Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja mengalami perubahan signifikan setelah putusan terbaru dari Mahkamah Konstitusi (MK). Setelah perjuangan panjang, buruh akhirnya meraih kemenangan, sementara pemerintah baru diharuskan untuk segera menyesuaikan dengan regulasi yang baru.
“Mengadili, mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian,” ungkap Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pembacaan putusan untuk perkara nomor 168/PUU-XXI/2023, seperti yang dilansir pada Senin (4/11/2024).
Sebagaimana diketahui, uji materi ini diajukan oleh Partai Buruh dan sejumlah serikat pekerja lainnya, yang menggugat puluhan pasal dalam UU Ciptaker.
Pembacaan putusan ini berlangsung di tengah aksi unjuk rasa yang diikuti ribuan buruh di depan gedung MK dan patung kuda. Ketika MK memutuskan untuk mengabulkan sebagian besar gugatan uji materi, para buruh merayakan momen tersebut dengan sujud syukur.
Putusan MK Soal UU Cipta Kerja
Berikut ini merupakan 21 pasal uji materi yang dikabulkan oleh MK mengenai UU Ciptaker.
-Menyatakan frasa “Pemerintah Pusat” dalam Pasal 42 ayat (1) dalam Pasal 81 angka 4 Lampiran UU Ciptaker bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “menteri yang bertanggungjawab di bidang (urusan) ketenagakerjaan, in casu menteri Tenaga Kerja”.
-Menyatakan Pasal 42 ayat (4) dalam Pasal 81 angka 4 Lampiran UU Ciptaker yang menyatakan “Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Tenaga Kerja Asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam Hubungan Kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki, dengan memerhatikan pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia”.
-Menyatakan Pasal 56 ayat (3) dalam Pasal 81 angka 12 Lampiran UU Ciptaker yang menyatakan “Jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan berdasarkan Perjanjian Kerja” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Jangka waktu selesainya suatu pekerjaan tertentu dibuat tidak melebihi paling lama 5 (lima) tahun, termasuk jika terdapat perpanjangan”.
-Menyatakan Pasal 57 ayat (1) dalam Pasal 81 angka 13 Lampiran UU Ciptaker yang menyatakan “Perjanjian kerja waktu tertentu dibuat tertulis serta harus menggunakan secara Bahasa Indonesia dan huruf latin”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Perjanjian kerja waktu tertentu harus dibuat secara tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin”.
-Menyatakan Pasal 64 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 18 Lampiran UU Ciptaker yang menyatakan, “Pemerintah menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai, “Menteri menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan jenis dan bidang pekerjaan alih daya yang diperjanjikan dalam perjanjian tertulis alih daya”.
-Menyatakan Pasal 79 ayat (2) huruf b dalam Pasal 81 angka 25 Lampiran UU Ciptaker yang menyatakan, “istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai mencakup frasa, “atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu”;
-Menyatakan kata “dapat” dalam Pasal 79 ayat (5) dalam Pasal 81 angka 25 Lampiran UU Ciptaker bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
-Menyatakan Pasal 88 ayat (1) dalam Pasal 81 angka 27 Lampiran UU Ciptaker yang menyatakan “Setiap Pekerja/Buruh berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “termasuk penghasilan yang memenuhi penghidupan yang merupakan jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua”;
-Menyatakan Pasal 88 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 27 Lampiran UU Ciptaker yang menyatakan, “Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan pengupahan sebagai salah satu upaya mewujudkan hak pekerja/buruh atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai, “dengan melibatkan dewan pengupahan daerah yang di dalamnya terdapat unsur pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan yang menjadi bahan bagi pemerintah pusat untuk penetapan kebijakan pengupahan”;
-Menyatakan frasa “struktur dan skala upah” dalam Pasal 88 ayat (3) huruf b dalam Pasal 81 angka 27 UU Ciptaker bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “struktur dan skala upah yang proporsional”;
-Menyatakan Pasal 88C dalam Pasal 81 angka 28 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “termasuk gubernur wajib menetapkan upah minimum sektoral pada wilayah provinsi dan dapat untuk kabupaten/kota”;
-Menyatakan frasa “indeks tertentu” dalam Pasal 88D ayat (2) dalam Pasal 81 angka 28 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “indeks tertentu merupakan variabel yang mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi atau kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan perusahaan dan pekerja/buruh serta prinsip proporsionalitas untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) bagi pekerja/buruh”;
-Menyatakan frasa “dalam keadaan tertentu” dalam Pasal 88F dalam Pasal 81 angka 28 Lampiran UU Ciptaker bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Yang dimaksud dengan “dalam keadaan tertentu” mencakup antara lain bencana alam atau non-alam, termasuk kondisi luar biasa perekonomian global dan/atau nasional yang ditetapkan oleh Presiden sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”;
-Menyatakan Pasal 90A dalam Pasal 81 angka 31 Lampiran UU Ciptaker yang menyatakan “Upah di atas upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengusaha dan Pekerja/Buruh di Perusahaan”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Upah di atas Upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengusaha dan Pekerja/Buruh atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh di perusahaan”;
-Menyatakan Pasal 92 ayat (1) dalam Pasal 81 angka 33 Lampiran UU Ciptaker yang menyatakan, “Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah di Perusahaan dengan memperhatikan kemampuan Perusahaan dan produktivitas”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala Upah di Perusahaan dengan memperhatikan kemampuan Perusahaan dan produktivitas, serta golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi”;
-Menyatakan Pasal 95 ayat (3) dalam Pasal 81 angka 36 Lampiran UU Ciptaker yang menyatakan, “Hak lainnya dari Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya atas semua kreditur kecuali para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Hak lainnya dari Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya atas semua kreditur termasuk kreditur preferen kecuali para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan”;
-Menyatakan Pasal 98 ayat (1) dalam Pasal 81 angka 39 Lampiran UU Ciptaker yang menyatakan, “Untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan serta pengembangan sistem pengupahan dibentuk dewan pengupahan”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan serta pengembangan sistem pengupahan dibentuk dewan pengupahan yang berpartisipasi secara aktif”;
-Menyatakan frasa “wajib dilakukan melalui perundingan bipartit antara Pengusaha dengan Pekerja/Buruh dan/atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh”, dalam Pasal 151 ayat (3) dalam Pasal 81 angka 40 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “wajib dilakukan melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mufakat antara Pengusaha dengan Pekerja/Buruh dan/atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh”;
-Menyatakan frasa “pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial” dalam Pasal 151 ayat (4) dalam Pasal 81 angka 40 Lampiran UU Ciptaker bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Dalam hal perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan kesepakatan maka Pemutusan Hubungan Kerja hanya dapat dilakukan setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang putusannya telah berkekuatan hukum tetap”;
-Menyatakan frasa “dilakukan sampai dengan selesainya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai tingkatannya” dalam norma Pasal 157A ayat (3) dalam Pasal 81 angka 49 Lampiran UU Ciptaker bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “sampai berakhirnya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berkekuatan hukum tetap sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang PPHI”
-Menyatakan frasa “diberikan dengan ketentuan sebagai berikut” dalam Pasal 156 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 47 Lampiran UU Ciptaker bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “paling sedikit”.
