Praktik Imunitas Negara (Studi Kasus Putusan Dalam Kasus Jerman Lawan Italia)

Ilustrasi Imunitas Negara (www.mediasolidaritas.com).
Ilustrasi Imunitas Negara (www.mediasolidaritas.com).

Pendahuluan

Sebagai anggota komunitas internasional, semua negara berdaulat dianggap setara menurut hukum internasional. Hal ini dikenal sebagai prinsip ‘Equality of States’. Akibat yang timbul dari asas kesetaraan antar negara berdaulat menyebabkan munculnya asas foreign state immunity atau imunitas negara (asing). Praktik negara menunjukkan bahwa prinsip kekebalan kedaulatan secara umum diakui oleh komunitas internasional. Sebagai contoh Eropa membuat aturan tentang imunitas negara dalam the European Convention on State 6 Immunity 1972, United Kingdom dalam State Immunity Act 1978, dan Amerika dalam Foreign Sovereign Immunities Act 1976. Aturan mengenai imunitas negara dari yurisdiksi pengadilan suatu negara juga dirumuskan dalam United Nations Convention on Jurisdictional Immunities of States and Their Property 2004 yang meskipun belum diberlakukan tetapi telah ditandatangani ol ICJ Statute eh 28 negara dan diratifikasi oleh 13 negara.

Kasus-kasus terkait imunitas negara asing mulai bermunculan namun dengan berbagai putusan yang berbeda-beda dalam praktik negara-negara membuat timbulnya kaburnya area ini dan munculnya ketidakpastian hukum. Puncaknya Jerman menggugat Italia pada 23 Desember 2008 di hadapan Mahkamah Internasional (International Court of Justice / ICJ) menegaskan bahwa Italia, melalui praktik hukumnya, melanggar kewajibannya terhadap Jerman di bawah hukum internasional. Aplikasi dibuat oleh Jerman atas dasar putusan dari Corte di Cassazione Italia pada 11 Maret 2004 di kasus Ferrini dimana pengadilan Italia pada 11 Maret 2004 di kasus Ferrini dimana pengadilan Italia menyatakan bahwa Italia berhak menjalankan yurisdiksi atas Jerman sehubungan dengan gugatan yang dibawa oleh seseorang yang telah dideportasi ke Jerman selama perang dunia II.

Mengenal Imunitas Negara

Mengenai Imunitas negara bukunya menulis, doktrin Oppenheim dalam

“Although one time the immunity of a foreign state from the jurisdiction of national courts was regarded by some states as virtually absolute, certain exceptions whereby a foreign state’s interest could lawfully be affected by judicial proceedings were widely ackonwledged, for example where they related the administration of a trust or similar fund in which a foreign state might have an interest, or to real property owned by the foreign state in the territory of the state of the forum,”

“Meskipun pada suatu waktu imunitas negara asing dari yurisdiksi pengadilan nasional dianggap oleh beberapa negara sebagai hal yang mutlak, namun pengecualian- pengecualian tertentu dimana kepentingan suatu negara asing dapat secara sah dipengaruhi oleh proses hukum negara lain telah secara luas diakul, sebagai contoh yaitu ketika negara terkait dengan masalah administrasi dari suatu perusahaan atau masalah mengenai pendanaan dimana suatu negara asing mungkin memiliki kepentingan, atau dalam hal kepemilikan/properti negara asing di wilayah suatu negara).”

Doktrin imunitas negara dalam hukum internasional telah berkembang. sedemikian rupa, dari doktrin imunitas absolut sampai pada imunitas yang terbatas batas (restriktif). Yudha Bakti Ardiwisastra dalam disertasinya yang berjudul “Perkembangan penerapan imunitas kedaulatan negara dalam penyelesaian perkara di forum pengadilan: studi perbandingan atas praktik Indonesia” tahun 1995, mengemukakan bahwa doktrin imunitas terbatas membagi tindakan negara dalam jure gestionis dan jure imperii. Hanya dalam hal tindakan negara tergolong jure imperii negara memiliki imunitas di depan ketika negara masuk ke wilayah perdata, negara melakukan transaksi komersil atau bisnis (jure gestionis) maka tidaklah lagi berlaku imunitas.

