Dalam pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) di DPR RI, muncul usulan kontroversial yang menyatakan bahwa politisi dan pejabat yang berstatus tersangka tidak perlu ditahan sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Gagasan ini langsung menuai kritik dari berbagai kalangan karena dianggap dapat melemahkan upaya pemberantasan korupsi serta menciptakan ketimpangan dalam penerapan hukum di Indonesia.
Usulan tersebut berasal dari seorang advokat terkemuka, Maqdir Ismail, yang selama ini dikenal sering membela tersangka kasus korupsi. Dalam rapat dengar pendapat umum yang digelar Komisi III DPR RI bersama sejumlah advokat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Rabu, 5 Maret 2025, Maqdir menyampaikan pandangannya mengenai perlunya revisi aturan penahanan bagi tersangka, khususnya politisi dan pejabat negara.
Maqdir mengutip praktik hukum di Belanda yang menerapkan kebijakan di mana seorang tersangka baru dapat ditahan setelah adanya putusan pengadilan. Ia menilai bahwa kebijakan serupa dapat diterapkan di Indonesia, terutama mengingat kondisi rumah tahanan (rutan) dan lembaga pemasyarakatan (lapas) yang sudah mengalami kelebihan kapasitas. Menurutnya, penahanan semestinya hanya diterapkan bagi tersangka yang tidak memiliki pekerjaan atau tempat tinggal yang jelas, sedangkan bagi politisi atau pejabat, keberadaan mereka sudah pasti diketahui, sehingga tidak diperlukan tindakan penahanan.
“Politisi dan pejabat publik memiliki alamat tempat tinggal yang jelas, sehingga seharusnya mereka tidak perlu ditahan sebelum ada bukti yang kuat terkait dugaan tindak pidana yang mereka lakukan,” ujar Maqdir dalam pernyataannya.
Namun, usulan ini mendapat penolakan keras dari berbagai pihak, termasuk akademisi dan pegiat hukum. Pakar hukum pidana dari Universitas Mulawarman, Orin Gusta, menyatakan bahwa usulan tersebut bertentangan dengan prinsip dasar dalam hukum acara pidana. Ia mengingatkan bahwa Pasal 21 Ayat 1 KUHAP telah mengatur bahwa penahanan dilakukan jika ada kekhawatiran tersangka akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau mengulangi tindak pidana.
“Siapa yang bisa menjamin bahwa politisi atau pejabat tidak akan melakukan hal-hal tersebut? Justru karena mereka memiliki jabatan dan jaringan, mereka berpotensi lebih besar untuk mempengaruhi jalannya penyelidikan,” tegas Orin.
Selain itu, usulan Maqdir juga menimbulkan kecurigaan publik karena dirinya merupakan kuasa hukum Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan yang baru saja ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan korupsi. Namun, Maqdir membantah bahwa gagasannya berkaitan dengan kliennya dan menegaskan bahwa idenya berangkat dari prinsip kemanusiaan serta kondisi rutan yang memprihatinkan.
“Ini tidak ada kaitannya dengan Mas Hasto atau kasus tertentu. Ini murni soal bagaimana kita memperbaiki sistem hukum kita agar lebih adil dan manusiawi,” ujar Maqdir.
Namun, kritik terhadap usulan tersebut tidak hanya datang dari akademisi, tetapi juga dari organisasi masyarakat sipil. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, menilai gagasan tersebut sarat akan bias dan diskriminasi terhadap kelompok masyarakat yang lebih lemah. Ia menilai bahwa ide Maqdir lebih menguntungkan golongan elite dan berpotensi menciptakan ketidakadilan dalam sistem peradilan pidana.
“Ini adalah bentuk keberpihakan kepada mereka yang memiliki kekuasaan dan harta. Usulan ini justru semakin menunjukkan adanya perlakuan hukum yang berbeda antara orang kaya dan orang biasa,” ujar Isnur.
Menurut Isnur, yang seharusnya menjadi perhatian dalam revisi RKUHAP adalah mekanisme pengawasan terhadap proses penahanan melalui sistem judicial scrutiny, di mana pengadilan memiliki wewenang untuk mengevaluasi dasar hukum penahanan tersangka. Dengan adanya Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP), penahanan dapat diuji secara objektif tanpa harus bergantung pada mekanisme praperadilan yang selama ini dianggap tidak efektif.
