Viona Margaretha, S.H.
Budaya Victim Blaming: Jeratan Tak Kasat Mata di Balik Penanganan Kasus Pelecehan Seksual
Mencari keadilan bagi korban pelecehan seksual di Indonesia ibarat mencari jarum dalam tumpukan jerami—bukan karena hukum tidak ada, tetapi karena tumpukan stigma, prasangka, dan penghakiman sosial menutupinya rapat-rapat. Sebelum korban sempat mengetuk pintu keadilan, mereka lebih dulu harus menghadapi ruang penghakiman publik yang dipenuhi prasangka. Alih-alih mendapatkan perlindungan, mereka justru dihadapkan pada opini-opini yang menyudutkan dan menuntut pembuktian ganda: bahwa mereka benar-benar korban dan bahwa mereka tidak “mengundang” pelecehan tersebut.
Di negeri ini, keberanian seorang korban melapor sering kali berujung pada hukuman sosial, bukan keadilan hukum. Seorang perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual tidak hanya berjuang melawan trauma, tetapi juga harus menghadapi tatapan sinis, komentar menyakitkan, dan pertanyaan yang menyudutkan: “Kenapa keluar malam-malam?”, “Pakaianmu terlalu terbuka?”, “Kenapa tidak melawan?”. Dalam masyarakat yang masih dibutakan oleh bias patriarki, korban sering kali diperlakukan seolah mereka sendiri yang bertanggung jawab atas penderitaan mereka. Sementara itu, pelaku sering kali bersembunyi di balik tembok kebebasan yang dibangun oleh keraguan publik. Mereka berlalu tanpa beban karena masyarakat lebih sibuk mengadili korban daripada menuntut pertanggungjawaban pelaku.
Hukum yang seharusnya menjadi alat keadilan sering kali tumpul dalam menghadapi victim blaming. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 289–296 telah menetapkan sanksi bagi pelaku pelecehan seksual. Bahkan, melalui CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women), Indonesia telah berjanji di hadapan dunia untuk melindungi korban kekerasan seksual. Namun, realitas berbicara lain. Sebelum palu hakim mengetuk, sebelum penyidik mencatat laporan, korban sudah lebih dulu diadili oleh opini publik.
Data menunjukkan bahwa kekerasan yang dominan masih terjadi di ranah personal. Dari total kasus yang dilaporkan, kekerasan seksual menempati posisi tertinggi dengan 15.621 kasus, diikuti oleh kekerasan psikis sebanyak 12.878 kasus, dan kekerasan fisik sebanyak 11.099 kasus. Jenis kekerasan lainnya tercatat sebanyak 6.897 kasus. Angka-angka ini menggambarkan bahwa pelecehan seksual bukan sekadar persoalan individu, melainkan kejahatan kemanusiaan serius yang membutuhkan penanganan sistematis dan kebijakan yang berpihak pada korban.
Dalam ruang sidang, situasi tak jauh berbeda. Fokus sering kali bergeser dari perbuatan pelaku ke karakter korban. Cara berpakaian, kehidupan pribadi, hingga hubungan masa lalu dikuliti habis, seolah-olah harga diri seseorang lebih penting daripada kebenaran. Padahal, Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan. Seharusnya, setiap korban pelecehan seksual mendapatkan perlakuan yang adil di mata hukum.
Lebih jauh, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan CEDAW mengikat Indonesia untuk memastikan bahwa tidak ada diskriminasi terhadap perempuan, termasuk dalam proses hukum. Sayangnya, dalam praktiknya, perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual masih sering mengalami diskriminasi sistemik, baik di tingkat masyarakat maupun di institusi penegak hukum.
Fenomena victim blaming bukan sekadar teori, tetapi nyata terjadi dalam berbagai kasus di Indonesia. Salah satunya adalah kasus pelecehan seksual di Universitas Gadjah Mada (UGM) pada tahun 2017. Seorang mahasiswi yang menjalani Kuliah Kerja Nyata (KKN) melaporkan pelecehan yang dilakukan rekan sesama mahasiswa. Namun, alih-alih mendapat dukungan, ia justru menghadapi tekanan untuk tidak melanjutkan kasusnya. Institusi yang seharusnya melindungi korban malah mencoba menutup kasus ini demi menjaga nama baik kampus. Opini publik pun terbelah—ada yang membela korban, tetapi tidak sedikit yang mempertanyakan tindakannya. Inilah wajah kelam victim blaming: bukan pelaku yang diawasi, melainkan korban yang dikuliti.
Perjalanan menuju keadilan bagi korban pelecehan seksual bisa berlangsung bertahun-tahun. Banyak korban memilih untuk tidak melaporkan kejadian karena takut dengan konsekuensi sosial yang harus mereka tanggung. Padahal, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sudah mengatur hak korban untuk mendapatkan perlindungan, tetapi implementasinya masih lemah. Banyak aparat penegak hukum yang belum memiliki perspektif gender dalam menangani kasus kekerasan seksual. Bahkan, dalam banyak kasus, korban justru didorong untuk menyelesaikan perkara secara damai, seolah-olah pelecehan seksual hanyalah persoalan pribadi, bukan tindak pidana serius.
Sebagai upaya untuk memperbaiki situasi ini, Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2017 telah diterbitkan sebagai pedoman bagi hakim dalam mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum, termasuk dalam kasus pelecehan seksual. Perma ini mengatur agar hakim lebih mempertimbangkan posisi rentan korban dan memastikan bahwa putusan yang diambil berperspektif gender. Namun, tanpa kesadaran sosial yang lebih luas, aturan ini tetap sulit untuk diimplementasikan secara optimal.
Jika victim blaming terus dibiarkan menjadi budaya, maka pelecehan seksual akan terus menjadi lingkaran setan. Keadilan yang seharusnya menjadi hak setiap korban justru terkubur dalam ketakutan, stigma, dan penghakiman sosial. Selama kita masih sibuk mempertanyakan korban daripada menuntut pelaku, maka keadilan hanya akan menjadi mitos di negeri yang katanya menjunjung hukum. Mari women support women. Bersama perempuan, kita sejahterakan Indonesia.