Konflik Yang Terjadi Antara Jerman vs Italia

Pada tanggal 23 Desember 2008, Republik Federal Jerman mengajukan tuntutan hukum terhadap Republik Italia, dengan meminta Pengadilan untuk menyatakan bahwa Italia telah gagal menghormati kekebalan yurisdiksi yang dinikmati Jerman berdasarkan hukum internasional dengan mengizinkan gugatan perdata diajukan terhadapnya di pengadilan Italia yang meminta ganti rugi atas cedera yang disebabkan oleh pelanggaran hukum humaniter internasional yang dilakukan oleh Reich Ketiga selama Perang Dunia Kedua. Selain itu, Jerman meminta Pengadilan untuk menemukan bahwa Italia juga telah melanggar kekebalan Jerman dengan mengambil tindakan pembatasan terhadap Villa Vigoni, properti Negara Jerman yang terletak di wilayah Italia. Terakhir, Jerman meminta Pengadilan untuk menyatakan bahwa Italia telah melanggar kekebalan yurisdiksi Jerman dengan menyatakan dapat diberlakukan di Italia keputusan pengadilan sipil Yunani yang dijatuhkan terhadap Jerman atas dasar tindakan yang serupa dengan yang telah menimbulkan gugatan yang diajukan ke pengadilan Italia. Jerman merujuk khususnya pada putusan yang dijatuhkan terhadapnya sehubungan dengan pembantaian yang dilakukan oleh angkatan bersenjata Jerman selama penarikan pasukan mereka pada tahun 1944, di desa Distomo, Yunani dalam kasus Distomo.

Putusan Pengadilan Internasional Dalam Menyikapi Konflik Kedua Negara

Dalam Putusannya yang dijatuhkan pada tanggal 3 Februari 2012, Pengadilan pertama-tama memeriksa pertanyaan apakah Italia telah melanggar kekebalan yurisdiksi Jerman dengan mengizinkan tuntutan perdata diajukan terhadap Negara tersebut di pengadilan Italia. Pengadilan mencatat dalam hal ini bahwa pertanyaan yang harus diputuskan bukanlah apakah tindakan yang dilakukan oleh Reich Ketiga selama Perang Dunia Kedua adalah ilegal, tetapi apakah, dalam proses perdata terhadap Jerman yang berkaitan dengan tindakan tersebut, pengadilan Italia berkewajiban untuk memberikan kekebalan kepada Jerman. Pengadilan memutuskan bahwa tindakan pengadilan Italia dalam menolak kekebalan Jerman merupakan pelanggaran kewajiban internasional Italia.

Pengadilan menyatakan dalam hubungan ini bahwa, berdasarkan hukum kebiasaan internasional sebagaimana berlaku saat ini, suatu Negara tidak kehilangan kekebalan karena dituduh melakukan pelanggaran serius terhadap hukum hak asasi manusia internasional atau hukum internasional tentang konflik bersenjata. Pengadilan selanjutnya mengamati bahwa, dengan asumsi bahwa aturan hukum konflik bersenjata yang melarang pembunuhan, deportasi, dan kerja paksa adalah aturan jus cogens , tidak ada pertentangan antara aturan tersebut dan aturan tentang kekebalan Negara. Kedua perangkat aturan tersebut membahas masalah yang berbeda. Aturan kekebalan Negara dibatasi untuk menentukan apakah pengadilan suatu Negara dapat menjalankan yurisdiksi terhadap Negara lain atau tidak. Aturan tersebut tidak terkait dengan pertanyaan apakah tindakan yang menjadi dasar proses hukum tersebut sah atau tidak.

