Kekerasan seksual di lembaga pendidikan menjadi isu yang semakin mendesak dalam masyarakat kita. Meskipun sering kali tersembunyi atau tidak terlihat, fenomena ini telah berkembang menjadi “puncak gunung es” – dimana sebagian besar kasus tidak terungkap, sementara hanya sebagian kecil yang berhasil dideteksi. Dalam konteks ini, kebijakan kriminal memainkan peran penting untuk memberikan perlindungan kepada korban dan memberikan efek jera kepada pelaku.
Fenomena Gunung Es Kekerasan Seksual
Fenomena gunung es mengacu pada kenyataan bahwa banyak kasus kekerasan seksual yang tidak dilaporkan atau tidak terungkap ke permukaan. Di lembaga pendidikan, hal ini sering terjadi karena berbagai alasan, seperti ketakutan terhadap stigma sosial, ancaman dari pelaku, atau ketidakpercayaan terhadap sistem hukum. Akibatnya, hanya sebagian kecil kasus yang berhasil mencapai proses hukum, sementara banyak lainnya tetap tersembunyi dalam lumbung-lumbung dosa.
Kasus terbaru pelecehan seksual dilingkungan kampus terjadi pada seorang mahasiswi di Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan yang diduga menjadi korban pelecehan seksual oleh seorang dosen. Kasus ini menjadi salah satu dari banyaknya insiden serupa yang terjadi di perguruan tinggi di Indonesia dan berpotensi besar naik kelas menjadi kasus kekerasan seksual apabila tidak ditangani dengan tepat, mengingat tren kasus kekerasan seksual yang terus meningkat setiap tahunnya.
Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2023 yang di publikasi oleh Komnas Perempuan pada tanggal 7 Maret 2024 mencatat bahwa sepanjang tahun 2023 masih terjadi sejumlah kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan, baik pendidikan menengah dan perguruan tinggi. Dari kasus-kasus tersebut 4 (empat) di antaranya masuk pengaduan ke Komnas Perempuan dan menjadi perhatian khusus, yaitu kasus kekerasan seksual di sebuah universitas di Sulawesi, Universitas di Jawa Tengah, SMA swasta di Jawa Tengah, dan sebuah pesantren di Jawa Timur.
Dari keempat kasus kekerasan seksual tersebut terdapat pola kekerasan yang sama yaitu karena adanya relasi kuasa yang berlapis baik dari jabatan, pengetahuan, usia maupun gender antara pelaku dan korban, seperti senioritas di kampus, pacar, dan antara mahasiswi dan pejabat di kampus, serta santriwati dan guru mengajinya. Para pelaku telah memanfaatkan statusnya sebagai mahasiswa senior, ketua senat Fakultas, hingga guru mengaji untuk melakukan pencabulan, pelecehan, hingga kekerasan seksual.
Intimidasi dengan rekaman video dan foto tanpa busana juga menjadi alat ancaman bagi korban untuk terus melakukan perkosaan hingga berulang. Relasi kuasa antara korban dan pelaku sangat berpengaruh dalam merespons kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki jabatan, kedudukan atau status di institusi pendidikan.
Apalagi dalam beberapa kasus, pihak kampus tidak memihak kepada korban bahkan cenderung melakukan intimidasi, ancaman, dan teror dari pelaku, seperti kasus kekerasan seksual pada sebuah universitas di Sulawesi, korban yang kondisi tertekan dilarang didampingi dalam persidangan, diserang oleh 7 orang penasehat hukum pelaku, dikatakan perempuan gak benar dan tidak waras. Juga ada yang mendapat ancaman tidak bisa ikut ujian karena telah membesar-besarkan masalah yang menyebabkan yayasan sekolah bangkrut, padahal tuduhan tersebut berlebihan mengingat tidak ada bukti-bukti secara hukum bangkrutnya sekolah. Tuduhan tersebut merupakan salah satu bentuk reviktimisasi terhadap korban.
Dari semua kasus yang ada, rata-rata yang berinisiasi melaporkan kepada pihak kepolisian adalah keluarganya, bukan pihak sekolah/kampus. Kondisi ini menunjukkan bahwa lembaga Pendidikan belum memberi dukungan pada korban kekerasan seksual yang terjadi di lingkungannya. Bahkan sebaliknya, pihak sekolah/kampus cenderung melindungi pelaku karena memiliki hubungan dekat dengan pejabat kampus. Selain itu, kurangnya perspektif keadilan bagi korban dalam proses penanganan, sehingga dianggap jalan terbaik bagi korban dan pelaku adalah berdamai demi masa depan masing- masing.
