Pemerintah Indonesia kini tengah berada di tengah polemik terkait kebijakan pemangkasan anggaran yang digagas oleh Presiden Prabowo Subianto. Meskipun niatnya adalah untuk efisiensi dan penghematan anggaran negara, banyak pihak yang mengkhawatirkan bahwa kebijakan ini justru menimbulkan kerugian yang lebih besar daripada manfaat yang diharapkan.
Kebijakan pemangkasan anggaran pemerintah sebesar Rp 306,69 triliun oleh Presiden Prabowo Subianto pada tahun 2025 menuai polemik dan dikhawatirkan akan lebih banyak menimbulkan kerugian daripada keuntungan1. Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025 menjadi dasar dari kebijakan ini. Efisiensi tersebut diikuti dengan kebijakan pembatasan belanja kementerian dan lembaga negara, kecuali untuk bantuan sosial (bansos) dan belanja pegawai. Langkah ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk mengoptimalkan penggunaan anggaran di tengah tantangan ekonomi yang dihadapi oleh negara.
Kementerian Keuangan mengimplementasikan upaya efisiensi anggaran belanja K/L sebesar Rp256,1 triliun, dan pemangkasan atas anggaran belanja negara juga diberlakukan terhadap transfer ke daerah, dengan nilai lebih dari Rp50,59 triliun. Beberapa kementerian yang terdampak signifikan antara lain Kementerian Keuangan dan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah. Bahkan, Kementerian Pekerjaan Umum (PU) melaporkan pemangkasan anggaran mencapai Rp 81,38 triliun. Setelah efisiensi, anggaran Kementerian PU menjadi Rp29,57 triliun
Kebijakan ini menuai kritik karena berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi. Salah satu langkah utama dalam kebijakan ini adalah restrukturisasi belanja rutin, dengan memangkas 50% anggaran perjalanan dinas, kegiatan seremonial, serta pengadaan alat tulis kantor (ATK). Selain itu, pemerintah juga mendorong transformasi digital birokrasi melalui implementasi e-government untuk meningkatkan efisiensi administrasi dan mengurangi biaya operasional
Polemik semakin memanas ketika beberapa pihak mengkritisi kebijakan penghematan yang dianggap terlalu drastis. Beberapa kementerian dan lembaga negara yang seharusnya mendapatkan anggaran untuk proyek strategis, kini terhambat dalam menjalankan tugasnya. Salah satu dampak langsung dari kebijakan ini adalah terhentinya sejumlah proyek infrastruktur penting, pengembangan sumber daya manusia, dan pemenuhan kebutuhan dasar lainnya.
Salah satu yang menjadi sorotan adalah sektor pendidikan dan kesehatan, yang sering kali menjadi prioritas utama dalam anggaran pemerintah. Pemangkasan anggaran yang tidak tepat sasaran dapat memperburuk kualitas pelayanan publik dan menghambat pembangunan jangka panjang yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Pemerintah Indonesia kini tengah berada di tengah polemik terkait kebijakan pemangkasan anggaran yang digagas oleh Presiden Prabowo Subianto. Meskipun niatnya adalah untuk efisiensi dan penghematan anggaran negara, banyak pihak yang mengkhawatirkan bahwa kebijakan ini justru menimbulkan kerugian yang lebih besar daripada manfaat yang diharapkan.
Kebijakan pemangkasan anggaran pemerintah sebesar Rp306,69 triliun oleh Presiden Prabowo Subianto pada tahun 2025 menuai polemik dan dikhawatirkan akan lebih banyak menimbulkan kerugian daripada keuntungan1. Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025 menjadi dasar dari kebijakan ini. Efisiensi tersebut diikuti dengan kebijakan pembatasan belanja kementerian dan lembaga negara, kecuali untuk bantuan sosial (bansos) dan belanja pegawai. Langkah ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk mengoptimalkan penggunaan anggaran di tengah tantangan ekonomi yang dihadapi oleh negara.
Kementerian Keuangan mengimplementasikan upaya efisiensi anggaran belanja K/L sebesar Rp256,1 triliun, dan pemangkasan atas anggaran belanja negara juga diberlakukan terhadap transfer ke daerah, dengan nilai lebih dari Rp50,59 triliun. Beberapa kementerian yang terdampak signifikan antara lain Kementerian Keuangan dan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah. Bahkan, Kementerian Pekerjaan Umum (PU) melaporkan pemangkasan anggaran mencapai Rp 81,38 triliun. Setelah efisiensi, anggaran Kementerian PU menjadi Rp29,57 triliun
Kebijakan ini menuai kritik karena berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi. Salah satu langkah utama dalam kebijakan ini adalah restrukturisasi belanja rutin, dengan memangkas 50% anggaran perjalanan dinas, kegiatan seremonial, serta pengadaan alat tulis kantor (ATK). Selain itu, pemerintah juga mendorong transformasi digital birokrasi melalui implementasi e-government untuk meningkatkan efisiensi administrasi dan mengurangi biaya operasional
Polemik semakin memanas ketika beberapa pihak mengkritisi kebijakan penghematan yang dianggap terlalu drastis. Beberapa kementerian dan lembaga negara yang seharusnya mendapatkan anggaran untuk proyek strategis, kini terhambat dalam menjalankan tugasnya. Salah satu dampak langsung dari kebijakan ini adalah terhentinya sejumlah proyek infrastruktur penting, pengembangan sumber daya manusia, dan pemenuhan kebutuhan dasar lainnya.
Salah satu yang menjadi sorotan adalah sektor pendidikan dan kesehatan, yang sering kali menjadi prioritas utama dalam anggaran pemerintah. Pemangkasan anggaran yang tidak tepat sasaran dapat memperburuk kualitas pelayanan publik dan menghambat pembangunan jangka panjang yang dibutuhkan oleh masyarakat.