Dalam hukum perdata Indonesia, asas kebebasan berkontrak memberikan ruang bagi para pihak untuk membuat perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan hukum, ketertiban umum, atau kesusilaan. Namun, dalam praktik perjanjian nominee, hal ini menjadi problematik karena substansi perjanjian bertentangan dengan hukum positif yang berlaku, khususnya UUPA.
Putusan 129/Pdt.G/2021/PN.Btm mengilustrasikan bagaimana perjanjian yang dibuat antara WNA dan WNI untuk kepemilikan rumah dapat berbuntut sengketa hukum. Meskipun rumah dibeli dan dibiayai oleh WNA, karena tercatat atas nama WNI, properti tersebut dianggap milik WNI secara hukum. Ketika terjadi konflik, pengakuan terhadap kepemilikan berdasarkan pembayaran menjadi kabur.
Dalam konteks hukum perdata, perjanjian seperti ini bisa dikualifikasikan sebagai perjanjian tidak sah karena alasan objek perjanjian melanggar hukum. Pasal 1320 KUHPerdata mengatur bahwa sebab yang halal menjadi syarat sahnya suatu perjanjian. Jika sebabnya bertentangan dengan hukum, maka perjanjian batal demi hukum.
Oleh karena itu, meskipun perjanjian dibuat secara sukarela oleh para pihak, apabila tujuannya bertentangan dengan larangan undang-undang, maka tidak dapat dilindungi secara hukum. Hal ini menjadi pengingat penting bahwa kebebasan berkontrak memiliki batas yang tidak dapat dilampaui.