Pada tahun 2023, Indonesia resmi mengesahkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru, menggantikan KUHP warisan kolonial Belanda yang telah berlaku selama lebih dari satu abad. Perubahan ini menjadi tonggak penting dalam sejarah hukum nasional, mencerminkan upaya pemerintah untuk menyelaraskan hukum pidana dengan nilai-nilai Pancasila, hak asasi manusia, dan kebutuhan masyarakat modern.
Namun, pembaruan KUHP ini juga membawa dinamika yang signifikan terkait kriminalisasi dan dekriminalisasi berbagai perbuatan. Kriminalisasi mencakup pengaturan baru yang memperluas kategori perbuatan yang dianggap melanggar hukum, seperti penghinaan terhadap lembaga negara, kohabitasi di luar pernikahan, dan tindak pidana adat tertentu. Di sisi lain, terdapat pula langkah dekriminalisasi, yakni penghapusan atau penyesuaian sanksi pada beberapa tindak pidana tertentu, termasuk tindak pidana yang sebelumnya sudah dianggap ketinggalan zaman atau tidak lagi relevan.
Dinamika ini memunculkan berbagai respons dari masyarakat, akademisi, dan praktisi hukum. Pihak pendukung menilai KUHP 2023 sebagai kemajuan menuju sistem hukum pidana yang lebih nasionalis dan kontekstual. Namun, kritik tajam juga muncul, terutama terkait isu kebebasan berekspresi, privasi individu, serta kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia. Perbedaan pandangan ini menegaskan pentingnya memahami konteks dan dampak sosial dari kebijakan kriminalisasi dan dekriminalisasi dalam KUHP baru.
Apa Itu Kriminalisasi dan Dekriminalisasi?
Kriminalisasi adalah proses memasukkan suatu perbuatan ke dalam kategori tindak pidana yang dapat dikenai sanksi pidana. Tujuannya bisa bermacam-macam, mulai dari menjaga ketertiban sosial, melindungi moralitas, hingga merespons perkembangan ancaman baru.
Dalam KUHP 2023 memperkenalkan berbagai bentuk kriminalisasi baru, yang sebagian besar bertujuan untuk menjaga moralitas, melindungi masyarakat, dan merespons perkembangan teknologi. Berikut adalah beberapa aspek penting dari kriminalisasi dalam KUHP 2023:
- Kriminalisasi Terkait Moralitas dan Kehidupan Sosial
KUHP 2023 memuat pasal-pasal yang mengatur perilaku moral individu, seperti:
- Larangan kohabitasi: Dalam Pasal 412 KUHP 2023 ini mengatur larangan hidup bersama tanpa ikatan pernikahan yang sah. Kriminalisasi ini dipandang sebagai upaya menjaga nilai-nilai keluarga dan norma masyarakat, tetapi menuai kritik karena dianggap terlalu masuk ke ranah privat individu.
Larangan dalam pasal ini termasuk delik aduan absolut. Artinya, kasus hanya dapat diproses jika ada laporan dari pihak tertentu yang disebutkan dalam pasal (suami, istri, orang tua, atau anak). Aturan ini menuai pro dan kontra di masyarakat, terutama terkait privasi individu dan penegakan hukum dalam konteks nilai-nilai sosial dan agama.
- Larangan perzinahan: Dalam Pasal 411 KUHP 2023 ini tidak hanya berlaku bagi pasangan yang telah menikah, tetapi juga dapat menjerat mereka yang belum menikah. Kebijakan ini bertujuan untuk memperkuat institusi keluarga sebagai fondasi masyarakat Indonesia.
Pasal ini termasuk delik aduan absolut, sehingga proses hukum hanya dapat berjalan apabila ada laporan dari pihak yang dirugikan, yaitu suami, istri, orang tua, atau anak.Ketentuan ini memperluas cakupan perzinahan, tidak hanya terbatas pada hubungan antara salah satu pihak yang telah menikah (seperti di KUHP lama), tetapi juga mencakup perzinahan di luar ikatan pernikahan yang sah.
- Kriminalisasi dalam Konteks Teknologi dan Dunia Digital
Kemajuan teknologi juga menjadi perhatian dalam KUHP 2023. Beberapa bentuk kriminalisasi baru yang relevan dengan era digital antara lain:
- Penyebaran berita bohong (hoaks) : Dalam Pasal 263 KUHP 2023 Perbuatan menyebarkan informasi palsu yang merugikan pihak lain atau mengancam stabilitas nasional diatur dengan lebih spesifik.
