Politik hukum di era Orde Baru memberikan ilustrasi konkret bagaimana kekuasaan politik memengaruhi wajah hukum nasional. Dengan sistem pemerintahan yang sentralistik dan otoriter, produk hukum pada masa itu lebih banyak berperan sebagai instrumen kontrol negara daripada sebagai wujud keadilan sosial. Kekuatan politik mendominasi seluruh proses legislasi dan pelaksanaan hukum.
Salah satu contohnya adalah hukum pemerintahan daerah. Meski konstitusi mengakui prinsip otonomi, pada praktiknya, daerah tidak diberikan kewenangan nyata untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Sebaliknya, mereka diwajibkan untuk melaksanakan agenda pembangunan pusat. Ini terlihat dalam berbagai regulasi yang mengedepankan efisiensi birokrasi ketimbang partisipasi lokal.
Politik hukum di bidang agraria juga menunjukkan wajah otoritarianisme hukum. Demi mendukung pembangunan, pemerintah mengintensifkan pengambilan tanah masyarakat. Instruksi Presiden No. 9 Tahun 1973 diterbitkan untuk mempercepat pencabutan hak atas tanah. Menurut Mahfud MD, substansi inpres tersebut semestinya berada pada level undang-undang karena menyangkut hak dasar warga negara.
Namun, dalam sistem politik yang tertutup, mekanisme kontrol dan akuntabilitas melemah. Hukum tidak lagi menjadi pelindung rakyat, melainkan alat legitimasi kekuasaan. Akibatnya, konflik agraria meningkat, dan ketimpangan kepemilikan tanah semakin lebar. Inilah dampak langsung dari politik hukum yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat.
Studi kasus ini menjadi pelajaran penting bahwa politik hukum tidak pernah netral. Ia bisa menjadi alat emansipasi sosial, tetapi juga bisa menjadi alat represi. Tergantung siapa yang memegang kekuasaan, dan untuk kepentingan siapa hukum itu dibuat.