Pernyataan Menteri Hukum Soal Denda Damai untuk Koruptor Memicu Perdebatan di Masyarakat dan Pakar Hukum

Author PhotoZean Via Aulia Hakim
30 Dec 2024
IMG_8074

Pernyataan Menteri Hukum dan Kejaksaan Agung, Supratman Andi Agtas, mengenai kemungkinan pengampunan koruptor melalui denda damai telah memicu perdebatan yang signifikan di kalangan masyarakat dan pakar hukum. Dalam konteks ini, denda damai diusulkan sebagai mekanisme penghentian perkara di luar pengadilan, yang memungkinkan pelaku untuk membayar denda yang disetujui oleh Jaksa Agung. Namun, hal ini menimbulkan pertanyaan tentang keadilan dan efektivitas penegakan hukum di Indonesia.

Menteri Supratman menjelaskan bahwa denda damai dapat digunakan untuk menangani tindak pidana yang menyebabkan kerugian negara, sesuai dengan Undang-Undang Kejaksaan yang baru. Ia mengklaim bahwa pengampunan tidak harus melalui presiden, melainkan dapat dilakukan oleh Jaksa Agung. Namun, pandangan ini langsung ditentang oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, yang menegaskan bahwa denda damai tidak berlaku untuk kasus korupsi.

Dalam pandangan Harli, denda damai hanya dapat diterapkan pada tindak pidana ekonomi sesuai dengan Pasal 35 Undang-Undang No. 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan. Ia menekankan bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa yang memerlukan penanganan tegas dan tidak bisa diselesaikan dengan cara yang dianggap lebih ringan seperti denda damai. Hal ini sejalan dengan pendapat pakar hukum pidana yang menyatakan bahwa korupsi harus dihukum berat untuk memberikan efek jera.

Kritik terhadap wacana denda damai juga datang dari berbagai kalangan masyarakat sipil dan aktivis anti-korupsi. Mereka berargumen bahwa penerapan denda damai akan menciptakan ketidakadilan dalam sistem hukum, di mana pelaku korupsi kaya dapat membeli kebebasan mereka sementara rakyat kecil tetap menghadapi hukuman berat. Hal ini berpotensi memperburuk persepsi publik terhadap penegakan hukum di Indonesia sebagai tajam ke bawah dan tumpul ke atas.

Lebih lanjut, gagasan ini memunculkan kekhawatiran tentang potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penegak hukum. Dalam konteks sistem hukum yang belum sepenuhnya bersih dari korupsi, mekanisme denda damai bisa menjadi celah bagi negosiasi gelap antara pelaku korupsi dan penegak hukum. Ini menimbulkan pertanyaan serius tentang integritas dan transparansi dalam proses hukum.

Sementara itu, pemerintah berfokus pada pemulihan aset sebagai bagian dari penanganan kasus korupsi. Supratman menekankan pentingnya tidak hanya menghukum pelaku tetapi juga memastikan bahwa aset yang dicuri dapat dikembalikan ke negara. Namun, pendekatan ini harus sejalan dengan prinsip keadilan dan tidak mengorbankan integritas sistem hukum.

Dalam konteks internasional, banyak negara telah menerapkan pendekatan tegas terhadap korupsi dengan mengedepankan hukuman penjara dan pemulihan aset tanpa memberikan opsi ringan seperti denda damai. Pengalaman tersebut seharusnya menjadi pelajaran bagi Indonesia dalam merumuskan kebijakan anti-korupsi yang efektif dan adil.

Akhirnya, wacana mengenai denda damai untuk koruptor mencerminkan tantangan besar dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Diperlukan dialog terbuka antara pemerintah, masyarakat sipil, dan akademisi untuk mencapai solusi yang tidak hanya pragmatis tetapi juga berkeadilan. Penegakan hukum harus tetap menjadi prioritas utama dalam menjaga integritas negara dan kepercayaan publik terhadap sistem hukum.

Artikel Terkait

Rekomendasi