Gelombang demonstrasi akademisi, mahasiswa dan masyarakat sipil yang menolak revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) kembali direspons dengan tindakan represif oleh aparat. Bukannya membuka ruang dialog, negara justru menggunakan kekerasan sebagai alat pembungkaman. Insiden ini bukan hanya mencerminkan wajah negara yang anti-kritik, tetapi juga menegaskan bahwa hak asasi manusia (HAM) semakin dikesampingkan dalam kehidupan demokrasi kita.
Dalam perspektif hukum hak untuk menyampaikan pendapat di muka umum merupakan bagian dari kebebasan berekspresi yang dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, serta dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Bahkan, dalam hukum internasional, hak ini juga dilindungi oleh Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005.
Namun, apa yang terjadi? akademisi, mahasiswa dan masyarakat sipil yang turun ke jalan menyampaikan kritik terhadap revisi UU TNI justru diperlakukan sebagai ancaman oleh negara. Aparat menggunakan kekerasan, intimidasi, dan bahkan kriminalisasi untuk membungkam suara mereka.
Teror terhadap Demonstran: Pembungkaman dalam Berbagai Bentuk
Kekerasan terhadap Akademisi, mahasiswa dan masyarakat sipil bukanlah hal baru. Dalam beberapa tahun terakhir, tren represifitas semakin meningkat. Pola yang digunakan pun beragam: pertama, brutalitas aparat. Hal tersebut dilakukan dengan cara menyemprotkan gas air mata, pemukulan, hingga penangkapan sewenang-wenang menjadi pemandangan yang kerap terjadi dalam aksi demonstrasi. Alih-alih menjaga ketertiban, aparat justru bertindak seperti algojo yang menghakimi akademisi, mahasiswa dan masyarakat sipil di jalanan.
Kedua, serangan digital dan intimidasi. Tak hanya secara fisik, pembungkaman juga terjadi di ranah digital. Akun media sosial akademisi, mahasiswa dan masyarakat sipil sering menjadi target peretasan atau penyebaran informasi palsu untuk merusak kredibilitas mereka. Bahkan, beberapa aktivis mengalami doxing penyebaran data pribadi yang berisiko membahayakan mereka dan keluarganya.
Hal ini terjadi pada diri saya, ketika teror itu dilakukan melalui via telpon. Untungnya yang mengangkat suami saya, ketika tau suami saya yang mengangkat peneror segera mematikan. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Saya berspekulasi peneror beranggapan salah sambung dan atau salah target. “Spekulasi saya, peneror beranggapan salah sambung atau salah target”. Makanya telpon diputuskan sepihak!
Ketiga, kriminalisasi dan ancaman hukum. Demonstran yang vokal kerap dijerat dengan pasal-pasal karet seperti UU ITE atau pasal makar, meskipun mereka hanya menyampaikan kritik terhadap kebijakan negara. Ataupun menggunakan kekuasaannya untuk melakukan intimidasi. Ini tentunya tidak bisa dibiarkan.
Negara yang Anti-Kritik: Ciri Otoritarianisme Baru?
Kekerasan terhadap akademisi, mahasiswa dan aktivis bukan sekadar tindakan represif, tetapi juga refleksi dari arah demokrasi kita yang semakin tergerus. Negara yang demokratis seharusnya membuka ruang diskusi, bukan justru menebar ketakutan.
Dalam teori hak asasi manusia, negara memiliki kewajiban untuk melindungi, menghormati, dan memenuhi HAM. Namun, alih-alih menjalankan kewajiban tersebut, negara justru menjadi pelaku utama pelanggaran hak warga negaranya.
Sikap anti-kritik ini mirip dengan pola yang dilakukan oleh rezim otoriter di masa lalu (Orde Baru). Negara memonopoli kebenaran, membungkam suara-suara yang berbeda, dan menciptakan ketakutan agar rakyat tunduk. Jika tren ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin kita akan kembali ke era di mana kritik dianggap sebagai tindakan subversif yang harus diberangus.
Brutalitas terhadap akademisi, mahasiswa dan masyarakat sipil yang menolak revisi UU TNI harus dilihat sebagai alarm bagi kita semua. Ini bukan hanya soal demonstrasi atau kebebasan berbicara, tetapi juga soal masa depan demokrasi di negeri ini. Jika negara terus menormalisasi kekerasan terhadap kritik, kita akan kehilangan satu pilar utama dalam negara hukum; kebebasan berpendapat.
Masyarakat sipil, akademisi, dan berbagai elemen bangsa harus bersatu untuk melawan praktik-praktik represif ini. Sebab, jika teror ini terus terjadi dan berlanjut, maka saat itulah kita semua kehilangan suara di negeri ini! Salam perjuangan dan tetap dibarisan. Satu kata “Lawan”!
Desi Sommaliagustina














