Parkir Liar di Padang: Jamur Musiman, Pungli yang Membusuk

1686557092704794941382718139865

Kota Padang, ibukota Provinsi Sumatera Barat, tengah menghadapi fenomena klasik tapi pelik: parkir liar yang tumbuh bak jamur di musim hujan. Dari kawasan wisata Pantai Padang, Jalan Khatib Sulaiman, hingga Pasar Raya dan Permindo, wajah kota kian semrawut oleh praktik pemungutan liar yang dilakukan oleh juru parkir tanpa identitas jelas, tanpa dasar hukum, tanpa kendali.

Bagi warga, ini bukan sekadar ketidaknyamanan kecil. Parkir liar adalah manifestasi dari pembiaran struktural yang menandai lemahnya tata kelola ruang publik. Dalam konteks yang lebih luas, praktik ini menunjukkan gejala kronisnya korupsi keseharian yang menjangkiti pelayanan dasar kota dan Padang sedang jadi salah satu potret buramnya.

Pasal 17 sampai Pasal 23 Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 11 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum sejatinya telah mengatur soal parkir di tepi jalan umum, termasuk besarannya. Namun dalam praktik, peraturan ini nyaris tak punya taring. Di lapangan, juru parkir liar memungut tarif sewenang-wenang, tanpa karcis, dan bahkan sering kali tanpa rompi resmi. Tak sedikit pula warga yang mengaku diintimidasi atau ditekan saat mempertanyakan legalitas petugas parkir.

Situasi ini mengindikasikan bahwa negara—melalui pemerintah kota dan dinas teknis tidak benar-benar hadir. Pembiaran parkir liar sama artinya dengan melegalkan pungli terselubung. Lebih dari sekadar pelanggaran administratif, ini adalah penyimpangan sistemik yang mencederai hukum, merusak kepercayaan publik, dan menciptakan ketidakadilan.

Tidak menutup kemungkinan bahwa praktik ini berlangsung karena ada “bagi hasil” dengan oknum tertentu. Jika benar demikian, maka kita sedang menyaksikan bagian dari rantai korupsi kecil yang mengakar: korupsi yang tak berskala besar, tapi dilakukan terus-menerus dan menyasar warga setiap hari.

Warga yang Tercekik

Akibat paling nyata dari parkir liar adalah penderitaan warga. Mereka yang menggantungkan hidup pada usaha kecil, transportasi daring, dan mobilitas harian, dipaksa membayar lebih dari seharusnya. Tak ada transparansi. Tak ada perlindungan hukum. Tak ada jaminan pelayanan.

Bagi warga kelas bawah, pengeluaran parkir liar yang hanya Rp 5.000 atau Rp 10.000 bisa jadi bukan soal kecil. Ini menyentuh langsung prinsip keadilan dalam pelayanan publik sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik: bahwa layanan harus akuntabel, terstandar, dan bebas pungli.

Ironisnya, mereka yang berani menolak kerap mendapat perlakuan intimidatif. Dari sinilah parkir liar bertransformasi bukan hanya sebagai pelanggaran hukum, tapi menjadi ruang kekerasan simbolik yang dipertontonkan terang-terangan di ruang publik.

Permasalahan parkir liar tidak dapat dilepaskan dari pungutan liar yang lebih sistemik. Jika melihat data Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Padang dari sektor parkir pada 2023, realisasi penerimaan retribusi parkir hanya sekitar Rp 5 miliar, padahal potensi nyatanya diperkirakan lebih dari dua kali lipat.Kemana uang sisanya menguap?

Pemerintah Kota Padang tampaknya tidak punya jawaban yang memuaskan. Ini pertanda adanya kebocoran masif dalam sistem retribusi, baik karena lemahnya pengawasan maupun karena adanya praktik “bayar-setor” yang melibatkan juru parkir liar dan oknum tertentu di lapisan atas. Dalam kajian Indonesia Corruption Watch (ICW), pungli sektor transportasi termasuk yang paling sering dikeluhkan masyarakat, dan ironisnya kerap dinormalisasi oleh aparat lokal.

Ketika regulasi tidak berjalan, bukti nyata, solusi yang konkret yang dibutuhkan. Solusi terhadap persoalan ini harus dilakukan secara menyeluruh dan tegas. Ada lima langkah mendesak yang bisa dijalankan:

Pertama, audit menyeluruh terhadap titik-titik parkir resmi dan liar di seluruh Kota Padang. Perlu pembaruan zonasi berdasarkan pergerakan kendaraan yang terus berubah, terutama di titik padat wisata dan ekonomi.

Kedua, percepatan digitalisasi parkir melalui sistem pembayaran non-tunai (e-parking) yang transparan dan terhubung langsung ke kas daerah. Hal ini telah diterapkan dengan hasil cukup baik di beberapa kota seperti Surabaya dan Yogyakarta.

Ketiga, perekrutan juru parkir harus melalui seleksi terbuka dan pelatihan etika pelayanan publik. Mereka wajib menggunakan seragam, kartu identitas elektronik, dan karcis resmi.

Keempat, penindakan terhadap pelaku parkir liar dan oknum pembeking harus dilakukan secara konsisten. Bukan sekadar razia sesaat atau pencitraan saat viral, tapi operasi yustisi reguler dan terstruktur.

Kelima, partisipasi publik harus diberi ruang. Layanan pengaduan cepat seperti Lapor! atau aplikasi berbasis komunitas perlu difungsikan kembali dan dijamin kerahasiaannya.

Persoalan parkir liar di Padang sejatinya adalah soal kehadiran negara. Negara yang tunduk pada konstitusi, melindungi hak warganya atas ruang publik yang tertib dan aman, bukan negara yang absen atau malah berkompromi dengan pelanggaran hukum.

Parkir liar adalah wajah dari sistem yang membusuk di akar. Ia bukan sekadar pelanggaran lalu lintas, tapi bagian dari proses pembusukan pelayanan publik yang dibiarkan tumbuh karena diam. Dan diam, dalam konteks ini, bukanlah kebijakan netral—melainkan keberpihakan terhadap pelanggar hukum.

Kita tidak bisa membiarkan ruang publik terus dirampas oleh mereka yang bermodal kekerasan dan pungli. Kota Padang harus berani berubah. Pemerintahnya harus punya kemauan, bukan sekadar wacana. Jika tidak, maka Padang bukan sedang membangun kota modern, melainkan sedang melanggengkan ketertiban palsu di bawah kuasa pungli. Semoga Kota Padang segera berbenah dari wajah kota yang semrawut ini!

Artikel Terkait

Rekomendasi