Sidang permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh Jessica Kumala Wongso, mantan terpidana dalam kasus pembunuhan berencana, telah dimulai. Pada Selasa (29/10), di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Jessica diwakili oleh pengacaranya yang membacakan permohonan tersebut di hadapan majelis hakim. Permohonan PK ini diajukan berdasarkan penemuan bukti baru, atau yang dikenal sebagai novum, oleh seorang individu bernama Helmi Bostam. Dalam sidang tersebut, Helmi juga diambil sumpah untuk memberikan keterangan.
Ketua majelis hakim, Zulkifli Atjo, memandu proses pengambilan sumpah dengan menanyakan kepada Helmi tentang penemuan novum yang dimaksud. Helmi menjelaskan bahwa ia menemukan potongan video dari kamera pengawas (CCTV) saat menyaksikan sebuah diskusi di saluran YouTube. Ia menyatakan, “Saya menemukan informasi saat melihat di YouTube tentang pembicaraan antara Karni Ilyas dan Darmawan Salihin, dan dari situ saya tahu pengacara Jessica akan mengajukan PK.”
Pengacara Jessica, Sordame Purba, menambahkan bahwa meskipun rekaman CCTV tersebut pernah diajukan dalam persidangan sebelumnya, potongan video yang sekarang dianggap sebagai novum tidak ditemukan pada saat itu. Ia mengemukakan, “Kami telah membela diri dengan menyatakan bahwa rekaman CCTV yang ditampilkan di persidangan telah dipotong, namun kami tidak memiliki bukti potongan video tersebut sehingga hakim tidak mengindahkannya.” Sordame menegaskan bahwa sekarang mereka telah menemukan potongan yang dapat membuktikan bahwa rekaman tersebut tidak utuh, yang dapat menyebabkan kesesatan dalam penilaian kasus ini.
Sordame melanjutkan penjelasannya dengan merinci bahwa novum tersebut tersimpan dalam sebuah flashdisk atau CD yang berasal dari TV One, yang berisi tayangan wawancara antara Karni Ilyas dan ayah Mirna, Darmawan Salihin, pada tanggal 7 Oktober 2023. Ia menekankan bahwa dalam wawancara tersebut, Darmawan mengakui keberadaan rekaman CCTV dari restoran Olivier yang selama ini ia simpan dan belum pernah ditampilkan di persidangan.
Sementara itu, pengacara Jessica lainnya, Andra Reinhard Pasaribu, berargumen bahwa penyitaan rekaman CCTV tersebut tidak sah, yang berarti putusan pengadilan seharusnya dibatalkan demi hukum. Ia menjelaskan, “Putusan dari pengadilan tingkat pertama hingga peninjauan kembali dalam perkara ini harus dibatalkan karena didasarkan pada rekaman CCTV yang tidak sah sebagai alat bukti.” Reinhard berpendapat bahwa baik majelis hakim maupun pihak-pihak yang terlibat dalam peradilan telah melakukan kesalahan nyata dengan memberikan pertimbangan hukum yang berlandaskan rekaman CCTV yang diduga telah dimanipulasi.
Di sisi lain, Jaksa Penuntut Umum (JPU), Sandy Handika, menyatakan bahwa Jessica tampaknya memanfaatkan film dokumenter berjudul ‘Ice Cold: Murder, Coffee and Jessica Wongso’ untuk mendapatkan simpati publik. Jaksa mengamati bahwa ada kecenderungan dari masyarakat yang merasa inferior terhadap produk luar negeri, seperti Netflix, untuk menganggap dokumenter tersebut lebih kredibel dibandingkan putusan hukum di Indonesia. “Fakta-fakta dalam perkara ini telah diuji dan terbukti di berbagai tingkat pengadilan, mulai dari pengadilan negeri hingga Mahkamah Agung (MA) melalui proses kasasi dan dua kali PK,” tegas jaksa.
Jaksa juga mencatat bahwa berbagai ahli dari disiplin ilmu yang berbeda telah dihadirkan untuk memberikan analisis dan pengetahuan mereka terkait perkara ini. Meskipun demikian, ia berpendapat bahwa pemohon PK dan tim hukumnya terus berusaha memutarbalikkan fakta dengan menyebarkan narasi yang tidak benar, seolah-olah untuk memancing simpati dan memengaruhi persepsi publik. Dengan tegas, jaksa meminta majelis hakim untuk menolak permohonan PK ketiga yang diajukan oleh Jessica.