Poligami merupakan fenomena yang telah lama dikenal di berbagai masyarakat, termasuk dalam hukum adat Minangkabau dan hukum positif Indonesia. Dalam hukum adat Minangkabau, poligami memiliki aturan yang berbeda dibandingkan dengan Undang-Undang Perkawinan yang berlaku di Indonesia. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana ketentuan poligami dalam hukum adat Minangkabau serta implikasinya jika dibandingkan dengan regulasi dalam hukum positif Indonesia.
Poligami dalam Hukum Adat Minangkabau
Minangkabau dikenal sebagai masyarakat yang menganut sistem matrilineal, di mana garis keturunan ditarik dari pihak ibu. Dalam sistem ini, laki-laki yang menikah berstatus sumando, yang berarti ia hanya dianggap sebagai tamu dalam rumah tangga istrinya dan tidak memiliki hak atas harta kekayaan keluarga istrinya.
Poligami di Minangkabau memiliki beberapa karakteristik utama:
Poligami sebagai simbol status sosial: Laki-laki yang berpoligami, terutama dari kalangan bangsawan dan elite adat, dianggap memiliki kedudukan yang lebih tinggi dalam masyarakat.
Dukungan keluarga besar: Poligami tidak hanya merupakan keputusan individu tetapi juga keputusan keluarga besar, terutama dari pihak istri.
Ketidakseimbangan dalam rumah tangga: Karena sistem matrilineal yang berlaku, laki-laki tidak memiliki kekuasaan penuh atas rumah tangganya sehingga dalam beberapa kasus poligami menjadi solusi untuk mencari keseimbangan dalam peran suami.
Meskipun diterima secara adat, poligami tetap harus memenuhi persyaratan yang tidak tertulis, seperti mendapatkan persetujuan istri pertama dan adanya dukungan ekonomi yang cukup.
Poligami dalam Undang-Undang Perkawinan Indonesia
Di Indonesia, poligami diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang memberikan batasan ketat terhadap praktik ini. Beberapa ketentuan utama dalam undang-undang ini meliputi:
Pasal 3 ayat (2): Pengadilan dapat memberikan izin kepada suami untuk berpoligami jika istri pertama menyetujui dan terdapat alasan yang sah.
Pasal 4: Alasan yang diperbolehkan untuk poligami antara lain:
1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
2. Istri mengalami cacat atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 5: Suami harus memenuhi persyaratan berikut sebelum mengajukan izin poligami:
1. Persetujuan dari istri pertama.
2. Mampu menafkahi istri-istri dan anak-anaknya secara layak.
3. Bersikap adil terhadap semua istri dan anak-anaknya.
Dengan regulasi ini, hukum positif Indonesia menegaskan bahwa poligami bukanlah hak mutlak suami, melainkan harus memenuhi syarat ketat yang menjamin kesejahteraan istri dan anak-anak.
Perbandingan dan Implikasi Hukum
Terdapat beberapa perbedaan mendasar antara hukum adat Minangkabau dan hukum positif Indonesia dalam hal poligami:
1. Struktur keluarga: Dalam hukum adat Minangkabau, suami tidak memiliki peran dominan dalam rumah tangga, sedangkan dalam hukum positif Indonesia, suami dianggap sebagai kepala keluarga.
2. Keputusan Poligami: Dalam adat Minangkabau, keputusan poligami lebih banyak dipengaruhi oleh norma sosial dan keluarga besar, sementara dalam hukum positif Indonesia, poligami harus mendapatkan persetujuan hukum melalui pengadilan.
3. Alasan Poligami: Hukum adat Minangkabau lebih menekankan pada aspek sosial dan ekonomi, sedangkan hukum positif Indonesia mengatur poligami berdasarkan kondisi tertentu yang bersifat lebih fungsional.
Kesimpulan
Poligami dalam hukum adat Minangkabau dan hukum positif Indonesia memiliki persamaan dan perbedaan yang signifikan. Dalam hukum adat Minangkabau, poligami lebih bersifat sebagai simbol status sosial dan keputusan keluarga besar, sementara dalam hukum positif Indonesia, poligami diatur secara ketat dengan tujuan melindungi hak-hak perempuan dan anak-anak. Dengan semakin berkembangnya kesadaran hukum dan kesetaraan gender, praktik poligami kini semakin berkurang dan lebih banyak dikontrol oleh regulasi hukum nasional. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat Minangkabau untuk menyesuaikan praktik adat dengan ketentuan hukum yang berlaku guna memastikan kesejahteraan seluruh pihak yang terlibat.
By : Nabila Marsiadetama Ginting