Kebijakan penghapusan piutang macet bagi UMKM oleh Presiden Prabowo adalah angin segar yang sangat dibutuhkan di tengah tantangan ekonomi. Tanpa pengawasan dan kebijakan pendukung yang tepat, kebijakan ini berpotensi menimbulkan risiko baru bagi perekonomian.
Kebijakan yang tertuang pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2024 tentang Penghapusan Piutang Macet kepada UMKM pada bidang pertanian, perkebunan, peternakan, dan kelautan serta UMKM lainnya yang ditandatangani pada Selasa (5/11/2024). Hal ini menandai langkah progresif dalam upaya pemulihan ekonomi nasional
Tentunya, kebijakan ini disambut baik oleh banyak pihak, terutama pelaku UMKM yang kesulitan membayar pinjaman akibat kondisi ekonomi yang sulit dalam beberapa tahun terakhir. Meski tampak menjanjikan, langkah ini tetap menghadirkan sejumlah pertanyaan penting: apakah penghapusan piutang adalah solusi yang efektif, atau justru membawa risiko baru dalam perekonomian?
UMKM merupakan tulang punggung ekonomi Indonesia, memberikan kontribusi lebih dari 60% pada Produk Domestik Bruto (PDB) dan menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Sayangnya, sektor ini juga sangat rentan terhadap krisis, mulai dari pandemi COVID-19 hingga dampak resesi global yang melemahkan permintaan. Dalam hal inilah kebijakan penghapusan piutang macet menjadi sangat krusial. Dengan menghapus beban utang yang menumpuk, UMKM memiliki kesempatan untuk kembali fokus pada operasional usaha, melakukan inovasi, dan memperkuat daya saing.
Banyak UMKM tersebar di seluruh pelosok Indonesia, memberikan dampak langsung pada perekonomian lokal. Penghapusan utang memberikan kesempatan bagi UMKM untuk bertahan dan berkembang di tingkat lokal, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan daya beli masyarakat. Langkah ini penting karena ketahanan ekonomi nasional bergantung pada kesehatan ekonomi di setiap daerah, dan UMKM adalah ujung tombaknya.
Namun, kebijakan penghapusan utang bukan tanpa risiko. Salah satu kekhawatiran utama adalah potensi “moral hazard”, keengganan debitur untuk bertanggung jawab atas pinjaman yang diberikan. Ketika UMKM merasa bahwa utangnya bisa dihapuskan, bisa saja timbul mentalitas “pinjam dulu, bayar nanti atau tidak sama sekali.” Ini dapat menimbulkan dampak buruk pada budaya pinjaman UMKM di masa depan.
Untuk mencegah ini, pemerintah harus menyertakan syarat dan kriteria yang ketat dalam implementasi kebijakan ini. Misalnya, penghapusan utang sebaiknya diberikan kepada UMKM yang benar-benar terdampak krisis atau memiliki rekam jejak pembayaran yang baik sebelum kesulitan finansial melanda. Dengan demikian, kebijakan ini benar-benar akan membantu mereka yang membutuhkan dan tidak memberikan kelonggaran pada pelaku usaha yang sengaja tidak membayar.
Perbankan juga akan terkena imbas dari kebijakan ini. Dengan penghapusan piutang macet, bank mungkin harus menghadapi kerugian finansial dalam jumlah besar. Meskipun pemerintah bisa menyiapkan skema kompensasi untuk bank, efek jangka panjang tetap perlu dipertimbangkan. Bank, sebagai lembaga finansial, mungkin akan lebih berhati-hati dalam menyalurkan pinjaman kepada UMKM di masa mendatang, karena ketidakpastian pelunasan. Jika bank kehilangan kepercayaan dalam menyalurkan kredit kepada UMKM, ini bisa memperlambat pertumbuhan sektor ini di masa depan. Karenanya, perlu ada dialog antara pemerintah dan perbankan untuk memastikan kebijakan ini tidak mengganggu keberlanjutan akses kredit UMKM.
Penghapusan piutang hanyalah solusi jangka pendek. Dalam jangka panjang, pemerintah perlu memprioritaskan edukasi finansial bagi UMKM agar mereka mampu mengelola keuangan dengan lebih baik. Program literasi keuangan bisa membantu UMKM memahami risiko pinjaman dan pentingnya tanggung jawab finansial, sehingga risiko piutang macet bisa ditekan.
Untuk itu pemerintah juga harus meningkatkan dukungan dalam bentuk pelatihan, akses ke teknologi, serta pendampingan usaha untuk meningkatkan daya saing UMKM di pasar domestik dan internasional. Dengan begitu, kebijakan penghapusan piutang ini dapat menjadi awal dari perubahan struktural yang memperkuat UMKM secara berkelanjutan.
Jika pemerintah tidak mampu menjalankan kebijakan ini dengan baik. Tentunya akan timbul risiko yang besar. Dalam hal ini, pemerintah seakan terlihat gegabah dan tergesa-gesa dalam mengambil keputusan. Kenapa demikian? bukan tidak mungkin ini akan menjadi bumerang dikemudian hari, terutama bagi sektor perekonomian dan berimbas kepada sektor perbankan yang ada di Indonesia. Bila hal ini benar-benar terjadi,bukannya pemerintah memulihkan ekonomi, malah memperburuk sektor ekonomi itu sendiri nantinya.
Oleh karena itu, pemerintah perlu memastikan bahwa kebijakan ini diterapkan secara adil dan akuntabel, serta diiringi dengan upaya penguatan UMKM melalui edukasi dan pendampingan yang berkelanjutan. Dengan begitu, penghapusan piutang macet bisa menjadi solusi jangka panjang yang membawa kesejahteraan, bukan sekadar pelonggaran sementara atau sekedar pelipur lara ditengah perekonomian yang saat ini sedang tidak baik.