Urgensi Semu: Ketika Militer Hadir di Ospek Sekolah

Gambar ilustrasi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (pixabay.com/Clker-Free-Vector-Images)
Gambar ilustrasi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (pixabay.com/Clker-Free-Vector-Images)

Pekan ini, sejumlah sekolah di Jawa Barat menjadi sorotan nasional. Bukan karena prestasi atau inovasi pendidikan, melainkan karena melibatkan personel TNI dan Polri dalam masa pengenalan lingkungan sekolah (MPLS), atau yang dulu populer dengan istilah ospek. Kegiatan yang semestinya memperkenalkan nilai-nilai pendidikan, tata krama sekolah, dan adaptasi sosial bagi peserta didik baru, kini berbalut nuansa komando, baris-berbaris, dan bahkan tekanan psikologis ala dunia militer. Hal ini bukan hanya membingungkan, tapi juga bertentangan dengan prinsip dasar pendidikan yang humanis dan membebaskan.

Padahal, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah sejak lama menetapkan bahwa MPLS harus dilakukan dengan pendekatan ramah anak. Dalam Panduan Resmi MPLS 2024, dinyatakan secara tegas bahwa pelibatan TNI dan Polri dalam kegiatan pengenalan sekolah tidak diperbolehkan. Tujuannya jelas: menciptakan ruang aman bagi anak didik untuk berkembang, tanpa tekanan, kekerasan, apalagi ancaman.

Namun, Pemerintah Provinsi Jawa Barat justru mendorong keterlibatan aparat bersenjata atas nama kedisiplinan dan ketahanan mental siswa. Hal ini menuai pertanyaan besar: di mana urgensinya? Apakah sistem pendidikan nasional begitu rapuh hingga perlu diisi oleh disiplin militer? Ataukah ini adalah wujud salah kaprah dalam memahami karakter pembangunan manusia Indonesia?

Pendidikan atau Pelatihan Militer?

MPLS sejatinya adalah momen transisi penting dalam dunia pendidikan. Ini adalah pintu gerbang pertama bagi siswa mengenal lingkungan baru, membangun pertemanan, serta menumbuhkan minat belajar. Tetapi ketika kegiatan ini diisi oleh pelatihan baris-berbaris, instruksi keras, atau bahkan “teriakan” dari personel militer, yang terjadi adalah pembentukan suasana tegang dan tidak aman. Orientasi semacam ini bukan menumbuhkan semangat belajar, melainkan ketakutan.

Lebih jauh, pelibatan militer dalam institusi pendidikan sipil mengaburkan batas antara fungsi pertahanan dan fungsi pendidikan. Dalam sistem demokrasi, institusi militer memiliki peran terbatas dan tidak boleh mencampuri urusan sipil secara sembarangan. Ketika aparat TNI masuk ke sekolah, walaupun hanya sebagai “pendisiplin”, hal ini tetap menyalahi prinsip civil supremacy yang menjadi pilar penting dalam negara demokratis.

Dalam praktiknya, pelibatan militer dalam MPLS kerap berujung pada kekerasan simbolik maupun fisik. Kita masih ingat sejumlah kasus di mana siswa dipaksa melakukan hukuman fisik, mencukur rambut secara paksa, atau menerima tekanan mental dengan dalih membentuk karakter. Padahal, pendekatan ini sudah usang dan terbukti gagal membentuk manusia yang kreatif, mandiri, dan berpikir kritis.

Disiplin sejati dalam dunia pendidikan bukan datang dari ketakutan, melainkan dari kesadaran. Seorang siswa yang memahami mengapa ia harus datang tepat waktu, mengapa ia harus menghormati guru dan sesama, serta mengapa penting menjaga lingkungan sekolah, akan jauh lebih kuat dan tahan banting dibanding siswa yang hanya tunduk karena takut pada instruktur berseragam.

Paradoks Regulasi dan Praktek Daerah

Kementerian telah jelas melarang pelibatan militer dalam MPLS. Namun, di tingkat daerah, justru muncul kebijakan yang berlawanan arah. Ini menandakan lemahnya koordinasi antarlembaga pemerintahan, dan memperlihatkan bagaimana otonomi daerah kerap dijalankan tanpa kerangka etik dan regulatif yang kuat. Pendidikan bukan sekadar urusan daerah, tetapi merupakan amanat konstitusi yang dijalankan secara nasional.

Apalagi dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, urusan pendidikan dasar dan menengah merupakan kewenangan pemerintah daerah dengan tetap mengacu pada standar nasional pendidikan. Maka ketika kepala daerah atau dinas pendidikan daerah mengabaikan aturan dari kementerian, yang terjadi adalah kekacauan norma dan potensi pelanggaran administratif.

Anak-anak datang ke sekolah untuk belajar, bukan untuk dilatih seperti tentara. Mereka butuh guru yang menginspirasi, bukan instruktur yang membentak. Mereka butuh empati, bukan intimidasi. Sekolah harus dipahami sebagai ruang aman (safe space), tempat di mana anak-anak merasa dihargai, didengar, dan diberi kesempatan tumbuh secara utuh.

Pelibatan militer dalam MPLS juga berisiko merusak semangat inklusivitas dan keberagaman. Tidak semua anak kuat secara fisik atau tahan pada tekanan komando. Tidak semua siswa cocok dengan model disiplin militeristik. Justru sekolah harus mampu menjangkau keberagaman karakter dan kebutuhan anak-anaknya dengan cara yang empatik dan progresif.

Sudah saatnya Kementerian Pendidikan mengambil sikap lebih tegas terhadap pelanggaran pedoman MPLS ini. Jika perlu, dilakukan evaluasi menyeluruh dan peninjauan atas pelaksanaan MPLS di daerah-daerah yang melibatkan militer. Pemerintah pusat tidak boleh membiarkan praktik-praktik pendidikan yang menyalahi prinsip hak anak dan kebebasan akademik berkembang atas nama “kearifan lokal” atau “inovasi disiplin”.

Selain itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ombudsman, dan lembaga pemantau pendidikan sipil harus turut serta mengawasi praktik seperti ini. Setiap pelanggaran terhadap pedoman nasional dan hak-hak anak harus ditindak secara administratif maupun etik, termasuk bagi kepala sekolah atau pejabat dinas pendidikan yang mengabaikan regulasi.

Sekolah bukan barak militer. Anak-anak bukan prajurit. Guru bukan sersan. Ketika pendidikan mulai dibalut oleh nuansa kekerasan dan komando, maka yang lahir bukan generasi pembelajar, melainkan generasi penurut tanpa nalar. Jika bangsa ini ingin melahirkan manusia unggul, kreatif, dan berdaya saing, maka pendidikan harus dikembalikan pada prinsip dasarnya: membebaskan, mencerdaskan, dan memanusiakan manusia.

Pelibatan militer dalam MPLS bukan hanya tak urgens, tapi juga kontraproduktif. Kita perlu disiplin, tapi bukan dengan cara ditakut-takuti. Kita perlu karakter, tapi bukan dengan cara dibentuk secara militeristik. Yang kita butuhkan adalah pendidikan yang menjunjung tinggi kemerdekaan berpikir dan kematangan emosional — bukan sekadar patuh tanpa bertanya.

Artikel Terkait

Rekomendasi