karena alasan efisiensi, pengusaha wajib melakukan konsultasi dengan perwakilan pekerja untuk mencari alternatif terbaik. Hal ini sering kali diabaikan, terutama dalam kebijakan publik yang cenderung bersifat top-down. Undang-undang mengatur hak pekerja atas pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak lainnya. Dalam praktiknya, banyak pekerja yang tidak mendapatkan kompensasi yang adil karena proses PHK dilakukan secara sepihak atau tanpa transparansi.
Pak Prabowo, Belajarlah kepada Pak Harto
Wacana program makan gratis yang diusung oleh Presiden Prabowo Subianto menuai banyak perhatian publik. Program ini diklaim sebagai upaya untuk mengatasi persoalan gizi buruk dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Namun, jika kita mengkaji lebih dalam, pertanyaan kritis yang perlu diajukan adalah: apakah program ini dirancang dengan landasan hukum yang kokoh dan perencanaan yang matang?
Dalam konteks ini, ada baiknya Pak Prabowo belajar dari sosok Presiden Soeharto (Pak Harto), yang dikenal mampu mengelola program-program sosial berskala besar dengan pendekatan yang lebih terstruktur dan terukur. Meskipun era Orde Baru penuh kontroversi, tidak bisa dipungkiri bahwa beberapa kebijakan Soeharto, terutama di bidang ketahanan pangan dan kesejahteraan rakyat, menunjukkan efektivitas dalam pelaksanaannya.
Kebijakan publik, termasuk program makan gratis, tidak bisa semata-mata didasarkan pada niat baik. Ia harus berpijak pada prinsip-prinsip good governance, yaitu transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik. Dalam sistem hukum Indonesia, dasar hukum pengelolaan anggaran negara diatur secara ketat dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Soeharto, dalam pelaksanaan program-program strategisnya seperti Inpres Desa Tertinggal atau program Pangan Nasional, selalu memastikan adanya instrumen hukum yang jelas. Ia mengandalkan Inpres (Instruksi Presiden) untuk memberikan perintah langsung kepada pejabat di bawahnya, disertai pengaturan anggaran yang terencana dalam APBN. Di sinilah pelajaran penting bagi Prabowo. Sebuah program besar memerlukan desain kebijakan yang dilengkapi regulasi pendukung, bukan sekadar janji politik saat kampanye.
Berbeda dengan era Soeharto yang sangat terpusat, Indonesia kini berada dalam era desentralisasi. Program makan gratis harus memperhitungkan relasi antara pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah daerah memiliki otonomi dalam mengelola anggaran dan kebijakan di wilayahnya. Artinya, Prabowo tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan top-down. Dibutuhkan regulasi yang mengikat semua level pemerintahan, seperti Peraturan Pemerintah atau bahkan Peraturan Presiden yang dirumuskan dengan melibatkan partisipasi publik.
Era Orde Baru dikenal dengan birokrasi yang solid namun otoritarian. Kini, sistem demokrasi menuntut transparansi yang lebih tinggi, yang artinya setiap kebijakan harus mampu dipertanggungjawabkan secara hukum di hadapan publik. Program makan gratis berisiko tinggi menghadapi praktik korupsi jika tidak diawasi dengan ketat, terutama dalam pengadaan bahan pangan dan distribusi logistiknya.
Soeharto dikenal sebagai sosok yang pragmatis dalam mengelola keuangan negara. Programnya tidak akan berjalan jika tidak ada jaminan stabilitas anggaran. Hal ini relevan dengan kritik terhadap program makan gratis Prabowo, yang dinilai belum memiliki perhitungan fiskal yang jelas.
Dalam hukum anggaran, setiap belanja negara harus memiliki dasar hukum yang kuat, mulai dari perencanaan di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) hingga pengesahan di APBN. Pak Harto sangat memahami pentingnya kesinambungan fiskal, bahkan jika itu berarti harus menunda atau mengubah prioritas kebijakan.
Jika Prabowo ingin program ini berjalan efektif, ia harus mampu meyakinkan DPR sebagai lembaga legislatif yang memiliki kewenangan dalam menyetujui anggaran negara. Tanpa dukungan legislatif yang kuat, program ini berisiko menjadi wacana tanpa realisasi.
Dalam hal ini negara juga memiliki tanggung jawab konstitusional untuk melindungi hak-hak pekerja, termasuk dalam situasi di mana kebijakan publik berdampak pada hilangnya pekerjaan. Mekanisme jaminan sosial, pelatihan ulang, dan program penempatan kerja baru seharusnya menjadi bagian integral dari setiap kebijakan yang berpotensi menyebabkan PHK massal.
Efisiensi seharusnya tidak diartikan semata-mata sebagai pengurangan biaya tanpa memperhitungkan biaya sosial yang ditimbulkan. Jika sebuah kebijakan berhasil menyediakan makanan bergizi dengan biaya lebih rendah tetapi mengakibatkan ribuan orang menganggur, apakah itu benar-benar efisien? Kita perlu paradigma baru yang memandang efisiensi secara holistik, yaitu menggabungkan efisiensi ekonomi dengan keadilan sosial. Prinsip sustainability bukan hanya soal lingkungan atau keuangan, tetapi juga tentang menjaga keberlanjutan kehidupan manusia termasuk kelangsungan kerja mereka.
Belajar dari Pak Harto bukan berarti mengadopsi seluruh pendekatannya secara mentah. Yang perlu dicontoh adalah bagaimana sebuah kebijakan sosial dirancang dengan perencanaan matang, dasar hukum yang jelas, serta mekanisme pengawasan yang efektif. Pak Prabowo harus memahami bahwa membangun program makan gratis bukan sekadar soal distribusi makanan. Ini tentang bagaimana hukum bekerja sebagai fondasi kebijakan publik, memastikan hak rakyat terpenuhi tanpa mengabaikan prinsip keadilan, efisiensi, dan transparansi.
Dalam setiap kebijakan, selalu ada pertarungan antara kepentingan ekonomi dan kesejahteraan sosial. Hukum seharusnya menjadi jembatan untuk menyeimbangkan keduanya. Kita tidak bisa terus-menerus mengorbankan hak-hak pekerja atas nama efisiensi. Sebab pada akhirnya, apa gunanya makan bergizi jika masyarakat kehilangan daya beli karena tidak memiliki pekerjaan?
Efisiensi tidak boleh menjadi alasan untuk mengabaikan kemanusiaan. Dan hukum harus menjadi suara bagi mereka yang terdampak dalam diam. Dalam negara hukum, niat baik saja tidak cukup yang dibutuhkan adalah kebijakan yang berbasis hukum, dirancang untuk bertahan melampaui siklus politik lima tahunan. Semoga, Presiden Prabowo , membaca mendengarkan serta menjadikan bahan renungan atas kebijakan yang sarat akan inkosisten konstitusi ini!