Dua prajurit TNI yang bertugas di Kodim 0204 Deli Serdang, Sumatera Utara, yakni Serka Darmen Hutabarat dan Serda Hendra Fransisco Manalu, menjalani sidang atas kasus penembakan hingga menewaskan MAF (13), siswa SMP di Serdang Bedagai. Peristiwa tragis tersebut menuai kecaman setelah kedua terdakwa hanya dijatuhi hukuman 1,5 tahun dan 1 tahun penjara oleh pengadilan militer, meski mengakibatkan kematian seorang anak.
Dalam persidangan, kedua terdakwa menangis dan memohon keringanan hukuman kepada majelis hakim. Mereka berdalih kondisi keluarga, khususnya keadaan istri dan anak mereka, sebagai alasan permintaan keringanan hukuman. “Mohon keringanan hukuman, demi istri dan anak kami,” ujar salah satu terdakwa dengan suara bergetar di hadapan hakim.
Keputusan ringannya vonis terhadap dua prajurit tersebut langsung menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk Komnas HAM. Komisi tersebut menilai tuntutan terhadap dua oknum TNI ini perlu dievaluasi karena dianggap tidak mencerminkan keadilan, terutama bagi keluarga korban. Komnas HAM menekankan pentingnya penegakan hukum yang tegas dan pemenuhan rasa keadilan atas meninggalnya korban yang masih di bawah umur.
Sebagian masyarakat juga menyuarakan kekecewaan terhadap ringannya hukuman yang dijatuhkan. Mereka menyoroti bahwa tindakan prajurit yang menghilangkan nyawa seorang anak semestinya dijatuhi hukuman sesuai dengan beratnya akibat yang ditimbulkan demi menjaga marwah hukum dan perlindungan terhadap masyarakat sipil.
Dalam nota pembelaan pada persidangan, kedua prajurit TNI tersebut mengaku menyesal dan meminta hakim mempertimbangkan kondisi keluarga. Salah satu terdakwa menyampaikan permohonan sambil menangis, mengaku khawatir dengan masa depan istri dan anaknya jika menjalani hukuman lebih berat. Namun, argumen tersebut mendapatkan respon beragam, baik dari majelis hakim maupun publik.
Fenomena permintaan keringanan hukuman serta vonis ringan ini memicu reaksi dari masyarakat dan penggiat HAM yang menuntut agar proses hukum berjalan transparan, adil, dan tidak melukai rasa keadilan korban dan keluarganya. Publik juga mendorong adanya evaluasi terhadap pemberlakuan pasal yang digunakan dalam tuntutan, sebagai upaya menegakkan hukum secara proporsional.
Sumber :
Nadia Nurhalija, S.H














