Kekerasan terhadap Jurnalis: Ujian Akuntabilitas Polri di Era Demokrasi

Author PhotoDesi Sommaliagustina
07 Apr 2025
Ilustrasi Oknum Polisi (www.viva.co.id).
Ilustrasi Oknum Polisi (www.viva.co.id).

Peristiwa kekerasan terhadap jurnalis kembali terjadi dan mengoyak rasa keadilan masyarakat sipil. Sejumlah jurnalis diduga mengalami pemukulan dan intimidasi saat meliput kunjungan kerja Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo di Stasiun Tawang, Semarang, Sabtu sore (5/4/2025).

Oknum pelaku, Ipda Endri Purwa Sefa, adalah anggota Tim Pengamanan Protokoler Kapolri. Momen yang semestinya menjadi etalase citra humanis Polri yakni ketika Kapolri menyapa penumpang pengguna kursi roda malah diwarnai tindakan brutal terhadap jurnalis.

Kejadian ini tidak hanya mencederai hak individu korban, tetapi juga merusak pilar-pilar demokrasi yang telah dibangun sejak reformasi. Kekerasan terhadap jurnalis bukan sekadar pelanggaran etik, melainkan bentuk kekerasan negara terhadap kebebasan pers yang dijamin konstitusi. Masyarakat sipil, komunitas jurnalis, dan institusi negara mesti memaknai peristiwa ini sebagai momen krusial untuk mengoreksi kembali arah penegakan hukum dan hak sipil di Indonesia.

Kekerasan terhadap Pers adalah Kekerasan terhadap Demokrasi

Dalam sistem hukum nasional, jurnalis bukanlah warga negara biasa dalam menjalankan profesinya. Mereka adalah pelaksana mandat publik untuk mencari dan menyebarkan informasi. Pasal 28F UUD 1945 menjamin hak setiap orang untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi. Hak ini mendapat penguatan lewat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang mengatur secara eksplisit kebebasan pers sebagai bagian tak terpisahkan dari sistem demokrasi.

Pasal 4 UU Pers menyatakan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Bahkan, Pasal 18 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi kerja jurnalistik dapat dipidana maksimal dua tahun atau didenda Rp 500 juta. Oleh karena itu, kekerasan terhadap jurnalis oleh aparat, apalagi oleh pengawal utama pimpinan tertinggi kepolisian, merupakan pelanggaran ganda: terhadap hukum pidana dan terhadap konstitusi.

Sayangnya, peristiwa ini bukan yang pertama. Laporan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menunjukkan tren kekerasan terhadap jurnalis tetap tinggi setiap tahun. Pelakunya pun kerap berasal dari institusi negara, termasuk kepolisian. Ini menunjukkan kegagalan institusional dalam menyerap semangat reformasi dan demokratisasi yang menempatkan kebebasan pers sebagai pilar fundamental negara hukum.

Permintaan maaf yang disampaikan oleh pihak Kapolri merupakan langkah awal yang patut diapresiasi. Namun, dalam kacamata hukum, permintaan maaf tidak meniadakan unsur pidana. Hukum pidana mengenal asas bahwa pertanggungjawaban pidana tidak hilang hanya karena pelaku menyesali perbuatannya. Permintaan maaf hanyalah salah satu indikator itikad baik dalam proses hukum, bukan pengganti keadilan substantif.

Adagium fiat justitia ruat caelum biarlah keadilan ditegakkan walau langit runtuh harus menjadi pedoman utama dalam menegakkan hukum, terlebih dalam kasus yang melibatkan aparat penegak hukum itu sendiri. Proses hukum terhadap Ipda Endri harus dilakukan secara terbuka dan akuntabel. Ini penting bukan hanya demi korban, tetapi demi kepercayaan publik terhadap Polri.

