Di lingkungan akademik yang seharusnya menjunjung tinggi intelektualitas dan kesetaraan, diskriminasi antardosen masih menjadi realitas sunyi. Bentuknya beragam: pengucilan dari kolaborasi riset, penghambatan akses terhadap program studi lanjut, hingga pelabelan yang mendiskreditkan integritas pribadi. Sayangnya, banyak perguruan tinggi memilih bungkam. Diskriminasi antar-dosen dianggap sekadar “konflik personal” atau bahkan diabaikan karena pelakunya punya posisi struktural penting.
Pertanyaan mendasarnya: apakah Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Perguruan Tinggi (Satgas PPKPT) bisa turun tangan jika pelaku dan korban adalah sama-sama dosen? Apakah mandat satgas cukup kuat untuk memanggil dosen yang diduga mendiskriminasi koleganya?
Satgas PPKPT dibentuk berdasarkan Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi. Peraturan ini, yang mulai berlaku sejak 10 Oktober 2024, menggantikan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual. Perubahan ini tidak sekadar berganti nama, tetapi memperluas cakupan penanganan kekerasan di lingkungan kampus, tidak lagi terbatas pada kekerasan seksual.
Satuan Tugas yang semula bernama Satgas PPKS (Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual), kini menjadi Satgas PPKPT (Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Perguruan Tinggi). Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menandai perubahan ini sebagai bagian dari upaya sistematis memperbaiki regulasi dan kebijakan untuk menciptakan lingkungan kampus yang lebih aman, inklusif, dan bebas dari berbagai bentuk kekerasan.
Dengan perluasan mandat ini, Satgas PPKPT kini menangani berbagai bentuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual, perundungan, diskriminasi, kekerasan psikologis, hingga kekerasan berbasis relasi kuasa. Artinya, diskriminasi yang dialami antardosen dalam konteks akademik kini berada dalam lingkup kerja Satgas.
Diskriminasi sebagai Kekerasan Struktural
Diskriminasi dalam konteks ini adalah kekerasan simbolik yang sulit dilacak secara kasatmata, namun dampaknya serius. Pierre Bourdieu menyebutnya sebagai violence symbolique — kekerasan yang dilegitimasi secara sosial dan kerap dianggap “hal biasa”. Ketika seorang dosen perempuan dikecilkan karena belum menikah, atau ketika dosen dengan identitas gender tertentu tak pernah diajak dalam forum penting karena “tidak sesuai citra kampus”, maka itu bentuk kekerasan simbolik.
Kampus yang membiarkan praktik diskriminatif semacam itu, secara tidak langsung, telah menyuburkan ketimpangan dan menormalisasi kekerasan berbasis gender dan relasi kuasa. Bivitri Susanti dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera pernah menyatakan bahwa “kampus bukan sekadar ruang produksi ilmu, tetapi juga ruang produksi keadilan sosial. Jika keadilan tak tumbuh di sana, di mana lagi ia akan ditanam?”
Satgas PPKPT diberi mandat untuk menerima laporan, melakukan klarifikasi, dan menyampaikan rekomendasi kepada pimpinan perguruan tinggi. Dalam regulasi baru ini, satgas berwenang memanggil siapa pun yang diduga terlibat dalam tindakan kekerasan di lingkungan kampus — termasuk kasus diskriminasi dan kekerasan psikologis antardosen.
Meski tidak memiliki kewenangan yudisial seperti lembaga peradilan, pemanggilan oleh Satgas memiliki legitimasi moral dan administratif yang kuat. Jika seorang dosen dipanggil untuk klarifikasi dan menolak hadir tanpa alasan yang sah, maka sikap itu bisa dinilai sebagai bentuk pelanggaran terhadap prinsip tata kelola perguruan tinggi yang sehat.
Pemanggilan ini bukan bertujuan menghukum, tetapi membuka ruang dialog, klarifikasi, dan rekomendasi perbaikan. Permendikbudristek 55/2024 mengedepankan prinsip perlindungan korban, keberpihakan pada keadilan substantif, serta pemulihan berbasis trauma (trauma-informed approach).
Kasus-Kasus yang Sering Luput
Dalam praktiknya, diskriminasi antardosen sering muncul dalam bentuk-bentuk halus: perubahan jadwal mengajar secara sepihak, penolakan terhadap proposal riset bersama, hingga penundaan proses kenaikan jabatan fungsional. Tidak jarang, bukti tertulis eksplisit sulit ditemukan, tetapi ada pola pengucilan sistematis. Ketika korban mengadukan, ia justru dihadapkan pada tekanan sosial agar “tidak memperbesar masalah”.
Beberapa kampus di Indonesia mulai berani memproses kasus-kasus diskriminatif semacam ini. Di salah satu universitas negeri di Sumatera Barat, misalnya, seorang dosen melaporkan rekan sejawatnya karena kerap dipermalukan di grup akademik atas dasar status pernikahan dan gaya berpakaian. Satgas PPKPT kampus tersebut memanggil para pihak dan menyampaikan rekomendasi kepada rektor, termasuk pelatihan ulang etika profesional dan mediasi. Proses ini berjalan dalam koridor etik, bukan sanksi pidana, tetapi berhasil mengembalikan suasana kerja yang sehat.
Kultur diam masih menjadi batu sandungan. Banyak dosen enggan melapor karena takut dibekukan aksesnya, kehilangan dukungan promosi jabatan, atau dikucilkan secara kolektif oleh kolega. Bahkan tak jarang, pelaku justru menjabat sebagai pengambil keputusan di level fakultas atau universitas.
Dalam konteks ini, Satgas PPKPT harus hadir bukan sebagai pihak pasif yang menunggu laporan formal, tetapi proaktif menciptakan iklim keberanian berbicara (speak-up culture). Perlu dibangun prosedur pelaporan yang aman, anonim, dan berbasis perlindungan hak pelapor.
Selain itu, penting bagi pimpinan perguruan tinggi untuk menunjukkan komitmen pada nilai-nilai kesetaraan. Jangan sampai kampus hanya tampak adil dalam slogan, tetapi timpang dalam praktiknya. Keadilan internal adalah pondasi dari reputasi institusional.
Satgas PPKPT bukan hanya bisa memanggil dosen yang diduga diskriminatif terhadap koleganya, tetapi memang wajib melakukannya ketika terjadi pelanggaran nilai kesetaraan dan keadilan di ruang akademik. Perluasan mandat melalui Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024 memberi landasan hukum yang lebih kokoh untuk mewujudkan lingkungan kampus yang benar-benar aman, inklusif, dan berkeadilan.
Kampus bukan sekadar tempat belajar dan mengajar, tetapi komunitas hidup yang harus menjamin rasa aman, bermartabat, dan adil bagi semua. Sudah saatnya kita menolak anggapan bahwa diskriminasi antardosen hanyalah “urusan internal”. Justru di sinilah letak tanggung jawab kolektif kita: memastikan bahwa keadilan tidak berhenti di pintu ruang kelas, tetapi juga menjalar ke ruang dosen, ruang senat, dan ruang-ruang sunyi di mana suara minoritas sering tak terdengar.
Desi Sommaliagustina














