Abstrak
Tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak masih sangat sering terjadi, ada banyak faktor yang menyebabkan peristiwa ini. Penelitian ini mengkaji peranan korban dalam terjadinya Tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak dari perspektif victimology theory. Tujuan Penelitian ini ialah untuk menjelaskan bahwa terjadinya tindak korban kejahatan perkosaan, membuat penderitaan yang dialami oleh korban kejahatan perkosaan tidaklah mudah untuk dilupakan oleh korban. Trauma dalam kejadian itu akan selalu diingat seumur hidupnya, Pendekatan masalah yang pakai dalam penelitian ini adalah pendekatan kasus (case approach), pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Pada beberapa kasus, sebagian besar korban perkosaan lebih memilih berdiam diri, pasrah menerima nasib atas penderitaan yang ditanggungnya daripada melaporkan kejadian yang menimpanya ke aparat kepolisian. Angka statistik jumlah perkosaan yang tercatat di Kepolisian, besar kemungkinan adalah angka minimal. Di luar itu, diduga masih banyak kasus-kasus perkosaan lain yang tidak teridentifikasi.
Kata Kunci : Victimology theory, Pemerkosaan, Penegak hukum
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasuk menjamin perlindungan anak, karena anak juga memiliki hak-hak yang termasuk dalam hak asasi manusia. Anak adalah suatu karunia TuhanYang Maha Esa yang dalam dirinya juga terdapat suatu harkat dan martabat yang di milik oleh orang dewasa pada umumnya, maka anak juga harus mendapatkan suatu perlindungan khusus agar kelak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.
Banyaknya kasus mengenai kekerasan terhadap anak yang terjadi di Indonesia dianggap sebagai suatu indikator buruknya kualitas perlindungan anak. Keberadaan anak yang belum mampu untuk hidup mandiri tentunya sangat membutuhkan orang-orang sebagai tempat berlindung bagi anak. Patut diakui bahwa keluarga merupakan lingkungan alami bagi pertumbuhan dan kesejahteraan anak. Perkembangan kepribadian anak secara utuh dan serasi membutuhkan lingkungan keluarga yang bahagia, penuh kasih sayang dan pengertian. Kususnya masalah perlindungan terhadap anak dibawah umur yang menjadi korban pencabulan atau kekerasan seksual bukan persoalan yang mudah untuk praktekkan dalam kenyataannya di kehidupan sehari-hari.Setiap terjadinya suatu kejahatan, dimulai dari kejahatan yang ringan sampai yang berat sudah tentu akan menimbulkan korban dan korbannya tersebut akan mengalami penderitaan, baik yang bersifat materil maupun imateril khususnya dalam kasus pencabualan atau kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur yang dimana seorang anak tidak semestinya mendapatkan perlakuan yang salah tersebut, dikarenakan setiap anak memiliki hak.[1]
Upaya perlindungan terhadap anak perlu secara terus-menerus diupayakan demi tetap terpeliharanya kesejahteraan anak, mengingat anak merupakan salah satu aset berharga bagi kemajuan suatu bangsa dikemudian hari. Kualitas perlindungan terhadap anak hendaknya memiliki derajat atau tingkat yang sama dengan perlindungan terhadap orang-orang yang berusia dewasa, dikarenakan setiap orang mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum (equality before the law).[2] Seperti tujuan pemidanaan yang tercantum dalam Pasal 54 Rancangan KUHP tahun 2008 yaitu:
- Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan penegakan norma hukum demi pengayoman negara dan masyarakat;
- Untuk memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan dan membimbing agar terpidana insyaf dan menjadikannya anggota masyarakat yang berbudi dan berguna;
- Untuk menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa aman dalam masyarakat; dan
- Membebaskan rasa bersalah terpidana (Draft RUU KUHP 2008).
Berdasarkan tujuan pemidanaan di atas pada dasarnya penjatuhan pidana bukan semata-mata sebagai suatu bentuk pembalasan dendam melainkan untuk memberikan bimbingan dan pengayoman kepada terpidana. Dalam menjatuhkan putusan pemidanaan terhadap tindak pidana perkosaan, maka hakim seharusnya juga memperhatikan akibat-akibat yang timbul dari adanya suatu tindak pidana perkosaan baik dari aspek fisik maupun psikis dari korban perkosaan sehingga dalam hal menjatuhkan putusan pemidanaan dapat diperoleh suatu putusan yang dapat memuaskan rasa keadilan bagi korban dan masyarakat.[3]
- Rumusan Masalah
- Bagaimana bentuk dan implementassi victimology theory terhadap korban tindak pidana pemerkosaan?
