Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus memperkuat fungsi pencegahan korupsi di sektor Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan melakukan identifikasi risiko korupsi berdasarkan pendekatan corruption risk assessment (CRA) terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN.
Pelaksana Tugas Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK, Aminudin, dalam keterangan tertulis resmi yang dikutip pada Jumat, 5 September 2025, menjelaskan bahwa KPK telah melakukan evaluasi mendalam terhadap sejumlah pasal dan ketentuan dalam UU BUMN terbaru yang berpotensi menjadi titik rawan korupsi.
Aminudin menyebutkan bahwa analisis CRA yang dilakukan KPK mengidentifikasi beberapa masalah struktural yang berpotensi melonggarkan pengawasan dan memunculkan risiko korupsi serius, termasuk pembagian tugas antara Menteri BUMN dan Badan Pelaksana yang belum cukup jelas dalam UU tersebut.
Selain itu, kewenangan pemeriksaan Menteri BUMN terhadap BUMN menurut Aminudin dianggap belum didukung oleh dasar hukum yang kuat, sehingga berpotensi menimbulkan praktik diskresi berlebihan yang bisa disalahgunakan.
Salah satu fokus kritis lainnya adalah terkait pemberian pinjaman dan agunan aset BUMN yang membutuhkan persetujuan Presiden, yang menurut KPK berisiko menjadi jalan untuk penyalahgunaan kewenangan tanpa pengawasan ketat.
Aminudin juga menyoroti potensi besar konflik kepentingan, khususnya dalam jabatan Dewan Pengawas BUMN, yang belum memiliki prosedur pembelaan diri yang jelas untuk direksi dan komisaris dalam menghadapi tuduhan pelanggaran.
Selanjutnya, KPK mewaspadai kurangnya transparansi dalam pengaturan sumber modal tambahan dari luar BUMN, yang dapat membuka ruang bagi praktik korupsi dan penggelapan aset negara.
Pernyataan Aminudin menegaskan bahwa definisi penyelenggara negara dalam UU BUMN yang baru tidak sejalan dan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), sehingga memicu perdebatan tentang ruang lingkup pengawasan KPK.
Meskipun demikian, KPK tetap berkomitmen menjalankan fungsi pengawasan dan penindakan korupsi, khususnya bila ada kerugian negara yang timbul akibat penyalahgunaan kewenangan dalam BUMN, berdasarkan Surat Edaran internal yang selaras dengan UU Tipikor.
Surat Edaran (SE) Nomor 12 Tahun 2025 menyatakan bahwa kerugian keuangan BUMN dan Badan Pengelola Investasi Daya Anugrah Nusantara (BPI Danantara) tetap harus dianggap sebagai kerugian negara dan menjadi ranah kewenangan KPK untuk ditindaklanjuti.
KPK juga memperkuat upaya pencegahan dengan menyiapkan pedoman, sosialisasi, dan pelatihan anti-korupsi, serta mendorong pengembangan mekanisme whistleblowing system agar pelaporan pelanggaran bisa diproses dengan transparan dan aman.
Pendekatan corruption risk assessment diarahkan agar KPK mampu mengidentifikasi risiko korupsi secara sistematis dan melakukan mitigasi dini sebelum perbuatan korupsi terjadi.
Aminudin menambahkan bahwa KPK menggandeng lembaga pengawas internal BUMN dan penegak hukum lain untuk memperkuat koordinasi guna menjaga tata kelola BUMN tetap sehat dan berintegritas.
Selain itu, KPK juga memaksimalkan pemanfaatan teknologi dan analitik prediktif dalam mengawasi transaksi dan aktivitas rawan korupsi untuk mempercepat proses investigasi dan pencegahan.
Menurut Aminudin, penerapan prinsip-prinsip good corporate governance harus menjadi fondasi dalam pengelolaan BUMN, termasuk prinsip transparansi, akuntabilitas, dan integritas sebagai garda terdepan pencegahan korupsi. Selain itu, ia juga mengingatkan pentingnya proses pembaruan dan penyempurnaan regulasi agar penguatan korporasi pelat merah sejalan dengan akuntabilitas publik.
KPK berharap dengan penerapan CRA, bahaya korupsi di BUMN bisa diminimalkan tanpa mengurangi fleksibilitas dan efisiensi pengelolaan bisnis, sehingga manfaat ekonomi nasional dapat dioptimalkan.
Sumber
https://ti.or.id/dua-dekade-korupsi-bumn-membebani-negara-celah-kian-terbuka-di-era-uu-baru-1/