Tak jarang kita temui pembangunan jalan di berbagai daerah, mulai dari pinggiran kota hingga kawasan desa, yang berjalan tanpa kejelasan informasi. Tanpa papan proyek, tanpa keterangan sumber dana, tanpa nama pelaksana kegiatan. Masyarakat yang melintasi jalan tersebut hanya bisa menduga-duga, siapa yang membangun? Dari dana mana? Berapa anggaran yang digunakan? Siapa kontraktornya?
Dalam konteks negara hukum, ketidakjelasan informasi semacam ini bukan persoalan remeh. Ketiadaan plang proyek justru merupakan indikator awal dari dugaan pelanggaran asas-asas fundamental dalam hukum administrasi pemerintahan, seperti transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik. Di balik papan proyek yang tak dipasang, bisa tersembunyi praktik korupsi, kolusi, dan penggelapan anggaran.
Dalam sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah, transparansi bukan sekadar nilai moral, melainkan prinsip hukum yang memiliki dasar yuridis. Pasal 6 huruf a Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (yang telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Perpres No. 12 Tahun 2021) menyebutkan bahwa pengadaan harus memenuhi prinsip efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil, dan akuntabel. Transparansi di sini salah satunya diwujudkan melalui penyampaian informasi kepada publik, baik dalam dokumen daring maupun papan pengumuman fisik di lokasi proyek.
Plang proyek adalah sarana praktis untuk mewujudkan prinsip tersebut. Dalam praktiknya, plang proyek harus mencantumkan:
1. Nama paket kegiatan – agar publik tahu jenis dan tujuan proyeknya.
2. Lokasi pekerjaan – mencakup batas wilayah pengerjaan jalan.
3. Sumber dana dan tahun anggaran – termasuk APBN/APBD, DAK, Dana Desa, atau bantuan luar negeri.
4. Nilai kontrak – agar publik mengetahui besarnya dana publik yang digunakan.
5. Waktu pelaksanaan – mencakup tanggal mulai dan tanggal selesai proyek.
6. Nama penyedia jasa (kontraktor) – sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan.
7. Nama konsultan pengawas – pihak independen yang mengawasi kualitas dan progres kerja.
8. Nomor kontrak dan instansi pelaksana – termasuk nama KPA/PPK atau dinas teknis.
Tanpa informasi tersebut, yang tidak memenuhi aturan diatas bisa dikategorikan “proyek siluman”. Hal itu ditegaskan oleh Ketua Umum Lembaga Kebijakan Publik di Indonesia (LKpIndonesia). “Sejengkal saja pembangunan harus ada plangnya, apalagi menggunakan anggaran APBD/APBN. Jika tidak memenuhi prinsip diatas sudah dipastikan, adanya permainan atau oknum yang bermain terhadap proyek tersebut. Proyek tersebut bisa masuk kategori “proyek siluman” ujar Andre Vetronius
Mengapa Banyak Proyek Tanpa Plang?
Beberapa alasan klasik sering dikemukakan, mulai dari alasan teknis (“plang belum jadi”), alasan keamanan (“rawan dirusak”), hingga alasan administratif (“masih menunggu pencairan”). Namun, dalam perspektif hukum, alasan-alasan tersebut tidak dapat membenarkan pengabaian prinsip transparansi.
Dalam praktik pengawasan, proyek tanpa plang kerap dikaitkan dengan proyek siluman—pekerjaan yang tidak tercantum dalam rencana kerja pemerintah, tidak melalui mekanisme penganggaran yang sah, atau bahkan proyek fiktif yang digunakan untuk mencairkan dana tanpa realisasi lapangan.
Pekerjaan konstruksi yang dilakukan tanpa papan informasi juga mempersulit pengawasan oleh masyarakat. Padahal publik berhak tahu dan mengawasi. Dalam beberapa kasus, tidak adanya plang justru dimanfaatkan untuk melakukan praktik mark-up anggaran, spesifikasi teknis yang tidak sesuai, atau pelaksanaan proyek yang molor dari jadwal tanpa diketahui publik.