Sementara itu, Sekretaris Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PHBI), Gina Sabrina, juga menilai bahwa judicial scrutiny penting untuk memastikan bahwa upaya paksa seperti penahanan tidak dilakukan secara sewenang-wenang oleh penyidik atau jaksa. Namun, ia menolak gagasan yang diajukan Maqdir karena dinilai memberikan keistimewaan bagi politisi dan pejabat negara.
“Penahanan memang menjadi salah satu penyebab utama kelebihan kapasitas di lapas dan rutan. Namun, solusi bukan dengan memberikan pengecualian kepada pejabat dan politisi. Justru, karena mereka memiliki kekuasaan dan akses yang luas, mereka harus lebih diawasi ketat agar tidak menyalahgunakan pengaruhnya untuk menghindari proses hukum,” ujar Gina.
Menurutnya, pejabat yang terlibat kasus korupsi memiliki risiko tinggi dalam mempengaruhi jalannya penyelidikan, baik melalui intervensi terhadap saksi maupun penghilangan barang bukti. Oleh karena itu, penahanan tetap menjadi langkah penting dalam memastikan proses hukum berjalan dengan adil dan transparan.
Secara keseluruhan, usulan untuk tidak menahan politisi dan pejabat yang menjadi tersangka sebelum adanya vonis pengadilan dinilai berbahaya karena dapat melemahkan prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law). Kritikan yang muncul menunjukkan bahwa upaya perbaikan sistem hukum seharusnya lebih difokuskan pada transparansi dan pengawasan dalam proses penahanan, bukan dengan memberikan perlakuan khusus kepada kelompok tertentu.
Dengan demikian, wacana yang diajukan dalam pembahasan RKUHAP ini masih menjadi polemik di tengah masyarakat. Sementara sebagian pihak melihatnya sebagai upaya untuk mengurangi over kapasitas di rutan dan lapas, mayoritas kalangan menilai bahwa gagasan tersebut justru dapat membuka celah bagi tersangka kasus korupsi untuk menghindari pertanggungjawaban hukum. Maka, perlu adanya kajian yang lebih mendalam serta keterlibatan berbagai pihak agar reformasi hukum acara pidana benar-benar membawa keadilan bagi seluruh masyarakat, tanpa pandang bulu terhadap status atau jabatan seseorang.
Sumber:
https://liks.suara.com/read/2025/03/06/092032/hukum-tumpul-ke-atas-usulan-tak-tahan-politisi-dan-pejabat-koruptor-tuai-kritik-tajamDalam pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) di DPR RI, muncul usulan kontroversial yang menyatakan bahwa politisi dan pejabat yang berstatus tersangka tidak perlu ditahan sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Gagasan ini langsung menuai kritik dari berbagai kalangan karena dianggap dapat melemahkan upaya pemberantasan korupsi serta menciptakan ketimpangan dalam penerapan hukum di Indonesia.
Usulan tersebut berasal dari seorang advokat terkemuka, Maqdir Ismail, yang selama ini dikenal sering membela tersangka kasus korupsi. Dalam rapat dengar pendapat umum yang digelar Komisi III DPR RI bersama sejumlah advokat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Rabu, 5 Maret 2025, Maqdir menyampaikan pandangannya mengenai perlunya revisi aturan penahanan bagi tersangka, khususnya politisi dan pejabat negara.
Maqdir mengutip praktik hukum di Belanda yang menerapkan kebijakan di mana seorang tersangka baru dapat ditahan setelah adanya putusan pengadilan. Ia menilai bahwa kebijakan serupa dapat diterapkan di Indonesia, terutama mengingat kondisi rumah tahanan (rutan) dan lembaga pemasyarakatan (lapas) yang sudah mengalami kelebihan kapasitas. Menurutnya, penahanan semestinya hanya diterapkan bagi tersangka yang tidak memiliki pekerjaan atau tempat tinggal yang jelas, sedangkan bagi politisi atau pejabat, keberadaan mereka sudah pasti diketahui, sehingga tidak diperlukan tindakan penahanan.
“Politisi dan pejabat publik memiliki alamat tempat tinggal yang jelas, sehingga seharusnya mereka tidak perlu ditahan sebelum ada bukti yang kuat terkait dugaan tindak pidana yang mereka lakukan,” ujar Maqdir dalam pernyataannya.
Namun, usulan ini mendapat penolakan keras dari berbagai pihak, termasuk akademisi dan pegiat hukum. Pakar hukum pidana dari Universitas Mulawarman, Orin Gusta, menyatakan bahwa usulan tersebut bertentangan dengan prinsip dasar dalam hukum acara pidana. Ia mengingatkan bahwa Pasal 21 Ayat 1 KUHAP telah mengatur bahwa penahanan dilakukan jika ada kekhawatiran tersangka akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau mengulangi tindak pidana.
