Salah satu perubahan penting dalam UU 61/2024 adalah penambahan Pasal 6A, yang memberikan dasar hukum bagi pembentukan kementerian berdasarkan sub-urusan pemerintahan. Ini merupakan respons atas tantangan pemerintahan modern yang menuntut struktur organisasi fleksibel dan responsif.
Pasal ini memungkinkan pembentukan kementerian tersendiri dengan ruang lingkup yang lebih spesifik dan terfokus. Ini adalah inovasi struktural yang memungkinkan adanya kementerian yang menangani isu-isu tertentu secara lebih mendalam, seperti transformasi digital, energi terbarukan, atau ketahanan pangan.
Dengan dasar hukum ini, Presiden tidak terikat pada pendekatan konvensional yang membatasi jumlah dan jenis kementerian. Hal ini dapat mempercepat pengambilan kebijakan dan pelaksanaan program nasional. Pemerintahan menjadi lebih terfokus dan tepat sasaran.
Namun demikian, penerapan pasal ini harus tetap memperhatikan prinsip efisiensi. Pembentukan kementerian baru tidak boleh hanya demi kepentingan politik atau pembagian kekuasaan, melainkan harus didasarkan pada kebutuhan riil masyarakat dan negara.
Kementerian tematik harus didukung oleh anggaran, sumber daya manusia, dan infrastruktur yang memadai agar tidak hanya menjadi simbol administratif. Penataan ulang struktur pemerintahan juga harus disertai dengan evaluasi kinerja berkala agar tidak membebani APBN secara tidak proporsional.
Dalam konteks check and balance, DPR memiliki peran penting untuk menilai urgensi dan relevansi kementerian baru. Mekanisme evaluasi legislatif dapat menjadi alat kontrol untuk memastikan bahwa implementasi Pasal 6A berjalan sesuai dengan semangat reformasi birokrasi.
Secara keseluruhan, Pasal 6A membuka peluang reformasi kelembagaan yang adaptif dan progresif. Namun kesuksesannya sangat tergantung pada komitmen Presiden dalam menjalankan tata kelola yang bersih, efektif, dan berorientasi pada hasil.