Secara administratif, proyek tanpa plang dapat dikenakan teguran atau sanksi sesuai mekanisme dalam Peraturan LKPP dan regulasi internal instansi teknis, termasuk blacklist kontraktor yang tidak patuh. Namun bila ditemukan kerugian negara, maka perbuatan ini bisa bermuara pada tindak pidana korupsi.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain yang dapat merugikan keuangan negara dapat dijerat pidana. Jika proyek tanpa plang terbukti menyembunyikan mark-up, penyimpangan volume pekerjaan, atau penggelapan anggaran, maka pelaksana proyek, pejabat pembuat komitmen, hingga pejabat dinas bisa dimintai pertanggungjawaban pidana.
Selain itu, publik dapat melaporkan proyek yang tidak transparan kepada Ombudsman RI sebagai bentuk dugaan maladministrasi, terutama jika berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang atau tidak memberikan informasi kepada publik.
Partisipasi masyarakat dalam pengawasan proyek publik tidak akan efektif jika informasi dasar seperti nama kegiatan dan anggaran proyek saja tidak dibuka. Padahal, dalam konteks otonomi daerah, masyarakat adalah pemilik kedaulatan anggaran. Dana APBD berasal dari pajak dan retribusi masyarakat. Dana desa berasal dari transfer pusat yang juga bersumber dari pajak nasional. Maka setiap rupiah yang dibelanjakan harus dapat diawasi oleh publik.
Dengan adanya plang proyek, masyarakat dapat menilai apakah proyek dilaksanakan tepat waktu, tepat mutu, dan sesuai anggaran. Jika terjadi pelanggaran, masyarakat bisa melapor ke instansi terkait, inspektorat daerah, BPK, atau bahkan KPK. Keterbukaan informasi ini juga dapat mengurangi potensi konflik antara masyarakat dan pemerintah desa atau kontraktor pelaksana.
Sayangnya, meskipun aturan tentang kewajiban plang proyek sudah ada, implementasinya masih sering diabaikan. Banyak kontraktor atau pejabat teknis yang menyepelekan papan proyek, seolah itu hanya formalitas. Hal ini diperparah dengan lemahnya pengawasan dari dinas teknis atau inspektorat.
Untuk memperbaiki situasi ini, perlu ada reformasi dalam tiga aspek:pertama, enegakan aturan secara konsisten, termasuk sanksi tegas bagi proyek yang tidak memasang papan proyek. Kedua, peningkatan kesadaran hukum bagi penyedia jasa, bahwa papan proyek adalah alat pertanggungjawaban publik, bukan sekadar hiasan. Ketiga, pemberdayaan masyarakat desa dan organisasi masyarakat sipil untuk aktif memotret, mencatat, dan melaporkan proyek yang tidak transparan.
Jika perlu, pemerintah daerah dapat membuat kanal pengaduan online khusus proyek tanpa plang, dan memberikan insentif bagi laporan valid. Hal ini tidak hanya akan memperkuat kontrol sosial, tetapi juga membangun budaya pengawasan publik yang sehat dan demokratis.
Dalam sebuah negara hukum, keterbukaan informasi bukanlah pilihan, melainkan keharusan. Pembangunan jalan tanpa plang proyek bukan hanya melanggar norma administrasi pemerintahan, tetapi juga mencederai kepercayaan publik terhadap negara. Tanpa plang proyek, publik kehilangan hak untuk tahu, untuk mengawasi, dan untuk menuntut pertanggungjawaban.
Maka, siapapun yang melaksanakan proyek publik tanpa plang, harus dipertanyakan integritas dan legalitasnya. Sebab, tanpa transparansi, pembangunan bukanlah pelayanan, melainkan potensi pelanggaran.