Berita mengenai I Wayan Agus Suartama, yang dikenal dengan nama Agus Buntung, menjadi sorotan setelah ia menyampaikan ketidaknyamanannya saat ditahan di Lapas Kelas IIA Kuripan, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB). Agus Buntung yang merupakan penyandang disabilitas, tengah menghadapi proses hukum atas tuduhan pelecehan seksual. Penahanannya telah memicu reaksi emosional, termasuk tindakan tantrum dan ancaman bunuh diri.
Agus, yang kini menjadi tahanan Kejaksaan Tinggi NTB, disebut mengalami tekanan psikologis yang berat setelah mengetahui keputusan penahanannya di lapas. Kuasa hukumnya, Kurniadi, mengungkapkan bahwa Agus merasa kesulitan menerima kenyataan ini, terutama karena selama hidupnya ia sangat bergantung pada ibunya. “Saat mendengar keputusan penahanan, Agus menangis, memberontak, bahkan mengancam akan mengakhiri hidupnya,” ujar Kurniadi.
Menurut Kurniadi, langkah penahanan ini seharusnya mempertimbangkan kondisi khusus Agus sebagai penyandang disabilitas. Ia menambahkan bahwa sebelumnya pihaknya telah mengajukan permohonan agar Agus ditempatkan dalam tahanan rumah. Namun, permohonan ini tidak dikabulkan, dan Agus tetap ditahan di lapas. Kurniadi juga menyarankan agar sebelum penahanan, Agus diberi kesempatan untuk melihat dan menilai fasilitas ruang tahanan yang disiapkan untuknya.
Terkait penahanan penyandang disabilitas, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas mengatur bahwa lembaga hukum wajib menyediakan fasilitas dan layanan yang memadai. Pasal 36 dan Pasal 37 UU tersebut menggarisbawahi pentingnya menyediakan akomodasi yang layak serta unit layanan disabilitas di rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan. Unit layanan ini berfungsi menyediakan kebutuhan khusus tahanan disabilitas, termasuk rehabilitasi dan masa adaptasi.
Jaksa peneliti dari Kejaksaan Tinggi NTB, Dina Kurniawati, memastikan bahwa ruang tahanan Agus telah disesuaikan dengan kebutuhan penyandang disabilitas. Menurutnya, Polda NTB, Kejaksaan Tinggi NTB, dan Komisi Disabilitas Daerah (KDD) telah melakukan inspeksi terhadap fasilitas yang akan digunakan Agus. Ia juga menjelaskan bahwa Agus akan mendapat tenaga pendamping selama masa tahanannya.
Kasus ini menarik perhatian publik, terutama karena menyangkut isu hak-hak penyandang disabilitas dalam sistem peradilan. Agus Buntung didakwa berdasarkan Pasal 6 huruf A dan E, atau Pasal 15 huruf E Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), juncto Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022. Ia terancam hukuman maksimal 12 tahun penjara dan denda hingga Rp 300 juta.
Sementara itu, proses hukum terhadap Agus telah memasuki tahap serius. Berkas perkaranya dinyatakan lengkap (P21) oleh Kejaksaan pada 7 Januari 2025. Penyidik telah memeriksa 14 saksi dan lima ahli, serta melakukan rekonstruksi yang mencakup 49 adegan. Meski demikian, langkah penahanan ini terus menuai perdebatan terkait pendekatan yang digunakan dalam menangani penyandang disabilitas yang terlibat dalam kasus hukum.