DPR dan Pemerintah kembali berulah, kali ini mereka benar-benar tidak sadar bahwa mereka di pilih dan duduk di kursi mewah semata-mata mewakili kepentingan rakyat, mereka lupa membaca teks konstitusi, mereka lupa dengan kesepakatan reformasi konstitusi, bahkan celakanya mereka juga lupa akan tuntutan reformasi utamanya penghapusan doktrin Dwi fungsi ABRI.
Entah apa yang dibaca oleh mereka di gedung megah tersebut, jika pemerintah dan Anggota dewan membaca konstitusi dengan pelan pelan artinya tidak terbur-buru, maka Kecelakaan Legislatif (legislatif Accident) tidak akan terjadi, proses legislasi akan di hormati, partisipasi publik akan didengarkan serta yang terpenting produk ini harus ditolak tanpa argumentasi pembelaan.
Satjipto Rahardjo, Guru kami jauh-jauh hari telah mengingatkan, bahwa UUD adalah perjanjian khidmat (solemn pledge) yang dibuat oleh bangsa Indonesia, sehingga ia lebih merupakan dokumen ruhani dari pada teks hukum, ia tidak kuantitatif tetapi kualitatif, tidak konkret tetapi umum (general).
Legislatif Accident
kecelakaan legislasi (legislatif accident) yaitu proses pembentukan undang-undang yang menyimpang dari ketentuan peraturan perundang-undangan itu sendiri. salah satu cirinya yaitu tidak adanya ruang dialog serta pendekatan diskusi setelah Ruu tersebut menjadi undang-undang, tentu ini adalah penyakit menular dalam proses legislasi. Apabila dibiarkan maka sakraliasai suatu produk hukum akan kehilangan kewibawaanya, seperti yang terjadi pada UU TNI yang telah diujikan ke Mahkamah Konstitusi. Masyarakat harus berani mengatakan produk ini tidak layak disebut hukum yang mengikat karena ia telah cacat sejak dibentuk.
Sangat disayangkan Pemerintah dan DPR hanya membaca UUD dengan pikiran yang sempit, hanya melihat kewenangannya membentuk undang-undang saja, tapi minim kepekaan sosial atas kebijakan yang sedang dibuat. Mereka tidak meletakkan UUD sebagai rantai kebijakan yang harus dibaca holistik serta tidak memahami hak-hak rakyat yang harus di lindungi utamanya masyarakat terdampak. Mereka tidak meletakkan sistem pemerintahan presidensial dalam bingkai pertanggung jawaban moral.
Ciri utama sistem pemerintah presidensial yaitu adanya pemilihan umum untuk memilih anggota legislatif dan Presiden, secara teori ketika daulat rakyat di berikan kepada dua lembaga raksasa tersebut yaitu Presiden dan DPR, maka seketika itu mereka menjadi pesuruh rakyat dalam menentukan kebijakan, bukan malah rakyat menjadi budak mereka. Daulat yang diberikan pada mereka hanya titipan, suatu saat titipan akan diambil kembali manakalah yang dititipkan tidak di urus degan baik, tidak didengar keluhannya, tidak dihiraukan kehendaknya bahkan tidak dibuka pintu dialog bagi mereka yang membutuhkan perbaikan sistem. Jika hal ini tidak dihiraukan, maka reformasi dan revolusi mungkin menjadi jawabannya.
Selanjutnya harus di inggat kembali bahwa salah satu alasan mengapa Konstitusi UUD dirubah yaitu kuasa yang sangat besar pada Presiden serta keterlibatan miletristik dalam pemerintahan, Soeharto mampu menyelamatkan pemerintahan nya padahal sudah dianggap sudah menyimpang dari Pancasila dan UUD. Namun lagi-lagi pemerintahannya sangat kuat dan stabil, hal ini tidak lain adalah campur tangan militeristik yang mencekam dan menakutkan, meletakkan TNI dalam pusaran pemerintah sama dengan membunuh demokrasi secara halus lewat proses legislasi yang diakui secara hukum. Inilah yang sebagian ahli hukum disebut autocratic legalism.
FIlosofi Pemisahan Daulat Rakyat dan Militeristik
Jika dibaca konstitusi UUD maka akan ditemui pada bab pertama pasal pertama yang menyebutkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, sedangkan daulat militer hanya dikhususkan sebagai pertahanan dan keamanan negara. Kenapa pembentuk UUD mendesain seperti itu?
Jawabannya adalah bahwa mereka mengetahui filosofi kelembagaan TNI diperuntukkan untuk menjaga kedaulatan negara (eksternal) dalam bingkai sistem pertahanan dan keamanan yang kuat, oleh karenanya mekanisme recruitment anggota TNI tersebut berbeda dengan jabatan sipil. TNI dibekali dengan sistem komando dan hierarki serta siap diperintah tanpa dialog substansi. Sedangkan Filosofi menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan adalah menghidupkan ruang-ruang dialog, menyehatkan nafas demokrasi, serta yang terpenting adalah silaturahmi pikiran dengan menghadirkan solusi dan memperkuat demokrasi itu sendiri, karena mereka mengetahui bahwa esensi dari demokrasi adalah memberikan ruang kesetaraan bagi setiap orang untuk mengungkapkan pikiran dan hati nuraninya tanpa adanya ketakutan apalagi intimidasi hierarki.
Wahai para penguasa Negari kembali pada amanat konstitusi, jangan biarkan rakyat terganggu pada bulan yang penuh ampunan. Saatnya Pemerintah dan DPR melakukan taubat demokrasi karena mereka adalah hasil produk demokrasi akan tetapi durhaka pada demokrasi. Terakhir, Walaupun sudah banyak teriakan teori yang di lemparkan ke muka mereka, tetap saja mentah bahkan tidak diindahkan. Akan tetapi ikhtiar menyelamatkan bangsa dan negara harus selalu di teriakan, karena kita tidak mengetahui hikmah dan hidayah mana yang akan menggerakkan hati mereka agar menyidangkan kembali UU TNI dengan memperkuat supremasi daulat rakyat dan mengatur dengan jelas dan tegas batasan militeristik dalam mengelola negara ini.
Bahwa untuk kesekian kalinya UU TNI Bukti kecelakaan Legislasi (legislatif Accident) dan pada akhirnya menyebabkan kegagalan dalam proses legislasi. Kami percaya Mahkamah Konstitusi bersama rakyat, karena MK adalah produk demokrasi yang tujuannya menjaga demokrasi.

Mahasiswa Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Konsentrasi Hukum Kenegaraan