Terakhir, Pengadilan memeriksa argumen Italia bahwa pengadilan Italia dibenarkan untuk menolak memberikan kekebalan kepada Jerman, karena semua upaya lain untuk mendapatkan kompensasi bagi berbagai kelompok korban yang terlibat dalam proses hukum Italia telah gagal. Pengadilan tidak menemukan dasar dalam praktik domestik atau internasional yang relevan bahwa hukum internasional menjadikan hak Negara atas kekebalan bergantung pada keberadaan cara alternatif yang efektif untuk mendapatkan ganti rugi.

Pengadilan kemudian membahas pertanyaan apakah tindakan pembatasan yang diambil terhadap properti milik Jerman yang terletak di wilayah Italia merupakan pelanggaran oleh Italia terhadap kekebalan Jerman. Pengadilan mencatat bahwa Villa Vigoni digunakan untuk tujuan pemerintahan yang sepenuhnya nonkomersial; bahwa Jerman sama sekali tidak menyetujui pendaftaran hak milik hukum yang dimaksud, atau mengalokasikan Villa Vigoni untuk memenuhi tuntutan hukum terhadapnya. Karena ketentuan yang mengizinkan tindakan pembatasan untuk diambil terhadap properti milik Negara asing tidak terpenuhi dalam kasus ini, Pengadilan menyimpulkan bahwa Italia telah melanggar kewajibannya untuk menghormati kekebalan Jerman dari penegakan hukum.

Akhirnya, Mahkamah memeriksa pertanyaan apakah Italia telah melanggar kekebalan Jerman dengan menyatakan dapat diberlakukannya putusan perdata yang dijatuhkan oleh pengadilan Yunani terhadap Jerman dalam proses hukum yang timbul dari pembantaian yang dilakukan di desa Distomo, Yunani, oleh angkatan bersenjata Reich Ketiga pada tahun 1944. Mahkamah menemukan bahwa keputusan pengadilan Italia yang relevan merupakan pelanggaran oleh Italia atas kewajibannya untuk menghormati kekebalan yurisdiksi Jerman.

Kesimpulan

Dari kasus ini dapat kita simpulkan bahwa prinsip kekebalan yurisdiksi negara, yang menyatakan bahwa suatu negara tidak dapat diadili oleh pengadilan negara lain tanpa persetujuannya. Pengadilan Internasional menegaskan bahwa tindakan pengadilan Italia yang menolak memberikan kekebalan kepada Jerman merupakan pelanggaran terhadap kewajiban internasional Italia. Walau Salah satu argumen yang diajukan oleh Italia adalah bahwa tindakan pelanggaran berat hukum humaniter internasional oleh Reich Ketiga seharusnya membenarkan penolakan terhadap kekebalan Jerman. Namun, Pengadilan menegaskan bahwa kekebalan negara tidak bergantung pada tuduhan pelanggaran hukum internasional, dan kedua isu tersebut harus diperlakukan secara terpisah.

Pengadilan juga menilai apakah Italia melanggar kekebalan Jerman dengan mengakui putusan pengadilan Yunani terkait pembantaian di Distomo. Pengadilan memutuskan bahwa Italia juga melanggar kewajibannya dalam hal ini, menunjukkan bahwa pengakuan terhadap putusan tersebut tidak sejalan dengan prinsip kekebalan negara. Putusan ini memiliki implikasi yang luas bagi hubungan internasional dan penegakan hukum internasional. Pengadilan menekankan pentingnya menghormati prinsip-prinsip kekebalan negara, bahkan dalam kasus-kasus di mana tindakan yang dituduhkan sangat serius.

Kasus ini menekankan pentingnya pemahaman yang jelas tentang prinsip-prinsip hukum internasional, khususnya mengenai kekebalan negara dan bagaimana hal itu berinteraksi dengan isu-isu pelanggaran hak asasi manusia dan hukum humaniter internasional. Ini juga menunjukkan tantangan yang dihadapi dalam menegakkan keadilan bagi korban pelanggaran berat, sambil tetap menghormati prinsip-prinsip hukum internasional yang ada.

Artikel Terkait

Rekomendasi