Kampus yang Tidak Lagi Merdeka

Author PhotoDesi Sommaliagustina
15 Apr 2025
Ilustrasi (www.gatra.com).
Ilustrasi (www.gatra.com).

Di tengah gegap gempita demokrasi elektoral dan maraknya kontestasi kekuasaan, perguruan tinggi seharusnya menjadi ruang steril dari infiltrasi politik praktis. Namun, idealisme itu kini tampak luntur. Di berbagai sudut kampus, aroma kekuasaan meruap—membalut proses akademik, menjerat kebebasan berpikir, dan membisukan mimbar ilmiah.

Perguruan tinggi, alih-alih menjadi benteng rasionalitas dan pusat pengembangan ilmu, justru mulai terjerumus menjadi corong kekuasaan. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah kampus masih mampu menjaga integritas akademiknya? Ataukah ia telah kehilangan nyali di hadapan godaan kekuasaan?

Otonomi yang Terancam

Secara hukum, kampus memiliki legitimasi untuk bersikap independen. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menegaskan pentingnya otonomi perguruan tinggi, termasuk dalam menjamin kebebasan akademik, kebebasan mimbar, dan otonomi keilmuan. Namun dalam praktiknya, prinsip ini kerap tersandera kepentingan politik dan relasi kuasa.

Salah satu titik rawan intervensi adalah mekanisme pemilihan rektor. Dengan komposisi suara kementerian mencapai 35 persen, suara negara menjadi kunci penentu kepemimpinan kampus. Beberapa kasus pemilihan rektor bahkan diselimuti kontroversi—ada yang dibayangi dugaan intervensi kekuasaan, ada pula yang berujung kriminalisasi calon tertentu.

Kasus pemilihan rektor Universitas Negeri Lampung dan Universitas Negeri Jakarta menjadi contoh betapa proses yang seharusnya demokratis justru dibajak oleh kepentingan politik luar kampus. Kampus, secara perlahan, kehilangan kedaulatannya.

Bukan sampai disitu saja, akhir-akhir ini di media sosial, media online dan pemberitaan disibukkan dengan kasus ijazah palsu. Saat ini kampus bukan saja sebagai sarana pendidikan tapi bisa menjadi corong kekuasaan, batu loncatan untuk meraih jabatan dan kekuasaan (politik).

Seperti yang terjadi pada Universitas Gajah Mada (UGM) yang harus berjibaku mengklarifikasi, terkait ijazah palsu yang dituduhkan kepada Jokowi. Kabar terbaru yang saya baca kampus UGM didatangi oleh Amien Rais,dkk dengan tujuan untuk mencari fakta kebenaran bahwa memang benar atau tidak Jokowi itu adalah alumni UGM dan ijazah itu asli bukanlah palsu.

Fenomena lain yang memprihatinkan adalah menyusutnya ruang kritik dalam kampus. Beberapa diskusi ilmiah dibubarkan, beberapa dosen disanksi karena menulis opini kritis, dan tak sedikit mahasiswa mendapatkan tekanan karena menyuarakan pendapat politik yang tak sejalan dengan penguasa.

Dalam negara demokrasi, hal ini seharusnya tidak terjadi. Profesor Franz Magnis-Suseno pernah mengingatkan bahwa “tanpa kebebasan berpikir, kampus tak lebih dari kantor administrasi kekuasaan.”

Di banyak tempat, mimbar akademik justru dibungkam. Diskusi tentang pelanggaran HAM, korupsi elite, atau wacana reformasi konstitusi kerap dianggap berbahaya. Kampus dipaksa netral, namun hanya dalam arti tidak mengganggu kekuasaan. Jika terganggu maka pasang badan untuk menetralisir keadaan atau isu yang tengah mengemuka.

Kooptasi Kultural Organisasi Mahasiswa dan Dosen

Kekuasaan tidak selalu hadir dalam bentuk tekanan langsung. Ia bisa menyusup dalam bentuk kooptasi kultural: dari baliho-baliho tokoh politik di pagar kampus, jargon program pembangunan yang masuk ke dalam kurikulum, hingga agenda kegiatan kemahasiswaan yang diarahkan untuk mendukung proyek politik tertentu.

Organisasi mahasiswa yang dulu menjadi laboratorium demokrasi kini mulai kehilangan fungsi kritisnya. Beberapa BEM atau DPM justru menjadi bagian dari mesin kekuasaan. Padahal, sejarah menunjukkan bahwa reformasi 1998 tak akan lahir tanpa peran mahasiswa yang berpikir dan bertindak bebas.

Sivitas akademika—terutama dosen—sering berada di persimpangan antara idealisme dan kenyamanan. Banyak yang memilih diam karena khawatir kehilangan jabatan, akses dana penelitian, atau posisi dalam struktur kampus.

Senat akademik yang semestinya menjadi benteng nilai akademik pun kerap bungkam. Bahkan, dalam kasus pelanggaran etik atau kekerasan seksual, senat justru lebih sering melindungi institusi ketimbang berpihak pada kebenaran.

Kondisi ini memperlihatkan bahwa persoalan kampus bukan hanya soal tekanan dari luar, tetapi juga soal degradasi nilai dari dalam.

Membangun Kembali Daya Tahan Akademik

Tantangan hari ini bukan hanya menjaga kampus dari serangan luar, tetapi membangkitkan kembali semangat akademik di dalamnya. Ada beberapa langkah konkret yang bisa diupayakan:

Pertama, pemerintah perlu merevisi mekanisme pemilihan rektor agar tidak menjadi alat kontrol kekuasaan. Campur tangan politik harus dibatasi dan proses seleksi harus menjunjung tinggi integritas dan transparansi.

Kedua, kampus perlu memperkuat mekanisme etik dan perlindungan kebebasan akademik. Setiap tindakan pembungkaman terhadap dosen dan mahasiswa harus dilawan secara hukum dan moral.

Ketiga, penting untuk menghidupkan kembali budaya berpikir kritis di kalangan mahasiswa. Pendidikan politik yang sehat harus menjadi bagian dari kurikulum, bukan sekadar retorika.

Keempat, sivitas akademika harus kembali memaknai tugas profesinya sebagai penjaga akal sehat bangsa. Tugas akademisi bukan hanya mengajar, tetapi juga mengoreksi arah kebijakan publik.

Kampus yang bebas adalah syarat mutlak bagi demokrasi yang sehat. Tanpa kampus yang kritis, bangsa ini akan kehilangan kompas moralnya. Kita harus mengembalikan kampus sebagai ruang otonom—bebas dari tekanan politik, bebas dari kepentingan pragmatis, dan bebas untuk menyuarakan kebenaran.

Mungkin kita perlu kembali pada pesan Soedjatmoko: “Universitas tidak boleh tunduk pada politik negara; tugasnya adalah mencerdaskan politik itu sendiri.”

Membebaskan kampus dari belenggu politik bukan sekadar soal struktur tata kelola, tetapi soal keberanian menjaga marwah intelektual, etika publik, dan cita-cita pendidikan sebagai pencerah masa depan bangsa.

Artikel Terkait

Rekomendasi