Di tengah hiruk-pikuk perdebatan tentang kenakalan anak bangsa, kita lupa sejenak bertanya: apa yang sungguh mereka butuhkan? Negara, dalam wajah hukumnya, seharusnya menjadi rumah tempat perlindungan, bukan ruang pengerasan. Anak-anak yang tersesat bukanlah musuh negara yang harus dipatahkan, melainkan tunas-tunas rapuh yang butuh dipandu dengan penuh kasih.
Ketika tangan-tangan kecil yang gemetar dipaksa berdiri tegak dalam barisan barak, saat itulah kita gagal membaca amanat konstitusi. Sebab pendidikan, dalam negara hukum yang beradab, bukanlah soal menghukum dan menaklukkan, melainkan soal membangun jiwa, membesarkan harapan, dan memulihkan luka-luka kecil yang mungkin tak terlihat.
Mereka tidak memerlukan aba-aba keras, tidak butuh disiplin kaku yang membungkam rasa ingin tahu mereka. Yang mereka perlukan adalah ruang untuk tumbuh, untuk diperbaiki, dan untuk dimanusiakan sebagaimana janji luhur yang terpatri dalam setiap sila, setiap pasal, dan setiap nurani berbangsa.
Pendidikan yang sesungguhnya adalah kejernihan tindakan dan kelembutan tutur kata agar menyentuh hati, bukan derap sepatu yang memaksa tunduk tanpa sempat bertanya apa luka yang mereka bawa. Anak-anak itu bukan prajurit gagal, mereka adalah jiwa-jiwa kecil yang retak, yang butuh dipeluk dengan kesabaran, bukan digembleng dengan ketakutan.
Betapa getir membayangkan tangan-tangan mungil itu harus membentuk barisan, menahan tangis di tengah bentakan yang tidak mereka pahami. Seharusnya negara menjadi rumah, bukan barak yang sunyi dari kasih sayang. Seharusnya negara menghapus air mata mereka dengan pengertian, bukan membungkamnya dengan disiplin kaku.
Dalam setiap tatapan mata anak-anak itu, ada jeritan diam yang meminta satu hal sederhana: “Tolong mengerti aku.” Dan jika kita gagal memahami itu, kita bukan hanya kehilangan anak-anak kita, tetapi juga kehilangan masa depan yang seharusnya tumbuh dengan damai.
Dalam bayang undang-undang, dalam naungan konstitusi yang berjanji melindungi segenap bangsa, anak-anak ini mestinya tumbuh dalam taman hukum, bukan di padang keras kekuasaan. Negara hukum yang katanya berdiri di atas keadilan dan martabat manusia seharusnya merangkul mereka dengan tangan pengayom, bukan mendorong mereka ke lorong-lorong dingin barak dan perintah tanpa suara hati.
Konstitusi, kitab suci kenegaraan kita, berbicara tentang hak setiap anak untuk belajar, bermain, dan bermimpi. Tapi apa artinya semua janji itu, bila negara lebih memilih disiplin senjata ketimbang kata-kata pengertian? Apa gunanya pasal-pasal luhur itu, bila yang diterima anak-anak hanyalah gema bentakan, bukan pelukan?
Negara hukum sejatinya bukan sekadar bangunan pasal yang kaku, ia adalah taman tempat harapan-harapan kecil mekar. Ia adalah tempat di mana kesalahan anak-anak tidak dijawab dengan ketakutan, melainkan diarahkan dengan cinta.
Sebab dalam setiap anak yang kita ajari dengan kekerasan, diam-diam kita meruntuhkan mimpi tentang bangsa yang berperikemanusiaan. Dan dalam setiap anak yang kita sentuh dengan kelembutan, kita sedang menanam masa depan yang lebih beradab, seperti janji konstitusi kepada seluruh rakyatnya.

Mahasiswa Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Konsentrasi Hukum Kenegaraan