Perwalian menurut Hukum Indonesia

Author PhotoNabila Marsiadetama Ginting
26 Nov 2024
1a556124fd4990eb0c691c7c62582695

 

 

 

 

 

Reading is important, if I stop reading one minute I will be stupid or no days without reading

 

 

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Salah satu penyebab terjadinya perwalian adalah dikarenakan perceraian. Perceraian tersebut mengakibatkan berakhirnya kekuasaan orang tua (ouderlijke macht) dan berubah menjadi perwalian (voogdij). Seseorang yang telah ditunjuk untuk menjadi wali harus menerima pengangkatan tersebut, kecuali jika ia mempunyai alasan-alasan tertentu menurut Undang-Undang dibenarkan untuk dibebaskan dari pengangkatan tersebut.

Konsep ini bertentangan dengan Hukum Adat yang menyatakan bahwa perceraian ataupun meninggalnya salah satu kedua orang tua, tidaklah menimbulkan perwalian. Hal ini disebabkan karena ketika kedua orang tua bercerai anak-anak masih berada pada salah satu orang tuanya. Perwalian akan terjadi apabila kedua orang tua telah meninggal dan anak masih dibawah umur. Dengan meninggalnya orang tua, anak-anak tidak berada di bawah kekuasaan orang tua.[1]

Secara etimologi (bahasa), kata perwalian berasal dari kata “wilayah” atau “walayah”. Hakikat dari al-walayah (al-wilayah) adalah ”tawalliy al-amr”( mengurus/ menguasai sesuatu). Kata ini berasal dari bahasa Arab yang berarti “makna, “pertolongan”, “cinta”, “kekuasaan”, atau “kemampuan” artinya kepemimpian orang tersebut terhadap sesuatu. Berdasarkan etimologis tersebut dapat disimpulkan bahwa perwalian adalah suatu bentuk perlindungan dengan otoritas penuh atas dasar tanggung jawab dan cinta kasih, untuk memberikan pertolongan atas ketidakmampuan seseorang dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum, baik yang berhubungan dengan harta maupun dengan dirinya.[2]

Perwalian berasal dari kata wali mempunyai arti orang lain selaku pengganti orang tua yang menurut hukum diwajibkan mewakili anak yang belum dewasa atau belum akil balig dalam melakukan perbuatan hukum, demikian menurut Prof. Subekti.[3] Mengenai perwalian menurut Subekti, adalah pengawasan terhadap anak yang dibawah umur dan tidak berada di bawah kekuasaan orangtua serta pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut diatur di dalam undang-Undang. Anak yang berada dibawah perwalian adalah:

  1. Anak sah yang kedua orang tuanya dicabut hak kekuasaannya
  2. Anak sah yang orang tuanya telah bercerai
  3. Anak yang lahir diluar perkawinan.[4]

Karna perwalian diwajibkan untuk anak yang belum dewasa, maka akan kita bahas sedikit tentang pendewasaan. Perwalian dalam Indonesia telah diatur berlandaskan:

  1. Menurut Komplikasi Hukum Islam Pasal 1 h dijelaskan bahwa perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua, orang tua yang masih hidup, tidak cakap melakukan perbuatan hukum. [5]
  2. Menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pada Pasal 50 ayat 1 dan 2 menjelaskan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali. Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.[6]
  3. Sementara pengertian perwalian menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 330 dapat kita simpulkan bahwa “Perwalian (voogdij) adalah pengawasan terhadap anak di bawah umur, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua”.[7] Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata latar belakang tentang pengaturan perwalian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tiada lain adalah agar kepentingan si anak yang berada di bawah perwalian tidak dirugikan atau memperoleh jaminan yang cukup dari walinya terutama perihal pemeliharaan diri dan pengurusan harta bendanya.
  4. Dalam menetapkan hukum dan ketentuan mengenai perwalian, Islam merujuk kepada firman Allah SWT dapat kita lihat di mengenai pentingnya pemeliharaan terhadap harta, terutama pemeliharaan terhadap harta anak yatim yang telah ditinggalkan oleh orang tuannya. Dalam hal ini Allah berfirman: “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah dewasa) harta mereka, janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk, dan jangalah kamu makan harta mereka bersama hartamu, sungguh (tindakan menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar”.[8] Ayat ini menjadi suatu landasan dalam memelihara harta anak yatim yang telah ditinggalkan orang orang tuanya atau ahli warisnya.

