Keviralan di Era Digital: Antara Kebebasan, Etika, dan Konsekuensi Hukum

Author PhotoDr. Sri Aisyah, S.H.I, M.H
07 Dec 2024
images

Di era digital ini, media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, terutama bagi generasi muda. Platform seperti TikTok, Instagram, dan YouTube menciptakan budaya viral yang berkembang dengan begitu cepat. Tren yang muncul dapat dengan mudah menyebar dan diikuti oleh banyak orang tanpa adanya proses seleksi atau pemikiran kritis. Sayangnya, fenomena ini tidak hanya sebatas hiburan, tetapi juga berpotensi memengaruhi pola pikir, perilaku, serta moral generasi muda.

Salah satu dampak nyata dari budaya viral ini adalah penyebaran informasi yang tidak selalu dapat dipertanggungjawabkan. Banyak konten yang beredar di media sosial mengandung hoaks, ujaran kebencian, hingga pencemaran nama baik. Tanpa literasi digital yang memadai, banyak pengguna yang dengan mudah membagikan informasi tanpa melakukan verifikasi terlebih dahulu. Hal ini berkaitan erat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang mengatur tentang penyebaran informasi di ruang digital.

Pasal 27 ayat (3) UU ITE misalnya, mengatur tentang larangan pencemaran nama baik melalui media elektronik. Namun, dalam praktiknya, banyak individu yang tidak menyadari bahwa komentar negatif atau penyebaran informasi tanpa dasar yang kuat dapat berujung pada konsekuensi hukum. Selain itu, Pasal 28 ayat (1) UU ITE juga melarang penyebaran berita bohong yang dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Fenomena ini sering terjadi dalam konteks tren viral, di mana informasi yang belum terverifikasi dapat menyebar luas dan memicu kepanikan di masyarakat.

Selain dalam aspek informasi, budaya viral juga memengaruhi gaya hidup dan pola konsumsi generasi muda. Tren berpakaian, gaya hidup, hingga tantangan viral sering kali tidak mempertimbangkan norma budaya dan nilai-nilai etika yang berlaku. Meskipun UU ITE tidak secara spesifik mengatur mengenai tren gaya hidup, implikasinya dapat dikaitkan dengan Pasal 27 ayat (1) yang melarang penyebaran konten yang melanggar kesusilaan. Banyak tren berpakaian atau tantangan di media sosial yang berpotensi melanggar batasan norma dan dapat dikategorikan sebagai konten yang tidak sesuai dengan etika digital.

Dalam perspektif agama, fenomena ini juga menjadi perhatian serius. Banyak tren viral yang bertentangan dengan ajaran agama, baik dari segi moral maupun etika. Islam, misalnya, mengajarkan pentingnya menjaga kesopanan dalam berpakaian, bertutur kata, dan berperilaku. Tren lagu-lagu viral yang mengandung unsur tidak senonoh, pakaian yang tidak sesuai dengan norma kesopanan, hingga tantangan ekstrem yang membahayakan diri sendiri bertentangan dengan nilai-nilai agama yang mengajarkan kehati-hatian dalam bertindak dan berucap.

Al-Qur’an secara tegas mengingatkan pentingnya menyaring informasi sebelum menyebarkannya. Dalam Surah Al-Hujurat ayat 6 disebutkan, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” Ayat ini menjadi relevan dalam konteks penggunaan media sosial di era digital, di mana setiap informasi yang diterima harus diverifikasi sebelum disebarluaskan.

Selain itu, dalam Islam juga diajarkan untuk menjaga lisan dan tulisan agar tidak menyakiti orang lain. Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam UU ITE yang melarang pencemaran nama baik dan ujaran kebencian di dunia maya. Dalam hadis Rasulullah SAW disebutkan, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim). Ini menjadi dasar bahwa dalam bermedia sosial, seseorang harus lebih berhati-hati dalam berkomentar dan menyebarkan informasi.

Selain dalam aspek informasi dan gaya hidup, budaya viral juga memengaruhi pola pikir generasi muda dalam menilai sesuatu. Banyak dari mereka yang lebih mengutamakan tren daripada mempertimbangkan dampak jangka panjangnya. Misalnya, banyak remaja yang rela melakukan tantangan berbahaya demi mendapatkan pengakuan di media sosial. Padahal, Islam mengajarkan prinsip kehati-hatian dalam bertindak dan tidak membahayakan diri sendiri. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain.” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad).

Oleh karena itu, penting bagi generasi muda untuk lebih selektif dalam menyaring informasi dan tren yang mereka konsumsi. Tidak semua yang viral membawa manfaat, dan tidak semua yang diikuti banyak orang layak untuk ditiru. Pemahaman akan regulasi yang berlaku, termasuk UU ITE, harus ditanamkan sejak dini agar setiap individu memiliki kesadaran hukum dalam bermedia sosial. Selain itu, pemahaman agama juga harus diperkuat agar setiap individu memiliki pegangan moral yang kokoh dalam menyikapi perkembangan teknologi.

Peran orang tua, pendidik, dan lingkungan sangat diperlukan dalam membimbing generasi muda agar tidak sekadar menjadi pengikut tren, tetapi juga memiliki kesadaran kritis dalam menyikapi arus digital yang semakin deras. Dengan pendekatan yang tepat, generasi masa kini dapat tetap memanfaatkan perkembangan teknologi secara positif tanpa kehilangan jati diri dan nilai-nilai luhur yang menjadi fondasi dalam kehidupan bermasyarakat. Selain itu, pemanfaatan media sosial yang lebih bijak sesuai dengan kaidah hukum dan ajaran agama akan menjadikan generasi muda lebih bertanggung jawab dalam berinteraksi di dunia maya.

 

Artikel Terkait

Rekomendasi