Menyelami Psikologi Kriminal dalam Hukum Indonesia: Antara Pertanggungjawaban dan Keadilan

Ilustrasi (Sumber: https://www.kompasiana.com/aidhilpratama7463/677a66bfed641503b17156f2/bantuan-hukum-gratis-jembatan-akses-keadilan).
Ilustrasi (Sumber: https://www.kompasiana.com/aidhilpratama7463/677a66bfed641503b17156f2/bantuan-hukum-gratis-jembatan-akses-keadilan).

Terjadinya sebuah kejahatan bukan hanya persoalan melanggar hukum semata, tetapi juga cerminan dari kompleksitas manusia. Tidak semua pelaku tindak pidana bertindak dengan kondisi mental yang sehat atau motif yang sederhana saja. Karena itu, hukum tidak bisa hanya menilai dari adanya akibat terjadinya perbuatan, melainkan juga perlu menyelami keadaan psikis/psikologis pelakunya. Di sinilah psikologi kriminal mengambil peran penting sebagai jembatan antara perilaku manusia dan aturan hukum.

Dalam konteks Indonesia, keterkaitan hukum pidana dengan aspek psikologis telah mendapatkan landasan yang kuat. Pasal 184 ayat (1) KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981) secara tegas mengakui bahwa keterangan ahli, termasuk psikolog forensik, merupakan salah satu alat bukti yang sah di persidangan. Artinya, penilaian psikolog dapat menentukan arah perkara pidana, baik untuk memastikan motif pelaku maupun kondisi mentalnya.

Lebih jauh, Pasal 44 KUHP memberi pengaturan penting: seseorang yang melakukan tindak pidana dalam keadaan jiwa terganggu tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Hakim dalam hal ini berwenang memutuskan agar pelaku ditempatkan di rumah sakit jiwa, bukan di lembaga pemasyarakatan. Aturan ini menjadi bukti bahwa hukum pidana tidak menutup mata terhadap kondisi kejiwaan pelaku.

Selain itu, regulasi lain juga memperkuat kedudukan psikologi kriminal dalam praktik hukum:

UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, Pasal 14 ayat (1) huruf (h), memberikan kewenangan bagi kepolisian untuk menggunakan ilmu psikologi, termasuk psikologi forensik, dalam menjalankan tugas penyidikan.

UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) menekankan perlunya pendekatan psikologis ketika anak berhadapan dengan hukum. Anak sebagai pelaku tindak pidana tidak dapat diperlakukan sama dengan orang dewasa, melainkan harus memperhatikan perkembangan mental dan emosinya.

UU No. 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan menegaskan bahwa tujuan pidana bukan lagi sekadar pembalasan, melainkan pembinaan, rehabilitasi, dan reintegrasi sosial. Peran psikolog di lembaga pemasyarakatan menjadi kunci dalam mengurangi risiko residivisme serta membantu narapidana kembali ke masyarakat.

Dengan dasar hukum tersebut, psikologi kriminal tidak hanya berfungsi pada tahap penyidikan, tetapi juga sepanjang proses peradilan pidana. Pada tahap penyidikan, psikolog dapat melakukan asesmen terhadap tersangka melalui wawancara, tes kepribadian, hingga profiling untuk membantu aparat memahami motif kejahatan. Di tahap persidangan, keterangan ahli psikologi dapat memperkuat keyakinan hakim dalam menilai apakah pelaku bertindak dengan kesadaran penuh atau tidak. Sedangkan dalam tahap pemasyarakatan, psikolog membantu menyusun program rehabilitasi yang sesuai dengan kondisi mental pelaku.

Meski demikian, implementasi regulasi ini masih menghadapi sejumlah tantangan. Jumlah psikolog forensik di Indonesia masih terbatas, sehingga tidak semua kasus mendapat analisis mendalam. Di sisi lain, aparat hukum juga belum sepenuhnya memahami metode ilmiah psikologi, sehingga pendekatan penyidikan masih sering mengandalkan paksaan. Padahal, pendekatan psikologis lebih mampu menggali motif dan kondisi mental pelaku tanpa melanggar hak asasi.

Integrasi psikologi kriminal dalam hukum pidana pada akhirnya bertujuan menghadirkan keadilan yang lebih holistik. Hukum tidak hanya berfungsi menghukum, tetapi juga memberi perlindungan bagi korban, kesempatan rehabilitasi bagi pelaku, dan rasa aman bagi masyarakat. Dengan memahami manusia secara utuh melalui pendekatan hukum dan psikologi, sistem peradilan dapat berjalan lebih manusiawi dan proporsional.

 

Dasar Hukum Terkait

KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981) Pasal 184 ayat (1) – keterangan ahli sebagai alat bukti.

KUHP Pasal 44 – pengecualian pidana bagi pelaku dengan gangguan jiwa.

UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, Pasal 14 ayat (1) huruf (h).

UU No. 11 Tahun 2012 tentang SPPA.

UU No. 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan.

Artikel Terkait

Rekomendasi