Hukum Komunikasi dan Kebebasan Berekspresi, Dua Pilar yang Beriringan Seringkali Bertabrakan

Author PhotoDesi Sommaliagustina
14 Dec 2024
judgment-8442199_640

Di era digital, hukum komunikasi dan kebebasan berekspresi menjadi dua pilar penting yang sering kali bertabrakan. Satu sisi, hukum komunikasi bertujuan menjaga ketertiban informasi, mencegah penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan pelanggaran hak digital. Sisi lain, kebebasan berekspresi adalah hak asasi yang dilindungi oleh Konstitusi, sebagaimana diatur dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Yang jadi pertanyaan bangaimana hukum dapat menyeimbangkan keduanya?

Kebebasan berekspresi merupakan hak fundamental yang dijamin dalam berbagai instrumen internasional, seperti Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Di Indonesia, hak ini memiliki landasan konstitusional yang kuat, namun bukan berarti tanpa batas. Pasal 28J UUD 1945 menyebutkan bahwa hak asasi dapat dibatasi oleh hukum demi melindungi kepentingan orang lain, moralitas, ketertiban umum, dan keamanan nasional. Hal ini memberikan legitimasi bagi negara untuk membentuk hukum komunikasi yang mengatur ekspresi di ruang publik, termasuk di media sosial.

Hukum komunikasi di Indonesia terutama diatur oleh Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). UU ini dirancang untuk menjaga ketertiban komunikasi digital, namun dalam praktiknya kerap dikritik karena dianggap memberangus kebebasan berekspresi. Pasal 27 dan Pasal 28 UU ITE, misalnya, sering digunakan untuk mengkriminalisasi opini kritis, padahal batasan hukum harus jelas agar tidak melanggar prinsip proporsionalitas.

Keberadaan Pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang penyebaran berita bohong juga menjadi instrumen hukum untuk menjaga integritas informasi. Namun, penerapan hukum ini seringkali bias dan membuka ruang bagi tindakan represif, terutama terhadap masyarakat sipil yang mencoba menyuarakan kritik.

Tantangan Hukum di Era Digital

Tantangan utama hukum komunikasi adalah perkembangan teknologi yang jauh melampaui regulasi. Algoritma media sosial, misalnya, berperan besar dalam amplifikasi konten negatif, namun sulit diatur oleh hukum konvensional. Di sisi lain, kebebasan berekspresi juga menghadapi ancaman dari culture of fear yang tercipta akibat ketidakpastian hukum.

Dalam banyak kasus, masyarakat takut mengekspresikan pendapatnya karena ancaman jerat hukum. Padahal, ekspresi yang sehat adalah bagian dari dinamika demokrasi. Ironisnya, hukum komunikasi sering kali gagal melindungi pihak yang seharusnya dilindungi, seperti jurnalis, aktivis, atau pembela hak asasi manusia.

Keseimbangan antara hukum komunikasi dan kebebasan berekspresi hanya dapat dicapai melalui pendekatan yang holistik. Beberapa langkah yang bisa diambil untuk keseimbangan ini. Langkah pertama, dengan cara mereformasi regulasi. Regulasi pada UU ITE dan aturan terkait lainnya harus direvisi untuk memberikan definisi yang jelas dan batasan yang tegas, sehingga tidak membuka ruang interpretasi yang bias.

Langkah kedua dengan meningkatkan literasi digital. Meningkatkan literasi digital bisa dilakukan dengan cara memberikan pendidikan masyarakat tentang hak dan kewajiban dalam komunikasi digital. Dengan literasi digital yang baik, masyarakat dapat berkomunikasi secara bertanggung jawab tanpa melanggar hukum.

Langkah ketiga, dengan menerapkan prinsip proporsionalitas. Dalam hal ini, aparat penegak hukum harus memastikan bahwa penerapan hukum komunikasi tidak melanggar prinsip proporsionalitas. Seperti halnya penggunaan hukum pidana sebagai alat untuk membungkam ekspresi itu harus dihindari.

Terakhir, tentunya dibutuhkannya pengawasan dan akuntabilitas. Hal ini tentu sangat penting sekali dalam membangun mekanisme pengawasan yang kuat. Tujuan dari pengawasan itu, pada dasarnya untuk mencegah penyalahgunaan hukum komunikasi dan kebebasan berekspresi oleh aparat penegak hukum.

Kebebasan berekspresi dan hukum komunikasi adalah dua sisi mata uang yang harus berjalan beriringan. Kebebasan berekspresi perlu dilindungi sebagai fondasi demokrasi. Sedangkan hukum komunikasi diperlukan untuk menjaga keteraturan informasi di era digital.

Tantangan bagi pembuat kebijakan adalah menciptakan regulasi yang adil, proporsional, dan adaptif terhadap perkembangan zaman. Hanya dengan demikian, Indonesia dapat menjadi negara hukum yang menghormati hak asasi manusia sekaligus menjaga ketertiban komunikasi digital itu sendiri.

Artikel Terkait

Rekomendasi