Kata waris dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab ‘waratsa’ dengan masdarnya ‘mirats’ dan jamaknya ‘mawarits’, yang dapat diartikan sebagai “harta peninggalan yang ditinggalkan oleh si mati dan diwarisi oleh ahli warisnya”. Istilah lainnya adalah ‘faraidh’, yang artinya “bagian yang telah ditentukan kadarnya”.
Dengan demikian, dalam Hukum Islam, hukum waris dikenal dengan istilah Fiqh Mawarits atau Ilmu Faraidh.
Secara umum, hukum waris dapat diartikan sebagai berikut :
“Ketentuan mengenai proses peralihan harta kekayaan dari orang yang meninggal dunia (pewaris) kepada yang masih hidup (ahli waris)”.
Pengertian lebih lanjut dan lebih lengkap dari hukum waris ini dapat dilihat dari pengertian-pengertian yang dikemukakan oleh para ahli faraidh atau pun juga pengertian yang dikemukakan oleh KHI, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 171 butir a, yang berbunyi :
“Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang peralihan hak kepemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing”.
Dari defenisi secara umum mengenai hukum waris maupun yang diberikan oleh KHI, dapat disimpulkan bahwa hal-hal yang akan dibahas dalam hukum waris itu adalah yang berkaitan dengan proses peralihan harta warisan, yaitu mengenai pewaris, ahli waris dan harta warisan itu sendiri.
Dasar kewarisan dalam Hukum Islam mengacu pada sumber-sumber Hukum Islam itu sendiri, yaitu Al-Qur’an, Hadits, dan Ijtihad.
Al-Qur’an telah menetapkan ketentuan-ketentuan mengenai pembagian waris secara jelas dan rinci sebagaimana terlihat dalam ketentuan :
Yang menjelaskan tentang siapa-siapa yang menjadi pewaris, ahli waris dan berapa bagian masing-masing serta pelaksanaan pembagian warisan.
Tentang pengapusan pengangkatan anak sebagai sebab pewarisan.
Hadits yang merupakan penjabaran dan penjelasan lebih lanjut dari Al-Qur’an juga memberikan penjelasan-penjelasan mengenai ketentuan waris, antara lain :
“Bagikanlah harta warisan di antara ahli waris menurut ketentuan Allah”.
“Berikanlah harta warisan kepada orang-orang yang berhak, sesudah itu, sisanya untuk orang laki-laki yang utama”.
Menjelaskan ketentuan waris mengenai kasus-kasus pembagian warisan yang belum ada sebelumnya pada masa Nabi atau pun kasus-kasus yang tidak disepakati, seperti masalah Aul atau Radd.