Konstruksi Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif Multidisipliner

Perlindungan hukum terhadap anak memerlukan pendekatan yang tidak hanya legalistik, tetapi juga multidisipliner, yang melibatkan aspek psikologis, sosiologis, dan budaya. Dalam hal ini, negara berkewajiban menciptakan sistem hukum yang responsif terhadap kebutuhan perkembangan anak.

Anak adalah individu yang berada dalam fase pertumbuhan, baik secara biologis maupun mental. Oleh karena itu, pendekatan hukum terhadap anak harus mempertimbangkan kerentanan serta potensi transformasi positif yang melekat pada diri mereka.

Dari sisi yuridis, Undang-Undang Perlindungan Anak dan UU SPPA telah menyediakan kerangka hukum yang komprehensif. Namun, pelaksanaannya kerap kali terganjal oleh pendekatan penegak hukum yang masih represif dan retributif.

Dalam tataran sosiologis, anak yang berhadapan dengan hukum kerap kali berasal dari lingkungan yang disfungsional. Lingkungan sosial yang tidak mendukung, tekanan ekonomi, dan kurangnya edukasi nilai menjadi faktor yang mendorong anak terlibat dalam tindak pidana.

Secara psikologis, proses hukum yang formal dapat menimbulkan trauma berkepanjangan, terutama bila anak diperlakukan layaknya orang dewasa. Oleh karena itu, pendekatan restoratif yang mengutamakan mediasi dan penyelesaian non-litigatif menjadi sangat relevan.

Perlindungan hukum tidak cukup hanya diberikan melalui aturan, melainkan harus hadir dalam praktik nyata. Misalnya, melalui penguatan peran pekerja sosial, psikolog forensik, dan fasilitator komunitas dalam setiap proses penyelesaian perkara anak.

Negara wajib menyediakan layanan pemulihan psikososial dan pendidikan bagi anak pelaku dan korban kejahatan, agar tidak terjadi reviktimisasi yang semakin memperparah kondisi mental anak.

Hanya dengan sinergi multidisipliner, perlindungan hukum terhadap anak dapat diwujudkan secara utuh sebagai bagian dari pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.

Artikel Terkait

Rekomendasi