Pemerintah Indonesia berencana untuk memulangkan terpidana mati kasus narkoba, Mary Jane Veloso, yang berasal dari Filipina, ke negara asalnya. Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, menyatakan bahwa keputusan pemerintah untuk melakukan pemulangan tersebut adalah langkah yang tepat.
“Langkah yang diambil oleh pemerintah dalam kasus Mary Jane ini sudah benar, dengan menggunakan mekanisme bantuan hukum timbal balik atau mutual legal assistance (MLA),” kata Habiburokhman pada Jumat (22/11/2024).
MLA merupakan perjanjian antara negara-negara yang bertujuan untuk saling membantu dalam proses penegakan hukum, terutama dalam kasus-kasus kriminal transnasional seperti kejahatan narkotika, pencucian uang, dan korupsi.
Habiburokhman juga menambahkan bahwa kebijakan pemulangan Mary Jane ini sejalan dengan pembaruan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang menjadikan hukuman mati sebagai hukuman alternatif terakhir. “Ini juga sesuai dengan politik hukum Indonesia yang baru, yang menempatkan hukuman mati sebagai alternatif hukuman terakhir, yang memberikan ruang bagi tindakan-tindakan kemanusiaan,” jelasnya.
Dia juga berharap agar kebijakan ini dapat diterapkan pada kasus-kasus lainnya yang serupa. “Secara pribadi, saya berharap kebijakan ini bisa diterapkan pada lebih banyak kasus di masa depan,” ungkapnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Permasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, menyatakan bahwa pemulangan Mary Jane Veloso dilakukan dalam kerangka perjanjian kerja sama dengan negara-negara sahabat, dalam bentuk MLA. Yusril menjelaskan bahwa meskipun Indonesia belum memiliki undang-undang khusus yang mengatur pemindahan narapidana ke negara asal, kebijakan ini dapat dilakukan melalui kesepakatan dalam MLA dan diskresi dari Presiden.
“Memang belum ada undang-undang yang secara spesifik mengatur soal pemindahan narapidana atau pertukaran narapidana antar negara. Namun, kita memiliki banyak perjanjian kerja sama dengan negara-negara sahabat, seperti MLA, yang memungkinkan hal ini terjadi,” ujar Yusril dalam keterangan tertulis.
Yusril menambahkan bahwa meskipun tidak ada aturan yang secara rinci mengatur tentang transfer atau pertukaran narapidana, Presiden memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan dan menjaga hubungan baik antar negara. “Keputusan ini bisa diambil berdasarkan kesepakatan antara kedua negara dan diskresi Presiden, karena hukum tidak secara eksplisit mengatur hal ini,” katanya.
Sebagai contoh, Yusril merujuk pada kerja sama hukum antara Indonesia dan Australia yang melibatkan penyitaan aset dalam kasus Bank Harapan Sentosa (HBS). Dengan menggunakan MLA, aset milik Hendra Rahardja yang tersangkut kasus penyalahgunaan kredit likuiditas Bank Indonesia disita oleh pemerintah Australia melalui keputusan pengadilan di Indonesia. “Meskipun ini bukan dalam konteks transfer narapidana, ini menunjukkan bahwa dengan kesepakatan MLA, Indonesia dan negara sahabat dapat saling bekerjasama dalam penegakan hukum,” tuturnya.
Yusril menekankan bahwa meskipun kebijakan pemulangan Mary Jane Veloso mungkin belum diatur secara spesifik dalam undang-undang, preseden hukum yang ada memungkinkan langkah ini diambil sebagai bagian dari kerja sama internasional dalam masalah hukum.