Analisis Hukum: Jangan Bilang Salah Tangkap, Kasus Pemerkosaan oleh Penyandang Disabilitas di Mataram

Author PhotoDesi Sommaliagustina
02 Dec 2024
Ilustrasi tindak kejahatan seksual terhadap anak. (Sumber: Google).
Ilustrasi tindak kejahatan seksual terhadap anak. (Sumber: Google).

Kasus yang melibatkan seorang penyandang disabilitas yang tidak memiliki tangan diduga memperkosa seorang perempuan di Mataram menimbulkan berbagai pertanyaan, baik dari segi hukum, logika, maupun perspektif sosial. Untuk memahami hal ini, perlu dilakukan analisis dari sudut pandang hukum pidana Indonesia serta konteks faktual kasus ini.

Dasar hukum terkait pemerkosaan terdapat pada Pasal 285 KUHP menyebutkan:
“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengannya di luar perkawinan, diancam karena pemerkosaan dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.” Dari ketentuan tersebut, unsur utama yang harus dibuktikan adalah; adanya kekerasan atau ancaman kekerasan, pemaksaan dan terjadinya hubungan badan (persetubuhan).

Namun, dengan perkembangan hukum dan pengesahan UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), pemerkosaan tidak hanya dilihat dari persetubuhan fisik, tetapi juga bisa mencakup kekerasan seksual lainnya, seperti penetrasi dengan benda atau bagian tubuh lainnya. Kasus ini penuh tanda tanya dan memiliki tantangan tersendiri tentunya. Kenapa tidak?

Dalam kasus ini, penyandang disabilitas yang tidak memiliki tangan jelas menghadapi keterbatasan fisik untuk menggunakan kekerasan secara langsung. Hal ini memunculkan pertanyaan, bagaimana unsur kekerasan atau ancaman kekerasan dapat terpenuhi? Kemungkinan besar, ancaman atau paksaan dilakukan dengan cara lain, seperti verbal, intimidasi psikologis, atau mungkin dengan bantuan pihak ketiga.

Apakah korban berada dalam kondisi tidak berdaya, seperti dibawah pengaruh obat-obatan, alkohol, atau ancaman? Faktor ini akan menjadi kunci dalam membuktikan adanya pemaksaan. Bukti seperti visum et repertum, keterangan saksi, rekaman percakapan, atau pengakuan pelaku akan sangat menentukan jalannya penyidikan.

Perspektif Hukum Disabilitas
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD) melalui UU No. 19 Tahun 2011, yang menegaskan hak-hak penyandang disabilitas, termasuk persamaan di hadapan hukum. Dalam konteks ini, penyandang disabilitas yang menjadi pelaku kejahatan tetap harus diproses secara hukum seperti warga negara lainnya, selama mampu secara mental memahami perbuatannya.

Namun, ada pertimbangan khusus, Apakah pelaku memahami tindakan dan konsekuensi hukumnya? Jika pelaku terbukti secara mental tidak mampu, maka pendekatan hukum yang diterapkan bisa berbeda. Bangaimanapun hak-hak pelaku sebagai penyandang disabilitas tetap harus dihormati, seperti aksesibilitas selama pemeriksaan. Kasus ini juga menunjukkan pentingnya literasi seksual dan kesetaraan gender di masyarakat, termasuk bagi penyandang disabilitas. Kasus inipun juga memberikan gambaran kepada masyarakat untuk berhati-hati. Dan juga untuk tidak langsung menstigmatisasi penyandang disabilitas tanpa bukti yang cukup.

Melihat kasus ini tentunya harus ada langkah atau solusi yang tepat yang diambil. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh aparat penegak hukum, masyarakat dan pemerintah terkait hal ini. Agar hal ini tidak menjadi bola liar kedepannya. Bagi aparat penegak hukum; harus fokus pada pengumpulan alat bukti yang mendukung unsur pidana, serta memberikan perlakuan yang adil terhadap pelaku dan korban. Jangan asal langsung menetapkan tersangka tanpa ada bukti yang kuat (asumsi semata). Untuk masyarakat, harus menghindari asumsi atau kesimpulan tanpa memahami fakta hukum dan kronologi yang sebenarnya. Sedangkan bagi pemerintah sendiri; harus meningkatkan program pendidikan seksual inklusif, terutama untuk kelompok rentan agar pemahaman tentang kekerasan seksual semakin merata.

Kasus ini mengingatkan kita untuk tidak hanya melihat dari sisi yang kasat mata. Penyandang disabilitas tetap memiliki kapasitas untuk melakukan tindak pidana, tetapi proses hukum harus memperhatikan hak-hak mereka sesuai peraturan yang berlaku. Praduga tidak bersalah tetap kita kedepankan, hal utama terkait kasus yang terjadi ini adalah kepastian hukum dan keadilan. Memastikan keadilan hukum bagi semua pihak harus berdasarkan fakta, bukti yang ada bukan sekedar asumsi semata. Jangan sampai terucap lagi kata-kata salah tangkap oleh aparat penegak hukum!

Artikel Terkait

Rekomendasi