Kasus disertasi Bahlil Lahadalia, sarat dalam pelanggaran etika akademik dan hukum kekayaan intelektual. Dalam disertasinya yang berjudul “Kebijakan, Kelembagaan, dan Tata Kelola Hilirisasi Nikel yang Berkeadilan dan Berkelanjutan di Indonesia”. Bahlil diduga mencantumkan nama Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) sebagai informan utama tanpa izin atau persetujuan resmi dari organisasi tersebut.
Koordinator Nasional Jatam, Melky Nahar, menyatakan bahwa pihaknya tidak pernah memberikan persetujuan, baik secara tertulis maupun lisan, untuk menjadi informan utama dalam disertasi tersebut. Jatam hanya memberikan persetujuan untuk diwawancarai oleh seorang peneliti bernama Ismi Azkya, yang mengaku melakukan penelitian untuk dirinya sendiri, bukan untuk orang lain. Belakangan diketahui bahwa hasil wawancara tersebut digunakan dalam disertasi Bahlil tanpa sepengetahuan dan izin Jatam.
Tindakan mencantumkan nama atau menggunakan data tanpa izin dalam karya akademik dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap hukum kekayaan intelektual, khususnya terkait dengan hak cipta dan etika penelitian. Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, penggunaan karya atau data milik pihak lain tanpa izin dapat dikenakan sanksi hukum. Selain itu, tindakan tersebut juga mencederai integritas dan etika akademik yang seharusnya dijunjung tinggi dalam dunia pendidikan.
Menanggapi dugaan pelanggaran ini, Universitas Indonesia (UI) telah melakukan sidang etik dan menemukan sejumlah pelanggaran akademik dalam penyusunan dan proses kelulusan disertasi Bahlil. Dewan Guru Besar UI merekomendasikan agar disertasi tersebut dibatalkan. Sampai saat ini, sikap UI masih samar dalam menanggapi persoalan ini. Yang jadi pertanyaan apakah UI berani dan apa sikap yang seharusnya diambil kampus ini?
Beranikah UI?
Universitas Indonesia (UI), sebagai salah satu institusi pendidikan tertinggi di negeri ini, tengah menghadapi ujian besar dalam menegakkan integritas akademik. Kisruh terkait disertasi Bahlil Lahadalia, yang diduga memiliki sejumlah kejanggalan, telah menempatkan UI dalam sorotan publik. Sayangnya, hingga kini, sikap tegas dari pihak kampus masih belum terlihat jelas.
Padahal, dalam banyak kasus akademik di berbagai universitas ternama dunia, penyimpangan dalam standar akademik sering kali berujung pada pencabutan gelar atau bahkan penghapusan status mahasiswa. Jika UI tidak mampu menunjukkan ketegasan dalam menyikapi polemik ini, maka kredibilitasnya sebagai lembaga akademik patut dipertanyakan.
Dalam dunia akademik, validitas sebuah gelar doktor sangat bergantung pada ketatnya proses akademik yang dijalani oleh kandidat. Sebuah disertasi bukan hanya sekadar dokumen formalitas, melainkan refleksi dari kecermatan metodologi, kedalaman analisis, dan orisinalitas pemikiran. Jika ada indikasi bahwa disertasi seseorang mengandung pelanggaran akademik entah itu plagiarisme, manipulasi data, atau penyimpangan prosedural maka semestinya kampus segera bertindak.
Kasus-kasus serupa di berbagai universitas internasional menunjukkan bahwa tindakan tegas bukan hal yang mustahil. Misalnya, Universitas Nasional Singapura (NUS) dan Universitas Harvard memiliki mekanisme untuk mencabut gelar atau mendiskualifikasi mahasiswa jika ditemukan pelanggaran akademik yang serius. Mengapa UI seolah ragu mengambil langkah serupa?
Ketidaktegasan UI: Lemahnya Otoritas Akademik?
Jika UI ingin tetap menjadi kampus yang dihormati secara akademik, maka tindakan tegas harus diambil. Salah satu langkah ekstrem yang bisa dipertimbangkan adalah tidak lagi mengakui Bahlil Lahadalia sebagai mahasiswa UI. Ini bukan hanya soal individu, melainkan soal mempertahankan standar akademik kampus.
Namun, ada pertanyaan besar: apakah UI berani? Sejarah menunjukkan bahwa dalam berbagai kasus, kampus sering kali bersikap kompromistis ketika berhadapan dengan tokoh berpengaruh. Padahal, UI seharusnya menjadi mercusuar akademik yang menjunjung tinggi kebenaran dan tidak tunduk pada kepentingan politik atau kekuasaan.
Jika UI tetap diam atau mengambil langkah setengah hati, maka ini bisa menjadi preseden buruk bagi masa depan akademik Indonesia. Bukan tidak mungkin, kasus ini akan membuka celah bagi pelanggaran akademik lain di masa depan, karena ada anggapan bahwa standar akademik bisa dikompromikan jika seseorang memiliki posisi atau pengaruh tertentu.
Keberanian UI dalam menyikapi kasus ini akan menjadi tolok ukur integritas akademiknya. Jika disertasi Bahlil terbukti bermasalah, maka UI harus mengambil sikap tegas, termasuk mencabut status mahasiswa atau bahkan gelarnya jika diperlukan. Tidak boleh ada standar ganda dalam dunia akademik.
Jika UI tidak berani bertindak tegas, maka kampus ini sedang berada dalam darurat akademik bukan karena tekanan eksternal, tetapi karena ketidakmampuannya menegakkan nilai-nilai akademik yang dijunjung tinggi.
Kasus ini menyoroti pentingnya menjaga integritas akademik dan menghormati hak kekayaan intelektual dalam penyusunan karya ilmiah. Institusi pendidikan dan peneliti diharapkan selalu mematuhi standar etika dan hukum yang berlaku untuk menjaga kredibilitas dan kualitas penelitian di Indonesia.
Masyarakat akademik dan publik menunggu langkah konkret UI. Pertanyaannya sekarang, apakah UI berani bertindak sesuai dengan prinsip akademik, atau akan memilih jalan kompromi yang justru melemahkan martabatnya sendiri?. Patut juga kita tunggu sikap dari Prabowo dalam menanggapi persoalan ini, tentunya!