Korban kekerasan seksual di lingkungan lembaga pendidikan akhirnya mengalami dampak yang berlapis akibat tekanan dan ancaman, baik dari pelaku maupun oleh pihak berwenang, seperti hakim dan UPTD PPA dalam proses penanganan, beberapa korban mengalami gangguan kesehatan mental maupun fisik. Ada yang mengalami perubahan perilaku, seperti melampiaskan dengan merokok, korban yang membutuhkan perawatan kesehatan mental di RSJ dan harus dirawat di Rumah Sakit karena melukai dirinya sendiri saat dipaksa masuk sekolah dalam kondisi yang masih trauma.
Perspektif Kebijakan Kriminal
Barda Nawawi Arief dalam bukunya “Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana” mengartikan kebijakan kriminal atau politik kriminal (criminal policy) sebagai usaha rasional dan terorganisir dari suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Defenisi ini diambil dari Marc Ancel yang merumuskan kebijakan kriminal sebagai “the rational organization of the control of crime by society“.
G. Peter Hoefnagels dalam bukunya yang berjudul “The Other Slide of Criminology (An Inversion
of the Concept of Crime), mengemukakan beberapa definisi mengenai kebijakan kriminal antara lain:
- Criminal Policy is the science of response (kebijakan kriminal adalah ilmu tentang reaksi dalam menghadapi kejahatan);
- Criminal policy is the science of prevention (kebijakan kriminal adalah ilmu untuk menanggulangi kejahatan);
- Criminal policy is a the science of designating human behavior as crime (Kebijakan kriminal
adalah kebijakan untuk merancang tingkah laku manusia sebagai kejahatan); dan - Criminal policy is a rational total of response to crime (kebijakan kriminal adalah satu reaksi
terhadap kejahatan yang rasional).
Dalam menghadapi fenomena gunung es, kebijakan kriminal harus berfokus pada penciptaan sistem yang lebih responsif terhadap laporan kekerasan seksual. Diperlukan pendekatan komprehensif yang mengintegrasikan respons, pencegahan, dan desain normatif.
Perspektif kebijakan kriminal dalam upaya rasional dan terorganisir untuk menanggulangi kekerasan seksual harus mencakup respons yang efektif terhadap kejahatan. Hal menurut penulis melibatkan penguatan sistem hukum untuk menjamin akses keadilan bagi korban, termasuk prosedur yang ramah terhadap korban, perlindungan saksi, dan penguatan peran aparat penegak hukum. Selain itu, proses hukum harus dijalankan secara transparan untuk memastikan pelaku kekerasan seksual di lembaga pendidikan mendapat sanksi yang setimpal, sekaligus memberikan efek jera.
Aspek pencegahan menjadi elemen penting kebijakan kriminal dalam menangani fenomena ini. Strategi pencegahan dapat dilakukan melalui edukasi tentang bahaya kekerasan seksual, hak-hak korban, dan pentingnya membangun lingkungan yang aman. Lembaga pendidikan juga perlu menerapkan kebijakan internal yang tegas, seperti mekanisme pelaporan yang aman, penanganan keluhan yang responsif, dan pengawasan yang ketat untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual. Selain itu perlunya penekanan terhadap instansi dalam menyikapi secara tegas segala bentuk kekerasan seksual di lembaga pendidikan.
Desain normatif kebijakan kriminal memerlukan pembaruan atau penyesuaian hukum yang mengatur kekerasan seksual di lembaga pendidikan. Pendekatan ini bertujuan untuk memastikan bahwa peraturan-peraturan tersebut mencakup berbagai bentuk kekerasan seksual, memperhatikan kebutuhan korban, serta relevan dengan realitas sosial yang terus berkembang.
Kebijakan kriminal disini berperan sebagai reaksi total yang rasional terhadap kekerasan seksual, sehingga harus mampu merangkul pendekatan holistik yang melibatkan berbagai pihak. Kolaborasi bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang mendukung keberanian korban untuk melapor, membangun kepercayaan publik terhadap sistem hukum, dan menanamkan budaya anti-kekerasan seksual di masyarakat secara keseluruhan.