Perusahaan Kolaps, Dana Nasabah Sebesar Rp 1,5 Triliun Raib

Author Photoportalhukumid
02 Jan 2025
uVzK6RJ2qd

Pada April 2024, sebuah perusahaan fintech bernama Synapse resmi mengajukan kebangkrutan, meninggalkan jejak kerugian yang sangat besar bagi ribuan nasabahnya. Total dana yang hilang dilaporkan mencapai Rp 1,5 triliun, dan hingga kini nasib uang tersebut masih menjadi misteri.

Krisis ini berakar dari perselisihan antara Synapse dan Evolve Bank terkait saldo nasabah yang mulai muncul pada Mei 2024. Synapse, yang berperan sebagai penghubung antara startup fintech seperti Yotta dan Juno dengan layanan perbankan tradisional, mulai kehilangan kendali atas akses sistem utama untuk memproses transaksi. Ketegangan ini memicu perpindahan besar-besaran klien dari Synapse, yang akhirnya memaksa perusahaan mengajukan kebangkrutan.

Sebagai akibatnya, transaksi nasabah menjadi terganggu, dan banyak yang kehilangan akses ke dana mereka. Lebih dari US$96 juta (sekitar Rp 1,5 triliun) dilaporkan hilang. Kejadian ini akhirnya sampai di meja pengadilan, tetapi hingga kini lokasi dana yang hilang belum diketahui secara pasti.

Banyak nasabah Synapse yang terdampak secara finansial. Salah satu nasabah, Kayla Morris, mengalami kerugian besar setelah akunnya terkunci selama enam bulan. Morris melaporkan kehilangan dana senilai US$282.153,87 (sekitar Rp 4,4 miliar). Harapan agar uangnya kembali pupus ketika pihak Evolve Bank hanya menawarkan kompensasi sebesar US$500 (sekitar Rp 7,9 juta).

“Saya diberitahu bahwa saya hanya akan menerima US$500 dari total US$280 ribu yang saya miliki. Ini benar-benar menghancurkan,” kata Morris dalam sidang, seperti dilaporkan CNBC Internasional pada 25 November 2024.

Kisah serupa dialami oleh Zach Jacobs, nasabah Yotta, yang kehilangan tabungan senilai US$94.468,92 (sekitar Rp 1,5 miliar). Jacobs hanya menerima kompensasi sebesar US$128,68 (sekitar Rp 2 juta). Merasa dirugikan, Jacobs memutuskan untuk membentuk kelompok bernama “Fight For Our Funds” bersama ribuan korban lainnya. Hingga kini, kelompok tersebut telah menghimpun 3.454 anggota dengan total kerugian mencapai US$30,4 juta (sekitar Rp 483,1 miliar).

Synapse didirikan pada tahun 2014 dengan dukungan dari firma modal ventura ternama Andreessen Horowitz. Perusahaan ini bertujuan menjadi perantara bagi fintech seperti Juno dan Yotta untuk menawarkan layanan perbankan meskipun tidak memiliki izin operasional sebagai bank.

Namun, model bisnis Synapse memiliki kelemahan besar. Sebagai platform fintech tanpa izin perbankan, mereka tidak dilindungi oleh Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC). Akibatnya, dana nasabah tidak memiliki jaminan perlindungan jika terjadi kegagalan operasional. Dalam struktur bisnisnya, Synapse menjalin kemitraan dengan bank-bank yang diasuransikan FDIC untuk mengelola dana konsumen. Namun, ketergantungan pada pihak ketiga ini menjadi salah satu penyebab runtuhnya perusahaan.

Sebelum bangkrut, Synapse memiliki kontrak dengan lebih dari 100 perusahaan fintech yang melayani sekitar 100 juta konsumen. Tetapi, ketika konflik dengan Evolve Bank memuncak, empat mitra bank Synapse kehilangan akses ke sistem penting yang digunakan untuk mengelola data konsumen. Dampaknya, aplikasi seperti Yotta tidak lagi bisa memproses transaksi nasabahnya.

Sebuah laporan yang diajukan dalam gugatan Troutman Pepper pada September 2024 menemukan bahwa dari total dana nasabah sebesar US$265 juta, antara US$65 juta hingga US$95 juta masih belum terlacak. Ketidakjelasan ini menambah kerugian emosional bagi para nasabah yang sudah kehilangan kepercayaan terhadap sektor fintech.

Kasus kebangkrutan Synapse menjadi pelajaran penting tentang risiko dalam industri fintech, terutama bagi perusahaan yang beroperasi tanpa perlindungan hukum yang memadai. Nasabah kini berharap agar regulasi yang lebih ketat dapat melindungi mereka dari risiko serupa di masa depan.

Sumber:
https://www.cnbcindonesia.com/tech/20250102124347-37-600240/perusahaan-bangkrut-uang-nasabah-hilang-rp-15-triliun

Artikel Terkait

Rekomendasi