Isu terkait hubungan guru, siswa, dan orang tua semakin banyak mendapat perhatian di media sosial belakangan ini. Salah satu kasus yang menyorot perhatian publik adalah peristiwa yang melibatkan Guru Supriyani dari Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Guru honorer ini dilaporkan dan dijadikan tersangka atas tuduhan penganiayaan terhadap siswanya, yang diketahui merupakan anak dari seorang anggota kepolisian setempat.
Kasus ini memicu reaksi dari kalangan guru lainnya, yang kemudian membuat sejumlah video parodi. Dalam video-video tersebut, para guru terlihat memilih untuk tidak mengintervensi siswa yang berkelahi dan menghindari memberikan pembinaan, karena takut mendapat tekanan hukum dari para orang tua.
Merespons fenomena yang meresahkan ini, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) mengambil langkah konkret. Kementerian tidak bertindak sendiri, melainkan berkolaborasi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) untuk menangani kasus-kasus serupa dengan pendekatan yang lebih bijaksana.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, menjelaskan bahwa kolaborasi ini bertujuan menciptakan lingkungan pendidikan yang aman dan harmonis, seumpama rumah yang dibangun dengan ikatan erat antara anak dan orang tua. Mu’ti menekankan bahwa setiap persoalan di sekolah seharusnya dapat diselesaikan secara kekeluargaan dan musyawarah, atau dengan pendekatan yang disebut dalam hukum sebagai “restorative justice.”
“Berbagai bentuk kekerasan di lingkungan pendidikan semestinya bisa diselesaikan melalui pendekatan kekeluargaan atau mediasi. Ini adalah inti dari pendekatan restorative justice,” jelas Mu’ti saat memberikan pernyataan di Markas Besar Polri, Jakarta Selatan, pada Selasa, 12 November 2024, yang kemudian diberitakan pada hari berikutnya.
Kapolri Listyo Sigit menambahkan bahwa prinsip restorative justice menciptakan ruang untuk mediasi antara pihak-pihak yang berselisih. Misalnya, jika orang tua murid mengajukan keluhan terhadap guru, pihak kepolisian akan terlebih dahulu memfasilitasi proses mediasi, bukan langsung menindak secara hukum.
“Dengan mediasi ini, diharapkan ada dialog antara pihak-pihak yang bersangkutan sebelum kasus berlanjut ke tahap yang lebih jauh,” ujar Listyo. Ruang mediasi ini diharapkan juga memberi kenyamanan kepada guru dalam menjelaskan dan menjalankan program pendisiplinan di sekolah, dengan pemahaman dari para orang tua untuk menghindari kesalahpahaman.
Listyo menekankan pentingnya sosialisasi dari guru kepada orang tua terkait program pendisiplinan siswa di sekolah, agar orang tua dapat memahami konteks pembinaan yang dilakukan. Hal ini untuk memastikan bahwa upaya pendisiplinan dipahami bersama dan menghindari kesalahpahaman.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa pendekatan restorative justice hanya berlaku untuk kasus-kasus tertentu dan tidak mencakup pelanggaran serius atau penyimpangan hukum yang memerlukan penanganan khusus. Jika kasus melibatkan unsur yang dianggap menyimpang, maka penanganannya akan dilakukan sesuai ketentuan hukum yang berlaku.