Psikiatri Forensik: Dimensi yang Terlupakan dalam Hukum Acara Pidana

Dalam praktik peradilan pidana, saksi dan terdakwa sering diperlakukan sebagai sosok yang sepenuhnya rasional. Padahal, hukum acara pidana juga menyentuh manusia dengan kondisi kejiwaan yang kompleks, bahkan abnormal. Psikiatri forensik hadir sebagai pintu masuk untuk memahami sisi psikologis yang memengaruhi keterangannya di persidangan .

Sayangnya, dimensi ini sering terabaikan. Hakim, jaksa, maupun penyidik kerap hanya berfokus pada bukti formal dan mengesampingkan kondisi mental pelaku. Padahal, kejujuran, tekanan batin, bahkan trauma dapat menentukan apakah keterangan yang diberikan benar-benar mencerminkan kenyataan.

Psikiatri forensik bukan sekadar memeriksa kewarasan terdakwa. Ia adalah instrumen untuk menggali kebenaran materiil melalui pemahaman psikis seseorang. Misalnya, seorang terdakwa mungkin mengaku bersalah hanya karena berada di bawah tekanan mental.

Dengan pemanfaatan psikiatri forensik, pengadilan bisa lebih adil. Tidak semua orang yang melanggar hukum sepenuhnya memahami konsekuensinya. Ada yang melakukannya karena gangguan jiwa atau dorongan abnormal.

Inilah letak “antimainstream”-nya: hukum acara pidana tidak boleh hanya dipandang sebagai teks normatif, melainkan sebagai interaksi antara hukum dengan kondisi batin manusia.

Pendekatan ini menegaskan bahwa mencari kebenaran materiil harus melibatkan pemahaman holistik—tidak hanya logika hukum, tetapi juga psikologi manusia.

Jika aspek psikiatri forensik diabaikan, maka keadilan yang dihasilkan pengadilan hanyalah formalitas belaka, bukan kebenaran sejati.

Artikel Terkait

Rekomendasi