- Bagaimana peran penegak hukum dalam mengatasi korban tindak pidana pemerkosaan perspektif victimology theory?
- Bagaiman upaya Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Menjadi Korban Pelecehan Seksual oleh Anggota Kepolisian?
- Metode Penelitian
Dalam penulisan, dapat dikatakan sebagai suatu penelitian jika dilakuakn dengan metodologi yang benar. Penelitian ini menggunakan metode penelitian Yuridis Normatif yaitu dengan data sekunder yang diantaranya terdapat dari buku, jurnal dan data pustaka lainnya.
Sementara itu untuk tehnik Analisa data yang digunaka dalam penelitian ini adalah desktiptif analisis normatif yaitu, pemeparan dan penggambaran peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan pembentukan hukum yang dianalisis berdasarkan teoriteori hukum.
PEMBAHASAN
- Victimology Theory
- Definisi Viktimology theory
Viktimologi berasal dari kata-kata Latin Victima yang berarti korban dan Logos yang berarti pengetahuan ilmiah atau studi (Arif Gosita, 1993:40), sehingga Secara terminologis Viktimologi dapat diartikan sebagai suatu bidang ilmu pengetahuan yang mengakaji semua aspek yang berkaitan dengan korban.[4]
Korban akibat perbuatan manusia dapat menimbulkan perbuatan kriminal (misalnya korban kejahatan perkosaan, korban tindak pidana politik) dan yang bersifat non-kriminal (perbuatan perdata) misalnya korban ganti rugi tanah, korban dalam bidang administratif dan
Perkembangan viktimologi hingga pada keadaan seperti sekarang tentunya tidak terjadi dengan sendirinya, namun telah mengalami berbagai perkembangan yang dapat dibagi dalam tiga fase. Pada tahap pertama, viktimologi hanya mempelajari korban tindak pidana saja (penal or special victimology). Sementara itu, pada fase kedua, viktimologi tidak hanya mengkaji masalah korban tindak pidana, tetapi juga meliputi korban kecelakaan (general victimology). Fase ketiga, viktimologi sudah berkembang lebih luas lagi, yaitu mengkaji permasalahan korban karena penyalahgunaan kekuasaan dan hak-hak asasi manusia (new victimology)(Made Darma Weda, 1995:200).
Dari pengertian di atas, tampak jelas bahwa “yang menjadi objek pengkajian dari viktimologi, di antaranya pihak-pihak mana saja yang terlibat atau mempengaruhi terjadinya tindak pidana, bagaimanakah respons terhadap suatu viktimisasi kriminal, faktor penyebab terjadinya viktimisasi kriminal, bagaimanakah Jupaya penanggulangannya, dan sebagainya” (Didik M. Arief Mansyur, 2006:36).[5]
- Faktor-Faktor Penyebab Anak Menjadi Korban Kekerasan Seksual
Ruang lingkup viktimisasi mencakup mengkaji peran korban dalam kejahatan, hubungan antara pelaku dan korban, serta kerentanan dan viktimisasi korban dalam sistem peradilan pidana. Tentu saja manfaat penutupan umum antara lain melindungi hak-hak orang yang meninggal, memberikan perlindungan hukum kepada yang berduka, dan mencegah terulangnya kejadian serupa. Menurut Deklarasi Hak-Hak Dasar Korban Kejahatan dan Kekerasan, korban adalah individu atau kelompok.Mereka mungkin menderita kerugian seperti cedera fisik, cedera mental, tekanan emosional, kerugian finansial, atau pelanggaran terhadap hak-hak dasar mereka sebagai akibat dari tindakan atau kelalaian.
