Ketika publik berharap efisiensi dan profesionalisme dalam pengelolaan negara, yang muncul justru ironi. Pejabat negara yang mestinya fokus pada tugas utama mereka justru sibuk merangkap jabatan sebagai komisaris di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Motif yang dikampanyekan adalah efisiensi. Namun yang terjadi, rakyat justru kembali menjadi korban tipu daya kuasa dan kebijakan elitis yang membenarkan segala cara demi keuntungan segelintir elit.
Praktik rangkap jabatan ini bukan sekadar pelanggaran etika administrasi pemerintahan, tetapi juga menjadi bentuk pengkhianatan terhadap prinsip good governance dan tata kelola perusahaan negara yang sehat. Ketika menteri yang sejatinya adalah pejabat politik dan pembuat kebijakan, duduk pula sebagai komisaris—posisi pengawas korporasi—maka batas antara fungsi publik dan fungsi bisnis menjadi kabur. Ini bukan efisiensi, melainkan konflik kepentingan terselubun
Secara normatif, Indonesia tidak kekurangan aturan dalam hal pembatasan rangkap jabatan. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara menegaskan perlunya netralitas dan fokus dalam menjalankan tugas jabatan. Meskipun jabatan menteri tidak secara eksplisit dilarang merangkap sebagai komisaris, esensi dari aturan-aturan ini jelas: pemisahan fungsi dan pencegahan konflik kepentingan.
Konflik kepentingan yang muncul bukanlah hal sepele. Seorang menteri bisa saja merancang kebijakan makroekonomi atau fiskal yang menguntungkan BUMN tempat ia menjadi komisaris. Padahal ia semestinya membuat kebijakan yang adil bagi seluruh pelaku usaha dan masyarakat, bukan mengistimewakan satu pihak.
Tak hanya itu, Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2022 tentang Statuta BUMN menyebut bahwa komisaris bertugas mengawasi direksi dan memberikan masukan strategis. Bagaimana mungkin menteri yang notabene adalah pemilik kuasa anggaran, pembentuk regulasi, sekaligus pengawas dapat menjalankan fungsi ini secara obyektif? Tidak hanya tidak etis, namun secara struktural, praktik ini merusak sistem.
Rakyat Dibungkam atas Nama Efisiensi
Istilah “efisiensi” menjadi pembenaran. Pemerintah berdalih bahwa menempatkan menteri sebagai komisaris akan menghemat biaya dan mempercepat pengambilan keputusan strategis. Namun narasi ini menyesatkan. Efisiensi tidak semestinya dicapai dengan merangkap jabatan, tetapi melalui reformasi struktural, peningkatan kapasitas SDM, serta transparansi kinerja.
Realitasnya, banyak BUMN tetap merugi meskipun dikawal oleh para komisaris berlabel menteri. Alih-alih meningkatkan performa, BUMN menjadi beban fiskal dan instrumen politik kekuasaan. Honorarium dan bonus komisaris yang menggiurkan menjadi imbalan tambahan, mengangkangi rasa keadilan publik yang tengah berjibaku dengan kenaikan harga, sulitnya akses layanan, dan beban ekonomi pasca pandemi.
Rakyat sejatinya sedang ditipu. Dalam diam, publik dipaksa menerima kebijakan yang secara substansial merugikan. Kritik dianggap gangguan. Opini publik diredam oleh narasi tunggal bahwa pemerintah sedang bekerja untuk rakyat, padahal yang terjadi adalah konsolidasi kekuasaan yang menihilkan transparansi dan akuntabilitas.
Menegakkan Etika, Bukan Sekadar Legalitas
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selaku lembaga yang diberi amanah menegakkan integritas pejabat negara seharusnya tidak hanya berdiam. Rangkap jabatan menteri sebagai komisaris BUMN patut diaudit dari aspek potensi konflik kepentingan, gratifikasi terselubung, hingga penyalahgunaan wewenang. Bahkan Komisi II DPR RI sebagai pengawas jalannya pemerintahan wajib membentuk Panitia Kerja (Panja) atau Panitia Khusus (Pansus) untuk menyelidiki praktik ini.
Kita perlu kembali pada prinsip-prinsip dasar konstitusi bahwa jabatan publik adalah amanah, bukan ladang mencari tambahan penghasilan atau pengaruh. Menempatkan menteri sebagai komisaris BUMN hanya akan mempertebal ketimpangan kekuasaan dan menjadikan BUMN sebagai alat politik, bukan badan usaha milik rakyat.
Sering kali, pembelaan atas praktik ini hanya bersandar pada ketiadaan larangan eksplisit dalam undang-undang. Namun hukum tidak hanya tentang apa yang tertulis, melainkan juga tentang semangat yang terkandung di dalamnya. Etika publik menuntut kesadaran untuk tidak merangkap jabatan demi menjaga integritas, obyektivitas, dan akuntabilitas.
Dalam konteks negara demokratis, pejabat publik semestinya menjadi teladan. Jika praktik rangkap jabatan dilegalkan begitu saja, maka kita tengah mendidik generasi pemimpin yang oportunis dan tidak peka terhadap batas moral dan etika kekuasaan.
Rakyat tidak boleh lagi diam. Akademisi, mahasiswa, jurnalis, dan masyarakat sipil harus bersuara lantang terhadap praktik rangkap jabatan ini. Pemerintahan yang sehat hanya bisa lahir dari struktur yang transparan, akuntabel, dan bebas dari konflik kepentingan. Ketika menteri menjadi komisaris dengan dalih efisiensi, yang terjadi justru pembusukan sistem dari dalam. Bukan efisiensi, tapi eksploitasi.
Jika hukum tidak menindak, maka kritik publik harus lebih nyaring. Jangan biarkan praktik ini menjadi kelaziman baru dalam demokrasi kita. Karena ketika kekuasaan tak lagi dibatasi, maka rakyatlah yang akan menanggung akibatnya. Dan sayangnya, penipuan itu kerap disamarkan dengan dalih pengabdian.
Desi Sommaliagustina