“Siapa yang bisa menjamin bahwa politisi atau pejabat tidak akan melakukan hal-hal tersebut? Justru karena mereka memiliki jabatan dan jaringan, mereka berpotensi lebih besar untuk mempengaruhi jalannya penyelidikan,” tegas Orin.
Selain itu, usulan Maqdir juga menimbulkan kecurigaan publik karena dirinya merupakan kuasa hukum Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan yang baru saja ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan korupsi. Namun, Maqdir membantah bahwa gagasannya berkaitan dengan kliennya dan menegaskan bahwa idenya berangkat dari prinsip kemanusiaan serta kondisi rutan yang memprihatinkan.
“Ini tidak ada kaitannya dengan Mas Hasto atau kasus tertentu. Ini murni soal bagaimana kita memperbaiki sistem hukum kita agar lebih adil dan manusiawi,” ujar Maqdir.
Namun, kritik terhadap usulan tersebut tidak hanya datang dari akademisi, tetapi juga dari organisasi masyarakat sipil. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, menilai gagasan tersebut sarat akan bias dan diskriminasi terhadap kelompok masyarakat yang lebih lemah. Ia menilai bahwa ide Maqdir lebih menguntungkan golongan elite dan berpotensi menciptakan ketidakadilan dalam sistem peradilan pidana.
“Ini adalah bentuk keberpihakan kepada mereka yang memiliki kekuasaan dan harta. Usulan ini justru semakin menunjukkan adanya perlakuan hukum yang berbeda antara orang kaya dan orang biasa,” ujar Isnur.
Menurut Isnur, yang seharusnya menjadi perhatian dalam revisi RKUHAP adalah mekanisme pengawasan terhadap proses penahanan melalui sistem judicial scrutiny, di mana pengadilan memiliki wewenang untuk mengevaluasi dasar hukum penahanan tersangka. Dengan adanya Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP), penahanan dapat diuji secara objektif tanpa harus bergantung pada mekanisme praperadilan yang selama ini dianggap tidak efektif.
Sementara itu, Sekretaris Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PHBI), Gina Sabrina, juga menilai bahwa judicial scrutiny penting untuk memastikan bahwa upaya paksa seperti penahanan tidak dilakukan secara sewenang-wenang oleh penyidik atau jaksa. Namun, ia menolak gagasan yang diajukan Maqdir karena dinilai memberikan keistimewaan bagi politisi dan pejabat negara.
“Penahanan memang menjadi salah satu penyebab utama kelebihan kapasitas di lapas dan rutan. Namun, solusi bukan dengan memberikan pengecualian kepada pejabat dan politisi. Justru, karena mereka memiliki kekuasaan dan akses yang luas, mereka harus lebih diawasi ketat agar tidak menyalahgunakan pengaruhnya untuk menghindari proses hukum,” ujar Gina.
Menurutnya, pejabat yang terlibat kasus korupsi memiliki risiko tinggi dalam mempengaruhi jalannya penyelidikan, baik melalui intervensi terhadap saksi maupun penghilangan barang bukti. Oleh karena itu, penahanan tetap menjadi langkah penting dalam memastikan proses hukum berjalan dengan adil dan transparan.
Secara keseluruhan, usulan untuk tidak menahan politisi dan pejabat yang menjadi tersangka sebelum adanya vonis pengadilan dinilai berbahaya karena dapat melemahkan prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law). Kritikan yang muncul menunjukkan bahwa upaya perbaikan sistem hukum seharusnya lebih difokuskan pada transparansi dan pengawasan dalam proses penahanan, bukan dengan memberikan perlakuan khusus kepada kelompok tertentu.
Dengan demikian, wacana yang diajukan dalam pembahasan RKUHAP ini masih menjadi polemik di tengah masyarakat. Sementara sebagian pihak melihatnya sebagai upaya untuk mengurangi over kapasitas di rutan dan lapas, mayoritas kalangan menilai bahwa gagasan tersebut justru dapat membuka celah bagi tersangka kasus korupsi untuk menghindari pertanggungjawaban hukum. Maka, perlu adanya kajian yang lebih mendalam serta keterlibatan berbagai pihak agar reformasi hukum acara pidana benar-benar membawa keadilan bagi seluruh masyarakat, tanpa pandang bulu terhadap status atau jabatan seseorang.