Ada tiga cara untuk mempelajari pengkambinghitaman: pengkambinghitaman positivis, pengkambinghitaman radikal, dan pengkambinghitaman kritis. Pengertian viktimologi positivis adalah suatu pendekatan yang menekankan hubungan antara korban kejahatan dan menyoroti kontribusi yang dapat diberikan oleh korban terhadap situasinya. Korban digolongkan menjadi 5(lima) jenis berdasarkan tingkat kejahatannya antara lain:
a.) korban tidak bersalah;
b.) korban karena salah sendiri;
c.) sama-sama salah;
d.) korban lebih salah dari pelaku; dan
e.) korban murni bersalah.
Selain itu, definisi kritis mengacu pada pendekatan yang mempertimbangkan kerentanan kelompok tertentu sebagai korban kejahatan akibat kesenjangan. Dehumanisasi merupakan pendekatan yang menekankan pada proses pembunuhan individu melalui pelabelan dan pelabelan. Dalam persoalan kekerasan seks terhadap anak, faktor-faktor dari pihak korban dapat menyebabkan kejahatan ini terjadi. Peran ini harus diperhatikan oleh pihak berwenang dan pembuat kebijakan untuk mencegah kekerasan seksual terhadap anak di masa depan[6]
- bentuk dan implementassi victimology theory terhadap korban tindak pidana pemerkosaan
Viktimologi mencoba memberi pemahaman, mencerahkan permasalahan kejahatan dengan mempelajari para korban kejahatan, proses viktimisasi dan akibat-akibatnya dalam rangka menciptakan kebijaksanaan dan tindakan pencegahan serta menekan kejahatan secara lebih bertanggungjawab.
Viktimologi memberikan pengertian yang lebih baik tentang korban kejahatan sebagai hasil perbuatan manusia yang menimbulkan penderitaan-penderitaan mental, fisik dan sosial. Tujuannya adalah tidak untuk menyanjung-nyanjung para korban. Penjelasan ini adalah penting dalam rangka mengusahakan kegiatan-kegiatan dalam mencegah kejahatan berbagai viktimisasi, mempertahankan keadilan sosial dan langsung terlibat dalam suatu viktimisasi. Khususnya, dalam bidang informasi dan pembinaan untuk tidak menjadi korban kejahatan struktural dan nonstruktural. Viktimologi mencoba mencapai hasil-hasil praktis. Ini berarti ingin menyelamatkan manusia dari dan yang berada di dalam bahaya. Viktimologi juga memberikan perhatian terhadap permasalahan viktimisasi yang tidak langsung.
Viktimologi yang beriklusif wawasan hak-hak asasi manusia (new victimology) yang dikembangkan oleh Elias yang kemudian memperluas wawasan viktimologi sehingga mencakup penderitaan manusia adalah Separovic. New Viktimology bertujuan untuk:
- Menganalisis pelbagai aspek yang berkaitan dengan korban;
- Berusaha untuk memberikan penjelasan sebab musabab terjadinya viktimisasi; dan
- Mengembangkan sistem tindakan guna mengurangi penderitaan manusia.
Viktimologi, berasal dari bahasa Latin victima yang berarti korban dan logos yang berarti ilmu. Secara terminologis viktimologi berarti suatu studi yang mempelajari tentang korban, penyebab timbulnya korban dan akibat-akibat penimbulan korban yang merupakan masalah manusia sebagai kenyataan sosial.[7]
Peranan anak sebagai korban pemerkosaan terhadap terjadi tindak pidana pemerkosaan dalam teori viktimologi yang melatar belakangi terjadinya Pemerkosaan yang dilakukan terhadap Anak, yaitu :
1) Situated Transaction Model: dalam hubungan interpersonal, kejahatan dan viktimisasi pada dasarnya adalah kontes karakter yang tereskalasi yang artinya dalam hubungan antar individu, suatu kejahatan terjadi berawal dari konflik karakter, mulanya dari konflik komunikasi yang meningkat menjadi konflik fisik yang fatal.
2) Seductive Motivation / Victim Pretipitating Rape (korban memberi motivasi)7 Posisi korban yang secara tidak langsung turut ambil bagian terjadinya perkosaan. Artinya, ada sikap, perilaku, cara menempatkan diri, cara bergaul dan hadir pada suasana yang menurut pandangan umum tidak lazim yang dapat mendorong emosi dan nafsu laki-laki untuk berbuat tidak senonoh dan memperkosanya. Korban telah menempatkan dirinya sebagai pelaku secara tidak langsung, karena ada yang diperbuatnya telah mendorong terjadinya kriminalitas.