Kegagalan Reflektif dalam Reformasi Polri

Polri adalah institusi negara yang sangat strategis dalam menopang stabilitas demokrasi. Namun, tindakan represif oleh aparat dalam peristiwa ini menunjukkan masih lemahnya internalisasi nilai-nilai reformasi dalam tubuh kepolisian. Sejak 1999, Polri telah memisahkan diri dari militer dengan janji reformasi berbasis pendekatan sipil. Tetapi janji tersebut kerap dikhianati oleh tindakan-tindakan brutal yang terjadi berulang, terutama terhadap kelompok masyarakat sipil kritis seperti jurnalis dan aktivis.

Pendekatan kekerasan yang masih digunakan menunjukkan bahwa reformasi kelembagaan belum menyentuh transformasi kultural di tubuh Polri. Seharusnya, pelatihan dan pendidikan kepolisian menyentuh aspek etika profesional, penghormatan terhadap hak sipil, dan kesadaran demokratis dalam bertindak. Ini semakin mendesak untuk ditinjau kembali oleh lembaga pengawas internal Polri seperti Divisi Propam maupun oleh lembaga pengawas eksternal seperti Kompolnas dan Komnas HAM.

Negara berkewajiban melindungi jurnalis dalam menjalankan tugasnya. Prinsip ini ditegaskan dalam standar internasional seperti UN Plan of Action on the Safety of Journalists and the Issue of Impunity yang didukung oleh Indonesia. Bahkan, dalam resolusi Dewan HAM PBB tahun 2012, ditegaskan bahwa negara wajib menjamin keamanan jurnalis sebagai bagian dari pelaksanaan hak atas kebebasan berekspresi.

Dalam konteks ini, tindakan kekerasan oleh aparat negara merupakan pelanggaran atas tanggung jawab internasional Indonesia. Bila dibiarkan tanpa proses hukum yang transparan, Indonesia dapat dianggap abai dalam menjamin hak-hak sipil warganya. Terlebih, Indonesia sedang bersiap menjadi tuan rumah berbagai forum internasional dan berperan aktif dalam diplomasi HAM. Ketidaktegasan dalam menindak kekerasan terhadap jurnalis justru dapat merusak kredibilitas negara di mata dunia.

Pada akhirnya sebagai penutup. Menurut saya yang bisa dilakukan agar hal ini tidak terulang di tengah wacana revisi Undang-Undang (UU) Polri adalah pertama, Polri harus menjamin bahwa proses hukum terhadap Ipda Endri dilakukan secara transparan, independen, dan akuntabel. Sanksi etik dan administratif tidak boleh menggantikan proses pidana.

Kedua, pemerintah dan DPR perlu meninjau ulang sistem pengawasan terhadap institusi Polri dan tidak melakukan yang namanya revisi UU Polri. Kejadian ini harus menjadi bahan evaluasi atas pelaksanaan UU Polri, termasuk kebutuhan pembentukan lembaga pengaduan independen, menjadi semakin relevan.

Ketiga, pelatihan berbasis hak asasi manusia dan etika profesi harus diperkuat secara menyeluruh di tubuh kepolisian. Ini penting untuk mengubah cara pandang aparat terhadap masyarakat sipil, termasuk jurnalis, dari subjek yang diawasi menjadi mitra dalam menjaga demokrasi.

Keempat, komunitas pers dan organisasi sipil harus terus mengawasi dan mendesak akuntabilitas aparat negara. Kekerasan terhadap jurnalis bukanlah isu profesi semata, melainkan isu kebebasan publik yang menyangkut hak setiap warga untuk mengetahui dan menyuarakan kebenaran.

Dalam demokrasi, tidak ada ruang untuk kekerasan atas nama pengamanan. Dalam negara hukum, tidak boleh ada kekebalan hukum karena seragam. Demokrasi hanya akan hidup jika aparat menghormati kebebasan pers dan bersedia mempertanggungjawabkan setiap tindakan baik di hadapan hukum maupun di hadapan publik. Hal ini tentunya tidak ada tawar menawar, dalam hal yang namanya berdemokrasi. Revisi UU Polri, patut untuk ditolak!

Artikel Terkait

Rekomendasi