Vonis Donald Trump dan Kekosongan Hukum Tata Negara

Author PhotoHELEN MUTIARA SILABAN
13 Jan 2025
apa-dampak-kemenangan-donald-trump-bagi-iklim-bumi

Kurang dari dua minggu menjelang dilantik sebagai Presiden ke-47, Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump, dijatuhi vonis atas dakwaan tindak pidana menyembunyikan pembayaran uang tutup mulut sebesar 130.000 dollar AS kepada Stormy Daniels. Vonis ini dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri New York pada Jumat, 10 Januari 2025, pukul 09.30 waktu setempat.

Vonis Donald Trump mengundang perdebatan di kalangan para ahli Hukum Tata Negara, di Amerika secara khusus, terkait kekebalan hukum bagi presiden terpilih yang belum dilantik, apakah setara dengan presiden yang sedang menjabat atau memiliki hak hukum yang berbeda. Di banyak konstitusi di dunia, termasuk di Indonesia, pengaturan presiden terpilih yang menghadapi vonis pidana sebelum dilantik merupakan salah satu masalah tata negara yang kurang diatur secara spesifik. Hal ini menciptakan kekosongan hukum yang berpotensi memicu krisis politik, debat konstitusi, dan berimplikasi pada legitimasi hasil pemilu dan proses pelantikan. Seperti dikutip Portal Hukum, hakim menjatuhkan vonis unconditional discharge atau bebas tanpa syarat kepada Trump karena konstitusi Amerika Serikat melindungi Presiden AS dari tuntutan pidana. Hakim Juan Merchan menyatakan Trump tak perlu menjalani penjara, denda, masa percobaan, maupun hukuman lainnya. Meski demikian, pelantikan Trump sebagai Presiden AS pada 20 Januari 2025 mendatang, tidak akan menghapus putusan bersalah dari juri. Ia tetap dinyatakan bersalah dan terekam dalam catatan kriminalnya. Dengan catatan kriminal itu, Trump akan menjadi presiden pertama AS yang menjabat dengan status narapidana. Imunitas presiden terpilih Silang pendapat mengenai kekebalan hukum (imunitas) presiden terpilih yang belum dilantik bermuara pada dua perspektif. P

ertama, presiden terpilih telah mendapatkan legitimasi penuh dari pemilih, sehingga harus dilindungi dari proses hukum yang dapat mengganggu transisi kekuasaan. Hasil proses demokrasi elektoral memberikan prioritas mandat rakyat di atas persoalan hukum secara individual.

Kedua, supremasi hukum adalah prinsip fundamental yang tidak boleh dikompromikan. Dalam perspektif ini, tidak ada seorang pun, termasuk presiden terpilih, yang berada di atas hukum. Jika seorang presiden terpilih terbukti secara hukum melakukan tindak pidana, maka proses hukum harus tetap berjalan tanpa intervensi dan berdampak pada legitimasi politiknya. Hal yang lumrah di kebanyakan konstitusi di dunia, kekebalan hukum (imunitas) hanya diberikan kepada presiden yang sedang menjabat untuk menjalankan tugas-tugas negara.

Kekebalan ini berlaku sejak presiden terpilih dilantik dan tidak secara eksplisit diberikan sebelum masa jabatan resmi dimulai. Bercermin pada kasus Donald Trump, yang divonis pengadilan setelah terpilih sebagai presiden, kita memerlukan antisipasi konstitusional untuk memberikan kepastian hukum, apakah vonis pidana bagi seorang presiden terpilih sebelum dilantik menggugurkan mandat politik yang diterima dari rakyat atau tidak. Dalam iklim demokrasi, kasus Donald Trump bukan satu-satunya dan terakhir. Bisa saja kasus semacam itu terjadi di negeri kita, karena efek samping demokrasi terkadang muncul di luar dugaan.

Kasus semacam ini akan menimbulkan dilema antara menghormati kedaulatan rakyat atau penegakkan hukum. Kekosongan hukum Konstitusi kita tidak mengatur status presiden terpilih yang divonis pengadilan sebagai pelaku tindak pidana. UUD 1945 tidak mengatur apakah mandat politik calon terpilih semacam itu otomatis gugur atau tidak. Diperlukan opsi konstitusional untuk mengisi kekosongan hukum ini. Harapan Seabad Pramoedya Menteri Hukum Tekankan Dukungan Parlemen Krusial buat Capres Ada beberapa opsi yang dapat dipilih. P

ertama, menetapkan dalam konstitusi bahwa calon presiden terpilih memiliki kekebalan hukum, dengan pengecualian untuk tiga kejahatan berat, yaitu korupsi, pengkhianatan, atau kejahatan hak asasi manusia.

Kedua, pengujian integritas oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam hal ini, MK diberi kewenangan undang-undang untuk memutus apakah vonis pengadilan terhadap calon presiden terpilih menggugurkan haknya untuk dilantik atau tidak. MK dapat memutus berdasarkan tingkat keparahan kejahatan dan dampaknya terhadap legitimasi kepemimpinan. 

Ketiga, persetujuan MPR untuk menentukan kelayakan pelantikan, melalui mekanisme sidang istimewa. Mungkin masih terdapat opsi konstitusional lainnya. Prinsipnya, perlu antisipasi konstitusi untuk menghadapi potensi kejadian tata negara semacam itu. Namun, Konstitusi kita tidak perlu mengambil opsi hukum bahwa jika calon presiden terpilih divonis bersalah atas suatu kejahatan, maka Pemilu harus diulang atau hasilnya dianggap batal. Opsi ini membutuhkan alokasi waktu dan sumber daya besar, selain juga berisiko memperpanjang ketidakpastian pemerintahan. Selanjutnya, dalam konteks sistem presidensial yang dianut oleh Indonesia, hal yang perlu diatur terkait “presiden Trump”, adalah kepastian wakil presiden terpilih yang dapat secara otomatis mengambil alih posisi presiden jika presiden terpilih tidak dapat dilantik.

Pelajaran penting lainnya dari vonis Donald Trump adalah menyatukan penghargaan terhadap mandat politik rakyat dan integritas hukum. Hal ini tercermin dalam putusan bulat 12 hakim Pengadilan Negeri New York yang mufakat memvonis Donald Trump bersalah, tapi tidak menjatuhkan hukuman penjara kepadanya karena pertimbangan kedaulatan rakyat yang memilihnya. Mengisi kekosongan hukum tentang kekebalan hukum (imunitas) presiden terpilih sangat perlu, apabila dilihat dari dimensi politik.

Dalam situasi persaingan politik yang keras dan tajam, potensi kriminalisasi presiden terpilih oleh lawan politik sangat terbuka. Tanpa aturan konstitusional yang jelas akan berdampak pada instabilitas negara. Jadi, banyak pelajaran penting dari kasus vonis Donald Trump. Selain memberikan tantangan untuk mengisi kekosongan hukum tata negara, kasus tersebut memberikan sinyal bahwa tantangan demokrasi ke depan adalah mengelola hubungan antara hukum dan politik. Demokrasi tidak hanya tentang keterbukaan dan suara mayoritas, tetapi juga tentang penegakan hukum yang tegas, adil, akurat, dan cermat membaca dampak.

Artikel Terkait

Rekomendasi