3) Victim Precipitation 8 Dalam hal ini perilaku-perilaku si korban, disadari atau tidak, merangsang timbulnya perkosaan, sebagai contoh, seorang wanita berjalan sendiri ditempat yang sepi, cara korban berpakaian yang dapat merangsang seseorang untuk melakukan kejahatan perkosaan
- peran penegak hukum dalam mengatasi korban tindak pidana pemerkosaan perspektif victimology theory
Dibutuhkan suatu bentuk komitmen dan perhatian khusus dari pemerintah pada tahapan perkembangan anak sebagai generasi bangsa. Terdapat bentuk komitmen secara yuridis pada negara yang berguna melindungi setiap warga negaranya termuat pada alenia ke – I, selanjutnya ditekankan kembali pada Bab X A tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Bahwasanya perlindungan hukum bagi anak termuat pada Pasal 28 B ayat (2) UUD 1945 yang menjelaskan “Bahwasanya setiap anak harus wajib terhadap kelangsungan hidup mereka, harus tumbuh serta berkembang terhadap perlindungan pada kekerasan serta diskriminasi”. Selain itu terdapat beberapa hak atas anak, yakni:
- Adanya hak hidup terhadap mempertahankan hidup serta kehidupannya (Pasal 28 A UUD 1945).
- Terdapat hak pada pengakuan, serta jaminan, adanya hak perlindungan serta kepastian pada hukum secara adil terhadap pengakuan yang sama dihadapan hukum (Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945).
- Adanya hak guna dalam perlindungan secara pribadi, hak pada kehormatan serta hak atas harta benda yang berada di kekuasaannya serta adanya hak atas rasa yang aman terhadan suatu ancaman saat ketakutan dalam perbuatan atau tidak berbuat yang berkaitan dengan hak asasi (Pasal 28G ayat (1) UUD 1945).
- Terdapat hak terhadap kebebasan pada penyiksaan serta terhadap perlakuan yang dapat merendahkan suatu derajat pada diri manusia (Pasal 28 G ayat (2) UUD 1945).21
Adanya peraturan perundang–undangan bagi perlindungan anak merupakan bentuk nyata dari adanya keadilan pada suatu masyarakat. Maka dari itu bentuk perlindungan anak diwajibkan pada setiap bidang yang ada pada kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Kegiatan terhadap perlindungan anak bisa membawa suatu faktor hukum yang baik yang berupa tertulis maupun yang tidak tertulis. Sedangkan pada Kitab Undang–Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada Pasal 1 Ayat (26) menyebutkan bahwasannya “Seorang saksi merupakan sesorang yang sangat penting bagi penyidikan, penuntutan, serta sangat penting terhadap peradilan yang membahas tentang suatu perkara pidana”. Pada UU No. 26 Tahun 2000 terhadap Pengadilan Hak Asasi Manusia sudah memberikan lanjutan terhadap suatu bentuk perlindungan terhadap saksi. Sedangkan UU No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak menjelaskan secara rinci terhadap bentuk perlindungan pada anak yang berkedudukan sebagai seorang saksi pada saat proses peradilan. Pada pasal 64 ayat (3) butir (c) serta (3d) yang menekankan “bentuk pemberian atas jaminan yang berupa keselamatan terhadap saksi korban serta saksi ahli, baik secara fisik, mental serta secara sosial” serta dalam “bentuk pemberian yang berupa aksebilitas guna mendapatkan sebuah informasi sebagai upaya mengenai bentuk perkembangan terhadap perkara.”[8]
- upaya Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Menjadi Korban Pelecehan Seksual oleh Anggota Kepolisian
Upaya perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban pelecehan seksual oleh Anggota Kepolisian adalah dalam konteks perlindungan terhadap korban kejahatan, adanya upaya preventif maupun represif yang dilakukan. Upaya preventif ditekankan pada mengurangi kesempatan untuk dilakukannya tindak kekerasan seksual.