Tujuan perwalian pada dasanya menempatkan seorang anak yang belum dewasa dibawah perwalian dimana semua kepentingan dari si anak tersebut menjadi tanggung jawab wali, dimana wali bertindak sama seperti orang tua si anak yang masih dibawah umur sewaktu menjalankan kekuasaan si wali, dengan adanya hak perwalian ini memberikan suatu gambaran bahwa setiap manusia tidak dapat melaksanakan haknya secara individual, yang disebabkan ketergantungan dari sifat dan sistem dalam pergaulan sehari-hari jadi anak yang belum dewasa tidak dapat menentukan sifat yang baik dan yang buruk, penjagaan diri, harta dan lainnya. Oleh karena itu, diperlukan adanya hak perwalian pada diri seseorang yang tujuannya agar diri dan harta si anak dapat terjaga dan terpelihara sebagaimana yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang.[9] Ada beberapa asas dalam perwalian yaitu:

  1. Asas tak dapat dibagi-bagi (Ondeelbaarheid)

     Pada setiap perwalian hanya ada satu wali saja. Asas ini memiliki dua hal pengecualian yaitu (1) jika perwalian dilakukan oleh ibu sebagai orang tua yang hidup terlama jika ia kawin lagi, suaminya menjadi wali peserta. (2) jika dirasa perlu dilakukan penunjukan seorang  pelaksana pengurusan yang mengurus kekayaan minderjaring dari luar Indonesia.

  1. Asas kesepakatan keluarga

     Pengadilan dapat menunjuk seorang wali bagi minderjaring yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua. Hakim akan mengangkat seorang wali setelah mendengar atau memanggil keluarga sedarah atau semenda atau periparan.[10] Keluarga harus diminta kesepakatannya mengenai perwalian. Jika keluarga tidak ada, maka tidak diperlukan kesepakatan.

Ada tiga jenis pewalian yaitu:

  1. perwalian menurut Undang-Undang (Pasal 345)

    jika salah satu orangtua meninggal dunia, maka perwalian demi hukum dilakukan oleh orang tua yang masih hidup terhadap anak yang belum dewasa.

  1. Perwalian dengan wasiat (Pasal 355)

     Setiap orang tua yang melakukan kekuasaan orang tua atau perwalian berhak mengangkat seorang wali bagi anaknya, jika perwalian itu berakhir pada waktu ia meninggal dunia atau berakhir dengan penetapan hakim.

  1. Perwalian yang diangkat oleh hakim (Pasal 359)

     Dalam hal tidak ada wali menurut Undang-Undang maupun menurut wasiat, oleh hakim dapat ditetapkan seorang wali.[11]

Namun dalam UU No 1 Tahun 1974 hanya menyebutkan satu macam wali yakni wali wasiat atau wali yang ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua sebelum ia meningga baik dengan lisan maupun tulisan (surat wasiat)[12].

Dalam kedudukan hukum, anak luar kawin yang diakui selalu berada di bawah perwalian. Karena perwalian ada apabila adanya perkawinan, maka dengan sendirinya anak luar kawin yang diakui berada di bawah perwalian bapak atau ibunya yang telah mengakuinya. Anak luar kawin diakui apabila pengakuan itu dilakukan oleh bapak atau ibunya, sehingga orang tua yang mengakui lebih dahulu itu menjadi wali. Apabila pengakuan itu dilakukan pada waktu yang bersamaan maka, si bapaklah yang harus memangku perwalian[13]

Sedapat-dapatnya wali diambil dari keluarga anak tersebut, atau orang lain. Syarat-syarat menjadi wali adalah haruslah orang dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik. Untuk itu wali wajib membuat daftar harta benda yang berada di bawah kekuasaanya. Ini dilakukan pada saat yang bersangkutan mulai memangku jabatannya sebagai wali. Wali juga wajib mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak atau anak-anak itu, karena wali harus bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada dibawah kekuasaan perwaliannya, dan wajib mengganti kerugian yang timbul akibat kesalahan dan kelalaiannya.[14]

Kewajiban-kewajiban wali dalam mengurus anak yang di bawah perwaliannya telah diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 51 ayat (3) dan (4) dan Komplikasi Hukum Islam Pasal 110 ayat (1) dan 111 ayat (1) yaitu:

  1. mengurus anak dan hartanya yang dibawah perwaliannya dan menghormati agamanya.
  2. membuat daftar harta benda anak tersebut dan mencatat semua perubahan anak dan hartanya.
  3. memberikan bimbingan agama, pendidikan dan keterampilan lainnya untuk masa depan anak.
  4. menyerahkan semua harta anak tersebut apabila ia telah berumur 21 atau telah kawin.[15]

