Di Indonesia, praktik pencucian uang (money laundering) sering dikaitkan dengan tindak pidana korupsi. Tujuan paling umum praktik kotor ini yakni menyamarkan asal-usul uang seolah berasal dari aktivitas legal. Bisa di bilang pencucian uang adalah untuk memperkaya diri sendiri dengan berupaya mengaburkan asal-usul uang atau aset yang didapatkan dari cara yang tidak wajar atau ilegal seperti korupsi, terorisme, perampokan, perdagangan manusia, narkoba, illegal fishing, dan sebagainya.
Merampas aset secara pidana, perdata, dan administratif untuk pencucian uang sebenarnya telah diatur dalam hukum positif Indonesia. Namun demikian, dalam regulasi dan pelaksanaannya masih terdapat rekahan hukum yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan. Hal ini berakibat tujuan pemidanaan yang bukan terbatas pada pelaku secara represif melalui maksimal ancaman pidana, tetapi juga untuk preventif tindak pidana melalui penelusuran dan pengembalian aset yang dihasilkan dari tindak pidana belum tercapai. Dengan belum tercapainya tujuan pemidanaan terhadap pencucian uang, maka keadilan hukum bagi negara dan masyarakat sebagai korban dari pelaku kejahatan pencucian uang belum terwujud.
Untuk meningkatkan efektivitas perampasan aset dan pembuktian terbalik dalam memerangi pencucian uang oleh pejabat korup, berikut adalah beberapa pembaharuan hukum yang diperlukan beserta dasar hukumnya:
(1) Memperkuat Undang-Undang Perampasan Aset (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), dengan menyempurnakan ketentuan-ketentuan terkait prosedur identifikasi, penyitaan, dan pengelolaan aset yang disita, Memperluas lingkup aset yang dapat disita untuk mencakup aset-aset yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi dan Menetapkan sanksi yang lebih tegas bagi pelanggaran terkait perampasan aset, termasuk bagi pejabat yang menghalangi proses perampasan.
(2). Revisi Peraturan Pembuktian TerbalikMenetapkan standar yang lebih jelas dan objektif mengenai bukti awal yang memadai untuk mengalihkan beban pembuktian kepada terdakwa. Menyediakan mekanisme yang memadai untuk terdakwa agar dapat membuktikan sumber-sumber legal dari aset-asetnya. Pasal 37 UU Nomor 31 Tahun 1999 diubah menjadi dua pasal, yakni Pasal 37 dan Pasal 37A UU Nomor 31 Tahun 1999. Nomor 21 Tahun 2001. Perubahan ini tidak banyak mengubah Pasal 37. Dalam penjelasan Pasal 37 disebutkan bahwa pasal tersebut merupakan hasil berimbang dari penerapan bukti-bukti yang bertentangan kepada terdakwa. Para terdakwa tetap memerlukan perlindungan hukum yang berimbang terhadap pelanggaran hak-hak dasar terkait asas praduga tak bersalah dan asas self incrimination
(3). Penetapan sanksi yang lebih berat dengan Meningkatkan sanksi finansial dan hukuman pidana bagi pelaku korupsi dan pencucian uang, termasuk bagi pejabat yang terlibat dan Memperluas ketentuan sanksi untuk mencakup penjatuhan sanksi yang lebih tegas terhadap mereka yang terlibat dalam tindak pidana tersebut.
(4). Peningkatan kerjasama antar lembaga penegak hukum dengan cara mendorong kerjasama yang lebih erat antara lembaga penegak hukum seperti KPK, kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan dan memfasilitasi pertukaran informasi yang lebih efektif dan meningkatkan koordinasi dalam penyelidikan, penuntutan, dan penegakan hukum.
(5). Peningkatan transparansi dan akuntabilitas dengan memperkuat tata kelola dalam pengelolaan aset yang disita, termasuk dengan menerapkan mekanisme yang memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan aset tersebut. Membentuk lembaga pengawasan independen yang bertanggung jawab untuk mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan perampasan aset dan pembuktian terbalik. Pembaharuan-pembaharuan tersebut akan membantu memperkuat instrumen hukum yang digunakan dalam memerangi pencucian uang oleh pejabat korup, serta meningkatkan efektivitas penegakan hukum dalam menghadapi tindak pidana tersebut.