Hujan deras membasahi kawasan Brawijaya, Jakarta Selatan, Selasa (17/6/2025) malam. Derasnya hujan tak menyurutkan langkah Wali Nanggroe Aceh, Paduka Yang Mulia Teungku Malik Mahmud Al Haythar, untuk menyambangi kediaman pribadi Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI, Jusuf Kalla. Kunjungan yang berlangsung sekitar pukul 19.10 WIB ini, menurut banyak pihak, bukan sekadar silaturahmi biasa. Ada makna simbolik dan pesan diplomatis yang tersirat di balik pertemuan dua tokoh yang sama-sama menyimpan jejak panjang dalam proses perdamaian Aceh.
Pertemuan itu berlangsung setelah Presiden Prabowo Subianto memutuskan status empat pulau sengketa antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara. Keputusan tersebut, yang menetapkan bahwa keempat Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek—berada dalam wilayah administrasi Sumatera Utara, langsung menyulut reaksi dari berbagai kalangan di Aceh. Tak sedikit yang menilai, keputusan itu mengabaikan aspirasi daerah dan semangat otonomi khusus yang menjadi hasil dari perjanjian damai Helsinki tahun 2005.
Isyarat Diplomasi yang Halus
Dalam kerangka itu, kehadiran Wali Nanggroe di kediaman Jusuf Kalla membawa pesan kuat. JK, demikian ia akrab disapa, bukan sekadar tokoh nasional. Ia adalah arsitek damai yang memainkan peran sentral dalam mengakhiri konflik bersenjata di Aceh. Ketika konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia mencapai puncaknya, JK adalah orang yang berani membuka kanal komunikasi dan mendorong proses perundingan yang akhirnya melahirkan MoU Helsinki.
Dengan rekam jejak tersebut, pertemuan antara Wali Nanggroe dan JK bukan hanya simbol penghormatan terhadap tokoh tua bangsa, melainkan juga strategi diplomasi yang cermat. Aceh menunjukkan bahwa dalam menghadapi kebijakan pusat yang dianggap merugikan, mereka masih memilih jalan dialog—bukan agitasi.
MoU Helsinki adalah tonggak penting dalam sejarah modern Indonesia. Perjanjian ini tidak hanya menghentikan perang, tetapi juga memberikan fondasi bagi Aceh untuk mengelola dirinya dalam kerangka otonomi khusus. Di dalamnya tercantum berbagai klausul mengenai pembagian kewenangan, pengelolaan sumber daya alam, hingga batas wilayah administratif.
Keputusan pemerintah pusat soal empat pulau tersebut dipandang oleh sebagian pihak sebagai pelanggaran terhadap butir-butir MoU tersebut, terutama terkait kewenangan Aceh atas wilayahnya. Dalam konteks ini, pertemuan di Brawijaya bisa dibaca sebagai upaya merawat kembali semangat awal dari perjanjian damai: bahwa segala persoalan diselesaikan melalui musyawarah, bukan dominasi.
Menakar Sentimen Aceh
Reaksi masyarakat Aceh terhadap keputusan pemerintah pusat perlu dipahami dalam konteks historis yang panjang. Aceh memiliki identitas yang kuat, sejarah panjang perlawanan terhadap penjajah, dan pengalaman pahit konflik berkepanjangan. Maka, setiap keputusan yang dianggap menyentuh kedaulatan wilayah atau simbol kehormatan daerah selalu disikapi dengan sangat serius.
Dalam beberapa hari terakhir, diskursus publik di Aceh menunjukkan kekhawatiran terhadap erosi kewenangan daerah. Bahkan muncul usulan agar Pemerintah Aceh menempuh jalur hukum untuk menggugat keputusan tersebut. Namun, di tengah arus kritik itu, langkah Wali Nanggroe menemui JK justru menjadi penyeimbang. Ini memperlihatkan bahwa ada ikhtiar dari tokoh-tokoh Aceh untuk tetap berada dalam koridor konstitusi dan dialog nasional.