Sujud Syukur Buruh
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Andi Gani Nena Wea, mengungkapkan rasa syukur dan keterkejutannya setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk mengabulkan sekitar 70% dari gugatan yang diajukan oleh buruh terkait Undang-Undang Cipta Kerja.
“Kemenangan ini sangat luar biasa dan telah membalikkan prediksi banyak pihak yang menganggap buruh akan kalah. Namun, pandangan hakim MK justru berbeda, dan keputusan ini merupakan hal yang luar biasa bagi kami,” kata Andi Gani saat berbicara dengan CNBC Indonesia.
Dalam penjelasannya, Andi menyebutkan beberapa poin penting dari putusan MK, termasuk adanya pembatasan terhadap tenaga kerja asing serta jangka waktu kerja yang terbatas di Indonesia. MK memutuskan bahwa tenaga kerja asing harus didampingi oleh tenaga kerja lokal.
Selain itu, keputusan MK juga membahas masalah outsourcing, di mana jenis pekerjaan yang dapat dioutsourcing dibatasi, serta jangka waktu maksimal lima tahun untuk outsourcing, yang sebelumnya tidak diatur dalam UU Cipta Kerja.
Andi menambahkan bahwa gugatan mengenai upah sektoral dan skala upah juga diterima oleh Majelis Hakim MK. Dalam putusan tersebut, Dewan Pengupahan diberikan kembali peran dan kewenangan dalam menetapkan upah, yang harus mencakup unsur kehidupan yang layak.
Dia juga menekankan bahwa perhitungan upah dalam keputusan MK mempertimbangkan kontribusi buruh. MK memutuskan bahwa pemutusan hubungan kerja (PHK) tidak dapat dilakukan secara sepihak; sebaliknya, harus ada proses perundingan bipartit dan pemberitahuan kepada tenaga kerja serta serikat pekerja.
“Kemenangan gugatan ini adalah milik seluruh buruh dan rakyat Indonesia,” tegas Andi.
Sikap Pemerintah
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan bahwa Menteri Ketenagakerjaan Yassierli akan menyusun regulasi terkait Undang-Undang Ketenagakerjaan sebagai langkah awal pasca putusan MK. Dari total 21 pasal yang memenangkan buruh, pemerintah akan lebih dahulu memfokuskan perhatian pada masalah pengupahan, karena penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) harus dilakukan pada akhir bulan ini.
“Secara bertahap, Kementerian Tenaga Kerja akan mempersiapkan langkah-langkah terkait dengan upah minimum, upah sektoral, dan pemberitahuan kepada para gubernur sesuai dengan siklus yang ada,” jelasnya.
Airlangga menambahkan bahwa pembahasan terkait hal-hal lainnya akan dilakukan bersama Presiden Prabowo Subianto. Yassierli akan memulai koordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait, serta mengundang serikat pekerja, APINDO, KADIN, dan para pemangku kepentingan lainnya untuk berdialog mengenai langkah-langkah pasca putusan MK.
“Dalam kapasitasnya sebagai negara hukum, pemerintah akan taat dan patuh pada putusan MK. Kami juga akan segera mengambil langkah strategis untuk menindaklanjuti keputusan tersebut,” ujarnya dalam keterangan resmi.
Kementerian Ketenagakerjaan berkomitmen untuk memanfaatkan berbagai forum dialog, seperti Lembaga Kerja Sama Tripartit dan Dewan Pengupahan Nasional, untuk membahas langkah-langkah yang perlu diambil.
Pemerintah bertekad untuk meningkatkan kesejahteraan buruh sekaligus menjaga keberlangsungan usaha. Airlangga juga mengajak semua pihak yang terlibat dalam sektor ketenagakerjaan untuk berkolaborasi dalam menyelesaikan masalah yang ada.
“Permasalahan ketenagakerjaan tidak hanya mencakup buruh yang aktif bekerja, tetapi juga tantangan yang lebih luas, seperti menciptakan lapangan kerja baru untuk mengakomodasi angkatan kerja yang terus bertambah, serta memberikan perlindungan bagi pekerja yang berisiko mengalami PHK.”
Berfokus pada penyediaan informasi terkini dan komprehensif mengenai berbagai isu hukum, regulasi, dan kebijakan di Indonesia.
Portal Hukum