Undang-Undang telah menetapkan upah untuk pengurus harta kekayaan si anak. Ketentuan ini berlaku bagi wali yang didasarkan pada Pasal 411 bahwa semua wali kecuali bapak atau ibu atau kawan wali diperbolehkan memperhitungkan sebagai upah yang besarnya: 3% dari segala pendapatan, 2% dari segala pengeluaran, 1,5%  dari uang modal yang ia terima, kecuali mereka lebih suka menerima upah dalam bentuk data otentik atau surat wasiat. Dalam hal ini mereka tidak boleh memperhitungkan upah yang lebih.[16] Wali yang menyebabkan kerugian kepada harta benda anak wajib mengganti kerugian tersebut. Tuntutan dalam dilakukan oleh anak atau keluarga anak tersebut, penghukuman akan dilakukan berdasarkan putusan pengadilan.

Wali dalam menjalankan perannya tidak terlepas dari pengawasan wali pengawas. Wali pengawas wajib memaksakan kepada wali atas ancaman kerugian dan bunga dimana wali diberikan hukuman mengganti biaya, dan membuat inventaris atau perincian barang-barang harta peninggalan dalam segala warisan yang jatuh kepada si anak yang belum dewasa. Wali sering melalaikan Pasal 368 KUHPerdata, yang mewajibkan wali untuk melakukan pemberitahuan kepada BHP tentang terjadinya. Maka penetapan perwalian oleh Pengadilan Negeri yang minim mencantumkan kewajiban wali untuk melaporkan kepada BHP selaku wali pengawas.[17]

Orang tua yang dicabut kekuasaannya terhadap anaknya membawa akibat yang berbeda dengan wali yang dicabut kekuasaannya sebagai wali. Orang tua kendati pun dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberikan biaya pemeliharaan anaknya. Sedangkan wali yang dicabut kekusaannya sebagai wali, tidak lagi bertanggung jawab terhadap pemeliharaan dan pendidikan anak yang dibawah kekuasaannya. Perwalian berakhir saat anak diatas 18 tahun/karna dicabut pengadilan.[18]

[1] P.N.H. Simajuntak, Hukum Perdata Indonesia, Prenadamedia Group, 2018, hlm 172.

[2] H. Ahmad Kamil – H.M Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak Indonesia, PT Rajagrafnido

  Bersada, Depok, 2017, hlm 177.

[3] Intang Lailani, Tinjauan Yuridis Tentang Penetapan Hak Perwalian Anak Akibat Perceraian, Fakultas

  Hukum Mataram, 2018, hlm 4-5.

[4] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata,PT Intermasa, Jakarta, 2001, hlm 86.

[5] Republik Indonesia, Komplikasi Hukum Islam Bab 1, Pasal 1 h.

[6] Republik Indonesia, UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Bab 9, Pasal 50 ayat 1-2.

[7] Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Bab 15, Pasal 330.

[8] Q.S An nisa ayat 2.

[9] Widya-Tan Kamello-Rosnidar Sembiring-Utary Maharani Barus, Perwalian terhadap Pengurusan Harta  Anak di bawah Umur, USU Law Journal, Vol.4 No. 3, Juni 2016, hlm 179.

[10] Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Intermasa, Jakarta, 2008, hlm 88.

[11] Djaja S. Mllala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Orang dan Hukum Keluarga, CV Nuansa Aulia,         Bandung, 2006, hlm 74.

[12] Komariak, Hukum Perdata, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, 2005, hlm 67.

[13] Soedharyo Soemin, Hukum Orang dan Keluarga, Sinar Grafika, 2002, hlm 59.

[14] Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm 91-92.

[15] Drs. H. Abdul Manan, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama, PT Rajagrafindo Bersada, Jakarta, 2002, hlm 92.

[16] Sudarsono, Hukum Keluargaan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hlm 30.

[17] Yulita Dwi Pertiwi, Harmonisasi Perlindungan Harta Kekayaan Anak dalam Perwalian Melalui Penguatan Peran Wali pengawas, P-ISSN;2656-534X,E-ISSN-2656-5358, hlm 63.

[18] H. Riduan syahrani, Seluk Beluk dan Asas Hukum Perdata, PT Alumni, Bandung, 2004, hlm 97.

Artikel Terkait

Rekomendasi