Dalam politik, simbol memiliki kekuatan yang tak kalah penting dari regulasi. Pertemuan antara JK dan Malik Mahmud bukan hanya diplomasi dalam bentuk nyata, tetapi juga simbol keberlanjutan dari jalur damai yang telah dibangun. Pertemuan itu memperlihatkan bahwa komunikasi informal bisa menjadi jalan keluar dari kebuntuan formal.
Langkah-langkah seperti ini patut dicontoh. Di saat banyak daerah merasa teralienasi dari proses pengambilan kebijakan pusat, pendekatan personal dan kultural bisa menjadi jembatan untuk membangun kembali kepercayaan. Pemerintah pusat perlu menyadari bahwa keberhasilan menjaga NKRI bukan hanya dari stabilitas administratif, tetapi dari legitimasi yang lahir dari rasa keadilan.
Jusuf Kalla bukan lagi pejabat negara. Namun, pengaruh dan peran moralnya tetap besar. Ia adalah figur yang dapat dipercaya oleh semua pihak. Dalam situasi seperti ini, kehadirannya bisa menjadi katalis bagi lahirnya solusi yang menguntungkan semua pihak.
Tidak berlebihan jika publik berharap JK kembali memainkan peran sebagai mediator informal. Sebagai tokoh yang terlibat langsung dalam perjanjian damai, ia memiliki otoritas untuk mengingatkan pemerintah tentang semangat awal dari kesepakatan Helsinki. Begitu juga sebaliknya, ia bisa menjadi penyambung lidah aspirasi Aceh ke pusat, dengan cara yang elegan dan membangun.
Pertemuan ini semestinya menjadi momentum untuk membuka kembali forum bersama antara pemerintah pusat dan Pemerintah Aceh guna membahas batas wilayah, implementasi MoU Helsinki, dan penegasan terhadap kewenangan otonomi khusus yang dimiliki Aceh. Forum ini tidak hanya akan menyelesaikan sengketa administratif, tetapi juga memperkuat kesatuan bangsa dalam bingkai keadilan.
Belajar dari Masa Lalu, Melangkah ke Masa Depan
Indonesia telah melewati banyak fase sejarah yang penuh luka. Aceh adalah satu dari sedikit daerah yang mengalami konflik bersenjata panjang, dan berhasil keluar dari lingkaran kekerasan melalui dialog dan kesepakatan politik. Ini adalah prestasi besar yang harus terus dijaga.
Namun, damai bukan keadaan yang statis. Ia harus terus dirawat, diperbarui, dan dijaga dari gangguan internal maupun eksternal. Salah satu tantangan terbesar saat ini adalah menjaga semangat rekonsiliasi tetap hidup di tengah dinamika politik yang cepat dan seringkali eksklusif.
Pemerintah pusat perlu membuka lebih banyak kanal komunikasi. Sebaliknya, tokoh-tokoh daerah seperti Wali Nanggroe juga harus terus mencari ruang-ruang strategis untuk menyampaikan aspirasi tanpa membakar jembatan dialog. Keduanya harus berjalan berdampingan, bukan saling berhadap-hadapan.
Pertemuan antara Jusuf Kalla dan Malik Mahmud di tengah hujan deras di Brawijaya malam itu mengirim pesan sederhana namun mendalam: bahwa dalam politik Indonesia, masih ada ruang untuk dialog yang sunyi namun sarat makna. Di tengah polarisasi, kabar baik semacam ini harus menjadi pengingat bahwa republik ini dibangun atas dasar musyawarah, bukan monolog kekuasaan.
Masyarakat menaruh harapan bahwa pemerintah pusat bersedia mendengar dan memahami kegelisahan Aceh. Dan sebaliknya, bahwa Aceh tetap memegang teguh komitmennya pada NKRI melalui jalan damai yang telah dipilih dua dekade silam.
Indonesia tidak kekurangan sumber daya untuk menyelesaikan persoalan, selama kita bersedia duduk bersama, membuka hati, dan menjadikan keadilan sebagai kompas kebijakan. Karena pada akhirnya, seperti yang pernah dibuktikan di Helsinki dan kembali digaungkan di Brawijaya, damai adalah pilihan yang tak lekang oleh waktu.