Negara yang dibangun atas dasar kesadaran akan dinamika kehidupan yang terus berkembang, niscaya akan menempatkan kehidupan sosial sebagai sumbu utama dalam pembentukan dan pemeliharaan ketertiban umum. Ketertiban ini tidak hanya dimaknai sebagai ketaatan pada hukum positif, melainkan sebagai cerminan kohesi sosial dan keselarasan antara norma hukum dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Dalam konteks ini, konstitusi menjadi titik pangkal yang menentukan arah dan watak penyelenggaraan negara. Ia bukan sekadar norma hukum tertinggi, melainkan fondasi normatif yang mengatur relasi antara negara dan warga negara serta menjamin terlaksananya prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan perlindungan hak asasi manusia.
Konstitusi merupakan hukum dasar tertinggi dalam hierarki norma hukum dan peraturan perundang-undangan suatu negara. Ia menempati posisi paling fundamental karena menjadi sumber legitimasi sekaligus tolok ukur sah tidaknya norma-norma di bawahnya. Seperti yang sering diungkapkan, konstitusi adalah “mata air” yang mengalirkan prinsip-prinsip dasar ke seluruh sistem hukum nasional. Tanpa konstitusi, sistem perundang-undangan akan kehilangan arah, dan penyelenggaraan negara akan terlepas dari koridor yang menjamin keadilan, demokrasi, serta penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Konstitusi, dalam kerangka ketatanegaraan modern, memiliki dua dimensi penting: formil dan materil. Konstitusi dalam arti formil adalah perangkat hukum tertulis yang mengatur struktur kekuasaan negara, mekanisme kerja lembaga negara, serta batasan-batasan kekuasaan agar tidak melampaui prinsip constitutionalism. Sementara itu, konstitusi dalam arti materil mencerminkan nilai-nilai fundamental yang hidup dan berkembang di tengah masyarakat, nilai yang tidak selalu tertulis, namun memiliki daya ikat secara sosial dan moral. Konstitusi materil inilah yang menjadikan hukum bersifat responsif, inklusif, Progresif dan tidak terasing dari realitas sosial.
Di era modern, keberadaan konstitusi tidak cukup hanya sebagai teks normatif yang kaku, tetapi harus mampu menyesuaikan diri dengan perubahan sosial, ekonomi, budaya, dan politik yang terjadi secara dinamis. Sebab itu, konstitusi dipahami sebagai living constitution, yakni konstitusi yang hidup, tumbuh, dan berevolusi bersama masyarakatnya. Dalam kerangka inilah, pengaturan perundang-undangan tidak boleh dimaknai secara legalistik semata. Nilai-nilai sosial dan kearifan lokal harus diakomodasi ke dalam sistem hukum agar tercipta legitimasi substantif, bukan hanya formalitas hukum belaka.
Dengan demikian, ketatanegaraan yang sehat mensyaratkan adanya interaksi yang sinergis antara norma konstitusional dengan realitas kehidupan masyarakat. Konstitusi harus mampu menjadi jembatan antara idealisme hukum dan praksis sosial. Ia harus hadir tidak hanya sebagai dokumen negara, tetapi juga sebagai living agreement yang secara terus-menerus diperbarui berdasarkan kehendak rakyat dan semangat zaman. Tanpa keberanian untuk menyesuaikan diri dengan dinamika masyarakat, konstitusi akan kehilangan rohnya sebagai alat pembebas, pengatur, dan pelindung dalam kehidupan bernegara.
Dalam penalaran yang luas, pemahaman konstitusi tidak dapat dibatasi secara formil semata sebagai teks tertulis seperti Undang-Undang Dasar, melainkan harus dikembangkan ke dalam pengertian materil. Konstitusi dalam arti materil mencakup nilai-nilai, norma, kebiasaan, serta praktik sosial-politik yang tumbuh dan hidup dalam masyarakat. Nilai-nilai yang meskipun tidak selalu tertulis, namun memberikan arah dan substansi terhadap pelaksanaan kekuasaan negara. Dalam pengertian inilah konstitusi menjadi living law, hukum yang hidup dan merespons dinamika sosial.
Pemikiran ini juga disampaikan oleh sejumlah ahli. KC Wheare, misalnya, memandang konstitusi sebagai kerangka dasar pengorganisasian kekuasaan negara yang tidak hanya formal, tetapi harus mencerminkan nilai-nilai masyarakat. Sri Soemantri menyatakan bahwa konstitusi tidak hanya mengatur lembaga negara, tetapi juga memuat jiwa dan semangat bangsa. Bahkan sejak zaman klasik, pemikir seperti Plato dan Aristoteles telah menekankan pentingnya nilai keadilan, keseimbangan, dan kebajikan sebagai inti dari konstitusi yang baik. Bagi Aristoteles, konstitusi bukan sekadar struktur hukum, tetapi juga cara hidup suatu polis negara-kota yang ideal.
Gagasan ini tercermin pula dalam praktik ketatanegaraan negara-negara maju. Amerika Serikat, misalnya, sering kali menafsirkan Konstitusi secara dinamis melalui keputusan Mahkamah Agung yang mempertimbangkan perkembangan sosial dan moral masyarakat. Jepang dan Korea Selatan juga mengintegrasikan nilai-nilai budaya dan sosial ke dalam praktik ketatanegaraan mereka, sehingga hukum tidak tereliminasi dari realitas masyarakat. Bahkan Tiongkok, meskipun memiliki karakteristik sistem politik yang berbeda, tetap memposisikan konstitusi sebagai dasar normatif dalam membentuk legitimasi kekuasaan dan arah pembangunan negara, termasuk melalui pendekatan nilai-nilai sosialisme dan harmoni kolektif.
Dengan demikian, konstitusi dalam arti materil merupakan fondasi penting bagi tegaknya negara hukum yang substantif. Ia menjadi pedoman tidak hanya bagi penyelenggara negara, tetapi juga bagi masyarakat dalam memastikan bahwa pelaksanaan kekuasaan berjalan dalam koridor keadilan dan kepastian hukum. Dalam kerangka inilah constitutionalism yakni semangat untuk menegakkan prinsip-prinsip konstitusi secara konsisten dan berkesinambungan tetap harus terus dijaga. Sebab, negara hukum yang konstitusional tidak hanya mengandalkan teks hukum tertulis, tetapi juga ditopang oleh budaya hukum dan nilai-nilai kehidupan masyarakat yang adil dan beradab.

Pembelajar Ilmu Hukum Tata Negara