Israel dituduh menggunakan senjata kimia berbahaya, yaitu fosfor putih, di Jalur Gaza, dan bukti atas tindakan tersebut telah diserahkan kepada Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Pernyataan ini disampaikan oleh Mahmoud al-Habbash, seorang ajudan Presiden Palestina Mahmoud Abbas, dalam sebuah konferensi yang berlangsung di Kazan, Rusia, di tengah pertemuan BRICS ke-16.
Al-Habbash menyatakan bahwa bukti dan informasi yang dikumpulkan telah menunjukkan keterlibatan Israel dalam pelanggaran serius, termasuk kejahatan perang dan genosida di wilayah Gaza. Ia menegaskan bahwa penggunaan senjata terlarang, seperti fosfor putih, telah disaksikan oleh jutaan orang selama berbagai konflik yang terjadi di Gaza. Kerusakan yang diakibatkan oleh senjata ini telah didokumentasikan sesuai dengan hukum internasional dan disampaikan kepada ICC untuk ditindaklanjuti.
Pada bulan Mei, Jaksa ICC, Karim Khan, juga mengungkapkan bahwa dia telah meminta Kamar Pra-Peradilan untuk mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Yoav Gallant. Dalam pernyataannya, Jaksa Khan menyebut bahwa kedua pejabat tersebut dianggap bertanggung jawab atas kejahatan perang dan pelanggaran kemanusiaan yang terjadi selama serangan militer yang berlangsung di Jalur Gaza, yang dimulai pada bulan Oktober 2023. Namun, Israel membantah tuduhan tersebut dan menolak untuk bekerja sama dengan ICC.
Serangan yang terjadi pada 7 Oktober 2023, menandai eskalasi ketegangan yang signifikan ketika Israel menghadapi serangan roket masif dari Gaza. Dalam balasannya, Israel melancarkan Operasi Pedang Besi, yang tidak hanya menargetkan sasaran militer tetapi juga melibatkan serangan terhadap sasaran sipil. Selain itu, Israel mengumumkan blokade total terhadap Jalur Gaza, yang mengakibatkan penghentian pasokan air, listrik, makanan, dan obat-obatan.
Situasi di Gaza semakin memburuk, dengan Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan lebih dari 44.000 warga Palestina tewas, termasuk banyak perempuan dan anak-anak, serta lebih dari 100.000 orang terluka. Ketegangan ini menciptakan krisis kemanusiaan yang mendalam dan memperburuk kondisi hidup warga sipil yang sudah menderita akibat konflik berkepanjangan. Ke depan, tindakan internasional akan sangat penting untuk menanggapi pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan perang yang diduga terjadi dalam konteks konflik ini.