- Pelanggaran data pribadi: Dalam Pasal 332 KUHP 2023 bertujuan untuk melindungi privasi warga negara, tindakan menyalahgunakan data pribadi seseorang nantinya dapat menjadi perbuatan tindak pidana.
- Perlindungan terhadap Lingkungan
KUHP 2023 juga menitik beratkan pada perlindungan lingkungan hidup. Misalnya:
- Pidana terhadap pencemaran lingkungan: Pasal 607 hingga Pasal 612 mengatur sanksi tegas bagi perusahaan atau individu yang merusak lingkungan, seperti pencemaran air atau udara, pembalakan liar, dan aktivitas ilegal lainnya yang mengancam keberlanjutan ekosistem.
Dekriminalisasi adalah penghapusan status tindak pidana dari suatu perbuatan yang sebelumnya diatur sebagai kejahatan. Hal ini dilakukan untuk menyesuaikan hukum dengan nilai-nilai yang lebih progresif atau mengurangi beban peradilan pidana.
Di sisi lain, KUHP 2023 juga mencerminkan upaya untuk mengurangi beban sistem peradilan pidana dengan menghapus beberapa tindak pidana yang dianggap tidak relevan lagi atau lebih cocok diselesaikan melalui mekanisme non-pidana. Berikut beberapa contoh dekriminalisasi dalam KUHP 2023:
- Penghapusan Delik Lama yang Tidak Relevan
Beberapa tindak pidana dalam KUHP lama dihapuskan karena tidak sesuai dengan nilai-nilai demokrasi modern, seperti:
- Penghinaan terhadap raja asing: Pasal ini dianggap tidak relevan lagi dalam sistem hukum pidana modern dan berpotensi mengundang multitafsir.
- Delik warisan kolonial lainnya: Beberapa pasal yang memiliki akar kolonial dan tidak sesuai dengan konteks masyarakat Indonesia dihapuskan.
- Penggunaan Keadilan Restoratif
KUHP 2023 memperkenalkan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) untuk beberapa tindak pidana ringan. Melalui mekanisme ini, pelaku, korban, dan masyarakat didorong untuk menyelesaikan konflik melalui musyawarah, sehingga hukuman pidana tidak selalu menjadi pilihan utama.
- Dekriminalisasi Tindak Administratif
Beberapa perbuatan yang sebelumnya dikategorikan sebagai tindak pidana administratif kini dipindahkan ke ranah hukum administrasi atau hukum perdata, seperti pelanggaran ringan dalam bidang tata ruang atau perizinan usaha.
Pro dan Kontra
Keberadaan pasal-pasal dalam KUHP 2023 yang mengatur kriminalisasi dan dekriminalisasi memicu pro dan kontra di masyarakat:
Pro:
- Melindungi Nilai-Nilai Lokal: Pasal-pasal yang terkait moralitas dipandang sebagai langkah menjaga nilai-nilai adat dan tradisi Indonesia yang beragam.
- Responsif terhadap Perkembangan Zaman: Pengaturan baru mengenai kejahatan digital dan lingkungan menunjukkan adaptasi terhadap tantangan global.
- Pendekatan Restoratif: Dekriminalisasi pada tindak pidana ringan mengurangi beban sistem peradilan dan mendukung penyelesaian konflik secara damai.
Kontra:
- Ranah Privat yang Dikriminalisasi: Pengaturan seperti larangan kohabitasi dianggap melanggar kebebasan individu dan rawan digunakan untuk mendiskriminasi kelompok tertentu.
- Potensi Penyalahgunaan Pasal Karet: Beberapa pasal, seperti penghinaan kepala negara, dikritik karena berpotensi digunakan untuk membungkam kritik terhadap pemerintah.
- Pelaksanaan yang Kompleks: Banyaknya aturan baru memerlukan kesiapan aparat penegak hukum untuk memahami dan menerapkannya secara konsisten.
Penerapan KUHP 2023 adalah langkah besar menuju reformasi hukum pidana di Indonesia. Dinamika kriminalisasi dan dekriminalisasi dalam KUHP ini mencerminkan upaya untuk menyeimbangkan nilai-nilai tradisional dan tuntutan modernitas. Namun, keberhasilan implementasi KUHP 2023 nantinya sangat bergantung pada transparansi, partisipasi masyarakat, dan profesionalisme aparat penegak Hukum. Perdebatan yang muncul menunjukkan bahwa hukum pidana bukan sekadar soal aturan, tetapi juga menyangkut nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Henra P Aritonang , Penulis Mahasiswa Magister Hukum Universitas Sumatera Utara