Perdebatan antara seorang remaja bernama Aura Cinta dan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang terekam dan disiarkan melalui kanal YouTube KDM Channel, kembali mengingatkan kita akan pentingnya membangun ruang dialog publik yang beradab. Berawal dari perbedaan pandangan tentang urgensi wisuda sekolah, diskusi tersebut berubah menjadi perdebatan panas ketika Dedi Mulyadi menyentil latar belakang ekonomi Aura, seraya berkata, “Anda miskin, tapi jangan sok kaya.”
Sentilan tersebut menuai kontroversi luas. Tak sedikit yang mempertanyakan, sejauh mana seorang pejabat publik dapat menggunakan status sosial-ekonomi warganya dalam perdebatan terbuka? Lebih jauh, apa dampaknya dalam perspektif hukum dan etika pemerintahan?
Menurut saya dalam konsep negara hukum (rechtstaat), martabat manusia menjadi pilar fundamental yang harus dijaga oleh seluruh aparatur negara. Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 secara tegas menjamin hak setiap orang atas perlindungan terhadap diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda. Perlindungan serupa ditegaskan kembali dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Penggunaan status miskin untuk mempermalukan atau mendiskreditkan warga negara di ruang publik bertentangan dengan prinsip ini. Dalam hukum hak asasi manusia, tindakan semacam itu dapat dikategorikan sebagai perlakuan merendahkan martabat (degrading treatment), yang dilarang keras dalam konvensi internasional maupun dalam kerangka hukum nasional.
Martabat tidak boleh dikurangi hanya karena perbedaan ekonomi, apalagi digunakan sebagai argumen untuk mendiamkan pendapat warga negara, lebih-lebih pendapat seorang remaja yang tengah mengekspresikan pandangan kritisnya.
Jika kita lihat kembali dalam prinsip hukum administrasi negara, berlaku asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB). Salah satu di antaranya adalah asas perlakuan yang adil dan tidak diskriminatif. Pejabat publik dituntut untuk menjaga perilaku profesional dan menghindari tindakan yang mempermalukan warga negara di hadapan umum.
Prinsip ini bukan sekadar persoalan etika, melainkan juga bagian dari mekanisme hukum untuk mengontrol penggunaan kekuasaan. Kritik terhadap pendapat warga, tentu sah dalam diskursus demokratis. Namun, mengalihkan perdebatan dari substansi ke serangan terhadap latar belakang pribadi adalah bentuk penyalahgunaan kekuasaan simbolik.
Dalam konteks ini, sikap Dedi Mulyadi tidak hanya mempertontonkan kegagalan menjaga profesionalisme jabatan, melainkan juga mencederai prinsip nondiskriminasi yang seharusnya dijunjung dalam setiap interaksi antara negara dan rakyat.
Yang tak kalah penting, Aura Cinta adalah seorang remaja, yang dalam hukum Indonesia mendapat perlindungan khusus. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa setiap anak berhak untuk menyampaikan pendapat dan mendapatkan perlindungan dari kekerasan, baik fisik maupun psikis.
Membalas pendapat seorang anak dengan mempermalukan kondisi ekonominya di ruang publik berpotensi melanggar prinsip perlindungan ini. Bahkan, dalam perspektif psikologi hukum, tindakan tersebut dapat menimbulkan trauma sosial, membatasi keberanian anak untuk berpendapat di masa depan.
Negara, melalui pejabatnya, justru berkewajiban menciptakan ruang yang aman bagi anak untuk berpartisipasi dalam proses demokrasi, bukan malah mengintimidasi atau mempermalukan.
Dialog antara pejabat dan rakyat memang niscaya diwarnai perbedaan pendapat. Demokrasi menuntut agar setiap perbedaan diperlakukan dengan penghormatan. Dalam masyarakat demokratis, kritik terhadap kebijakan publik harus dijawab dengan argumen substantif, bukan dengan menyerang identitas atau latar belakang pribadi lawan bicara.
Dalam kasus ini, alih-alih memberikan penjelasan rasional tentang kebijakan penghapusan wisuda, perdebatan justru beralih menjadi penghakiman atas kemiskinan. Sebuah ironi di tengah semangat demokrasi yang seharusnya memuliakan suara semua warga, tak terkecuali yang paling lemah sekalipun.
Penggunaan kemiskinan sebagai senjata retoris menunjukkan minimnya kepekaan sosial seorang pejabat terhadap realitas rakyatnya. Ini adalah pelajaran penting: kekuasaan tanpa empati hanya akan memperdalam jurang ketidakpercayaan antara negara dan warga negara.
Kisah Aura Cinta dan Dedi Mulyadi bukan semata soal debat tentang wisuda sekolah. Ia adalah refleksi lebih dalam tentang bagaimana negara, melalui pejabatnya, memandang rakyat kecil. Demokrasi yang sehat tidak hanya diukur dari kebebasan berbicara, tetapi juga dari seberapa jauh negara melindungi martabat setiap orang dalam ruang publik.
Pejabat publik, sebagai wajah negara, memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk memastikan bahwa dalam setiap kata dan tindakan, mereka tidak sekadar mempertahankan otoritas, tetapi juga menegakkan kemanusiaan. Karena dalam negara hukum, martabat manusia harus lebih tinggi dari segala bentuk kekuasaan. Dan pada akhirnya, seorang pejabat publik harus kembali belajar; bagaimana cara menciptakan dialog publik yang beradab dan beretika hukum itu sendiri.
Desi Sommaliagustina