Dalam hal ini mengarah pada pencegahan dari segi lingkungan keluarga yang dimana menerapkan program 18-21 yang menitik beratkan pada pendampingan orang tua terhadap anak pukul 18.00 hingga pukul 21.00. Jika dilihat sekilas program 18-21 ini tidak memiliki keistimewaan namun memiliki manfaat berkelanjutan dalam pembentukan karakter anak. Upaya represif ialah suatu dasar untuk menindak lanjuti pelaku kekerasan dengan berpedoman pada peraturan yang berkaitan.
Dengan penerapan peraturan dan sanksi terhadap pelaku diharapkan agar pelaku memiliki efek jera dan tidak mengulangi kembali perbuatannya serta masyarakat lainnya tidak memiliki niat untuk melakukan hal yang sama. Proses pemeriksaan terhadap pelaku kejahatan, dari proses penyelidikan, penyidikan hingga pembuktian di persidangan oleh Hakim bahwa pada kasus tersebut Terdakwa di vonis dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) Tahun pada tingkat pertama yaitu pada Pengadilan Negeri Menggala dan pada tingkat kasasi Terdakwa yaitu Mahkamah Agung di vonis dengan pidana penjara selama 8 (delapan) Tahun dan Terdakwa juga sudah diberhentikan secara tidak hormat dari instansi Kepolisian dan telah menjalankan sidang kode etik Kepolisian.[9]
PENUTUP
Kesimpulan
Dari analisis penulis dari berbagai arah teori Viktimologi dalam peranan korban pemerkosaan menspesifikasikan. Pelaku kejahatan seksual adalah kejahatan serius yang kejam. Anak sebagai korban kejahatan seksual terdampak luar biasa, terutama terhadap perkembangan psikologinya di masa yang akan datang, karena itu tindakan kebiri kimia merupakan hukuman yang setimpal. Sebab, selain pelaku tidak bisa lagi mengulangi perbuatannya, pada saat yang sama ini sekaligus sebagai general preventionbagi orang lain agar tidak melakukan kejahatan yang sama. Terhadap pelaku tindak kejahatan seksual terhadap anak perlu dikenakan tindakan yang serius, lebih dari tindakan kepada tindak kejahatan umum lainnya, karena dampak yang ditimbulkan bagi korban juga sangat serius
Dalam formulasi hukum untuk memberikan perubahan efek jera pelaku pemerkosaan terhadap anak secara signifikan, bahkan tak jarang mereka mengulangi perbuatannya yang sama secara berulang sehingga hal tersebut menjadi sorotan publik. Masyarakat beranggapan bahwa hukuman pemenjaraan yang diterapkan masih terlalu ringan dan mudah sehingga tidak memberi sedikitpun efek jera yang membuat mereka menakuti suatu aturan hukum yang ada dan bahkan menimbulkan suatu dorongan baru berupa keberanian terhadap mereka para pelaku pemerkosaan terhadap anak untuk tetap mengulangi perbuatannya.
Terjadinya tindak korban kejahatan perkosaan, membuat penderitaan yang dialami oleh korban kejahatan perkosaan tidaklah mudah untuk dilupakan oleh korban. Dalam khasanah keilmuan yang menyangkut masalah korban kejahatan dan peranannya dalam konteks terjadinya kejahatan dibahas dalam viktimologi yang secara umum bertujuan untuk menganalisis berbagai aspek yang berkaitan dengan korban, berusaha untuk memberikan penjelasan terhadap terjadinya kejahatan, dan pengembangan sistem tindakan guna mengurangi penderitaan kejahatan. Sejak awal lahirnya hukum pidana, fokus subjek yang paling banyak disoroti adalah pelaku. Padahal dari suatu kejahatan, kerugian yang paling besar diderita adalah si korban kejahatan tersebut. Perhatian terhadap korban sebagai akibat tindak pidana, dapat dikaji secara khusus melalui viktimologi.
Perkembangan saat ini menunjukkan adanya perkembangan viktimologi dalam mempelajari pemasalahan korban; Pada mulanya pengkajian viktimologi hanya difokuskan kepada korban kejahatan, sedangkan pada fase kedua sudah agak meluas kajian viktimologi yaitu terhadap korban kecelakaan, dan pada fase ketiga kajian viktimologi sudah berkembang, yaitu sudah sampai pada pengkajian tentang permasalahan korban yang berkaitan dengan penyalahgunaan kekuasaan dan hak asasi manusia, atau dengan kata lain viktimologi telah mempelajari permasalahan korban seluas-luasnya.
