Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Nasdem, Rudianto Lallo, menekankan pentingnya percepatan pembahasan revisi Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Menurutnya, perubahan dalam hukum acara pidana sangat mendesak agar selaras dengan dinamika hukum yang berkembang di Indonesia. Ia menyoroti bahwa KUHAP yang saat ini berlaku telah digunakan selama lebih dari empat dekade sejak disahkan pada tahun 1981. Selama kurun waktu tersebut, sebanyak 12 norma dalam KUHAP telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), menunjukkan adanya kebutuhan untuk penyesuaian lebih lanjut.
Lebih lanjut, Rudianto menggarisbawahi bahwa pada Januari 2026, KUHP yang telah direvisi pada tahun 2022 akan mulai berlaku. Namun, tanpa adanya revisi terhadap hukum acara, pelaksanaan KUHP baru bisa menghadapi berbagai kendala. “Saat KUHP yang baru diberlakukan, seharusnya hukum acara yang mengatur proses penegakannya juga telah diperbarui. Jika tidak, maka akan ada ketidaksesuaian antara hukum materiil dan hukum acara yang dapat berdampak pada sistem peradilan pidana kita,” ujarnya saat ditemui di Gedung DPR RI pada Jumat, 31 Januari 2025.
Salah satu aspek krusial yang menjadi perhatian dalam revisi KUHAP adalah penguatan landasan hukum terkait penerapan konsep restorative justice. Rudianto mencatat bahwa pendekatan ini telah banyak diterapkan oleh berbagai lembaga penegak hukum, seperti kepolisian dan kejaksaan. Namun, hingga kini belum ada aturan yang jelas mengenai batasan kewenangan masing-masing institusi dalam menjalankan konsep tersebut. “Saat ini, kita melihat bahwa kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan masing-masing memiliki konsep restorative justice sendiri. Namun, belum ada pedoman hukum acara yang mengatur secara rinci bagaimana mekanisme penerapannya di setiap tahapan peradilan. Hal ini menyebabkan kewenangan antar-lembaga sering kali diperdebatkan dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum,” jelasnya.
Selain itu, Rudianto juga menekankan pentingnya pengawasan yang ketat terhadap proses penyidikan dan penuntutan guna mencegah kemungkinan penyalahgunaan wewenang. Ia menegaskan bahwa revisi KUHAP harus memastikan perlindungan maksimal terhadap hak-hak warga negara yang terlibat dalam proses hukum. “Kita harus memastikan bahwa siapa pun yang berhadapan dengan hukum, baik sebagai tersangka maupun terdakwa, tetap memiliki hak-hak yang dijamin, seperti hak untuk tidak mengalami perlakuan sewenang-wenang. Oleh karena itu, reformasi hukum acara pidana harus menitikberatkan pada perlindungan terhadap hak-hak individu dalam setiap tahap proses peradilan,” tambahnya.
Sementara itu, Komisi III DPR RI telah menargetkan agar KUHAP yang baru bisa mulai diberlakukan bersamaan dengan berlakunya KUHP baru pada 1 Januari 2026. Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, menegaskan bahwa pihaknya sedang menyusun draf revisi KUHAP beserta naskah akademiknya pada masa sidang saat ini. Ia menyebut bahwa pada sidang berikutnya, revisi KUHAP akan segera diusulkan sebagai Rancangan Undang-Undang (RUU) inisiatif DPR.
Habiburokhman yang berasal dari Fraksi Partai Gerindra menilai bahwa revisi KUHAP memiliki signifikansi yang besar, mengingat KUHAP merupakan hukum formal yang berperan dalam mengoperasionalkan KUHP sebagai hukum materiil. Ia juga menekankan bahwa semangat pembaruan KUHAP harus selaras dengan semangat perubahan dalam KUHP, yakni dengan mengedepankan asas keadilan restoratif dan keadilan substantif. “Dalam KUHP yang baru, kita sudah mengadopsi semangat perbaikan yang revolusioner. Oleh karena itu, KUHAP yang baru juga harus memiliki arah politik hukum yang sama dengan KUHP,” katanya.
Lebih jauh, Habiburokhman mengungkapkan bahwa salah satu isu utama yang diangkat dalam revisi KUHAP adalah perbaikan mekanisme penahanan. Ia menilai bahwa selama ini, prosedur penahanan masih relatif mudah dilakukan oleh penyidik tanpa kontrol yang cukup. Oleh sebab itu, ada usulan untuk menerapkan mekanisme praperadilan aktif, di mana setiap permohonan penahanan harus terlebih dahulu diperiksa oleh hakim praperadilan sebelum disetujui. “Hal ini bertujuan agar tindakan penahanan tidak dilakukan secara sembarangan dan tetap memperhatikan prinsip keadilan,” jelasnya.
Selain itu, revisi KUHAP juga akan mengatur secara lebih rinci mengenai hak-hak tersangka dan terdakwa, termasuk hak untuk tidak mengalami penyiksaan, hak untuk mendapatkan pendampingan hukum, serta hak memperoleh layanan kesehatan selama proses peradilan berlangsung. “Kami berkomitmen untuk melibatkan sebanyak mungkin elemen masyarakat dalam pembahasan RUU KUHAP ini. Dengan demikian, produk hukum yang dihasilkan dapat lebih mencerminkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat luas,” pungkas Habiburokhman.
Dengan berbagai agenda pembaruan yang sedang digodok dalam revisi KUHAP, diharapkan hukum acara pidana di Indonesia dapat lebih responsif terhadap kebutuhan zaman dan menjamin keadilan bagi seluruh pihak yang terlibat dalam sistem peradilan.