Daftar Pustaka
Mukidi, Nelvitia purba, Ismed Batubara, Yeltriana, Perlindungan Hukum Pada Anak Korban Tindak Pidana Pencabulan, Serang desember 2022
Abdurrahman Nyerupa, PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG MENJADI KORBAN PELECEHAN SEKSUAL OLEH ANGGOTA KEPOLISIAN, 10 Januari 2023
Cahaya Suratin, Erika Zakiyah, Muhammad Sholahudin Al Ayyubi, Virancya Indah Permatasari, Zulfi Hardiyanti Rochmah, HUKUMAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN PADA ANAK DI BAWAH UMUR DAN PERLINDUNGAN KORBAN, Ma’mal: Jurnal Laboratorium Syariah dan Hukum Volume 03, Nomor 02, April 2022
Alfies Sihombing, Yeni Nuraeni, KORBAN PERKOSAAN DITINJAU DARI VIKTIMOLOGI DALAM TINDAK PIDANA KEJAHATAN PERKOSAAN, PAJOUL (Pakuan Justice journal Of Law), Volume 03, Nomor 02, Juli-Desember 2022, Halaman 11-21.
Ahmad Yunus, PERAN KORBAN ANAK DALAM TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL (PERSPEKTIF HUKUM, KRIMINOLOGI, VIKTIMOLOGI), HUKMY : Jurnal Hukum Volume 4, No. 2, Oktober 2024
Agung Wahyu Pamungkas, PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN, 3 Februari 2010
[1] Mukidi, Nelvitia purba, Ismed Batubara, Yeltriana, Perlindungan Hukum Pada Anak Korban Tindak Pidana Pencabulan, Serang desember 2022
[2] Cahaya Suratin, Erika Zakiyah, Muhammad Sholahudin Al Ayyubi, Virancya Indah Permatasari, Zulfi Hardiyanti Rochmah, HUKUMAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN PADA ANAK DI BAWAH UMUR DAN PERLINDUNGAN KORBAN, Ma’mal: Jurnal Laboratorium Syariah dan Hukum Volume 03, Nomor 02, April 2022
[3] Alfies Sihombing, Yeni Nuraeni, KORBAN PERKOSAAN DITINJAU DARI VIKTIMOLOGI DALAM TINDAK PIDANA KEJAHATAN PERKOSAAN, PAJOUL (Pakuan Justice journal Of Law), Volume 03, Nomor 02, Juli-Desember 2022, Halaman 11-21.
[4] Alfies Sihombing, Yeni Nuraeni, KORBAN PERKOSAAN DITINJAU DARI VIKTIMOLOGI DALAM TINDAK PIDANA KEJAHATAN PERKOSAAN, PAJOUL (Pakuan Justice journal Of Law), Volume 03, Nomor 02, Juli-Desember 2022, Halaman 11-21.
[5] Agung Wahyu Pamungkas, PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN, 3 Februari 2010
[6] Ahmad Yunus, PERAN KORBAN ANAK DALAM TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL (PERSPEKTIF HUKUM, KRIMINOLOGI, VIKTIMOLOGI), HUKMY : Jurnal Hukum Volume 4, No. 2, Oktober 2024
[7] Alfies Sihombing, Yeni Nuraeni, KORBAN PERKOSAAN DITINJAU DARI VIKTIMOLOGI DALAM TINDAK PIDANA KEJAHATAN PERKOSAAN, PAJOUL (Pakuan Justice journal Of Law), Volume 03, Nomor 02, Juli-Desember 2022, Halaman 11-21.
[8] Cahaya Suratin, Erika Zakiyah, Muhammad Sholahudin Al Ayyubi, Virancya Indah Permatasari, Zulfi Hardiyanti Rochmah, HUKUMAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN PADA ANAK DI BAWAH UMUR DAN PERLINDUNGAN KORBAN, Ma’mal: Jurnal Laboratorium Syariah dan Hukum Volume 03, Nomor 02, April 2022
[9] Abdurrahman Nyerupa, PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG MENJADI KORBAN PELECEHAN SEKSUAL OLEH ANGGOTA KEPOLISIAN, 10 Januari 2023